Oleh: Fathul H. Panatapraja
Rainha de Japora, Senhora Paderofa
Sebuah buku yang ditulis oleh João de Barros pada kurun tahun 1539 – 1549, dan terbit pada tahun 1552 berjudul Decadas da Asia, memberi kabar penting bagi kita. Buku tersebut berisi berbagai laporan kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Portugis kepada negara-negara timur jauh yang mereka taklukkan. Buku tersebut awalnya hanya terdiri dari empat jilid, lalu kemudian dilanjutkan pengerjaannya oleh Diogo de Couto dan João Baptista, pengerjaan lanjutan ini memberi tambahan sebanyak sembilan jilid.
Dari buku tersebut berkali-kali sosok Ratu Kalinyamat disebut. Tercatat sebanyak sembilan kali dari dua jilid yang berbeda, yakni dalam jilid enam (Decada Sexta) dan jilid sembilan (Decada Nove). Sosok Ratu Kalinyamat disebut sebagai Rainha de Japora, Senhora Paderofa, yang artinya Ratu dari Jepara yang penuh kuasa. Portugis memberi gambaran tentang sosok tersebut melalui berbagai catatan laporan, baik tentang peperangan, kepemimpinan politik, maupun peran kemaritiman.
Suma Oriental, sebuah kopendium (catatan informasi) yang ditulis oleh Tomé Pires, menyebutkan bahwa pada tahun 1470 Jepara merupakan kota pelabuhan yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari berbagai wilayah. Daerah tersebut, menjadi wilayah tepian utara paling ramai di sepanjang jalur Jawa Raya. Bahkan, baik sebelum Demak Bintara berdiri menjadi kesultanan maupun setelah Demak menjadi kotaraja masih kalah ramai dibandingkan Jepara.
Retna Kencana adalah pemimpin besar Jepara. Ia memimpin Jepara pada tahun 1549 – 1579, saat itu Retna Kencana bergelar Ratu Kalinyamat. Bukan tanpa alasan, Retna Kencana menyematkan nama Ratu Kalinyamat pada dirinya, tiada lain untuk mengambil kekuatan leluhur dan spirit lokalitas daerahnya. Dan takdir pun berkata seturut dengan doa. Jepara menjadi amat perkasa, saat dipimipin olehnya.
Dari Dendam yang Disulut, Hingga Melepas Gelungan Rambut
Raden Mokmin, atau lebih dikenal sebagai Sunan Prawata, merupakan cucu dari Sunan Kalijaga. Sunan Prawata yang lebih dominan dalam urusan keagamaan dan kurang cakap dalam urusan pemerintahan mengalami kegagalan dalam kepemimpinannya di Demak. Ia hanya mampu bertahan sebagai Sultan Demak keempat dalam waktu yang sangat pendek, tiga tahun (1546–1549). Sunan Prawata mati dibunuh oleh sepupunya sendiri, yakni Arya Penangsang. Yang sebelumnya, ayah dari keduanya sudah terlibat dalam perebutan tahta Demak (Raden Trenggana dan Raden Kikin/ Pangeran Seda ing Lepen).
Kematian itu terjadi ketika Sunan Prawata sedang sakit, saat ia bersandar di bahu istrinya, tiba-tiba ada seseorang datang dengan membawa keris brongot Kyai Setan Kober milik Sunan Kudus, Sunan Prawata tahu bahwa satu-satunya murid Sunan Kudus yang memegang keris brongot Kyai Setan Kober hanya Arya Penangsang. Sebelum menancapkan keris, seseorang tersebut mengatakan bahwa ia suruhan dari Arya Penangsang. Agar Sunan Prawata tidak mati penasaran. Tak menunggu lama, keris brongot Kyai Setan Kober langsung ditikamkan ke dada Sunan Prawata, hingga menembus punggung dan turut melukai dada istri Sunan Prawata. Sunan Prawata dan istrinya meninggal. Retna Kencana yang merupakan putri dari mendiang Sultan Trenggana, dan adik dari Sunan Prawata merasa sangat terpukul atas kematian kakaknya.
Retna Kencana mengadu kepada Sunan Kudus, dan hasilnya nihil, bahkan Sunan Kudus hanya menjawab “utang pati dibayar pati”. Bahwa kematian pangeran Seda ing Lepen dibayarkan oleh Arya Penangsang. Retna Kencana yang menghadap Sunan Kudus bersama suaminya, Sultan Hadirin, merasa kecewa, dan tanpa pamit langsung pulang ke Kali Nyamat. Saat perjalanan pulang menuju Kali Nyamat, keduanya diberhentikan oleh orang-orang suruhan Arya Penangsang, tanpa basa-basi Sultan Hadirin dihabisi. Dengan sekuat tenaga Retna Kencana melarikan diri, entah kemana. Kali Nyamat, daerah perdikan yang diberikan oleh Sultan Trenggana kehilangan pemimpinnya. Arya Penangsang pun naik tahta menjadi Sultan Demak yang kelima.
Tersiar kabar, bahwa Retna Kencana melarikan diri ke bukit Danaraja, melepaskan ikat rambutnya, termasuk seluruh bajunya, sambil bersumpah akan berhenti bertapa hanya jika Arya Penangsang sudah bersimbah darah sekujur tubuhnya. Tapa wuda sinjang rikma.
Semesta Metafora, dan Suaka untuk Malaka
Pada tahun 2022 lalu, saya bersama lima orang teman, yang kami menamakan diri sebagai Riders Kalinyamat melakukan ziarah ke Jepara, ke makam Ratu Kalinyamat. Saat memasuki gerbang kabupaten Jepara terpampang sebuah tulisan “Selamat datang di bumi Kartini”. Kami tercenung, dan melakukan diskusi ringan di tengah panasnya suhu Jepara yang sepi dari penjual dawet ayu. Katanya dawet ayu dari Jepara, nyatanya pas kami kesana tak menemukannya. Kami saling bertanya, kenapa keperkasaan Ratu Kalinyamat tak mampu memberikan kepercayaan diri kepada masyarakat Jepara, sehingga Kartini yang disematkan di bibir muka kota. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada RA Kartini tentunya.
Pertanyaan itu pun kami lanjutkan saat malam hari setelah ziarah. Berbincang bersama teman-teman Jepara, selaku masyarakat pribumi. Jawabannya adalah, menurut mereka kisah Ratu Kalinyamat yang bertapa telanjang busana masih belum bisa diterima. Sampai menjelang kokok ayam dan tabuh imsak di bulan Ramadhan tersebut, kami menduga bahwa semedi telanjang tanpa busana yang dikisahkan secara tutur tersebut merupakan bagian dari metafora masyarakat Jawa. Bisa jadi, yang dimaksudkan adalah melepaskan baju kemelekatan akan keduniawian. Sang Ratu melakukan tirakat batin, dan membenamkan diri dalam lautan ke-mahaan Sang Tuhan. Bermunajat sepanjang hayat.
Sampai terjadilah apa yang ditakdirkan. Di tahun 1554, Arya Penangsang mati di atas kuda perang Gagak Rimang. Ususnya terburai oleh tikaman tombak Kyai Pleret yang dibawa oleh Sutawijaya (Panembahan Senapati), dan ususnya terlepas dari perut karena tergores oleh keris brongot Kyai Setan Kober. Keris miliknya sendiri. Setelah kematian Arya Penangsang di tahun 1554, berakhirlah pula Kesultanan Demak yang gagah itu. Digantikan oleh Kesultanan Pajang yang dipimipin oleh Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet Jaka Tingkir).
***
Cercos de Malaca, sebuah buku karya Jorge de Lemos yang terbit pada tahun 1585 mengabarkan peristiwa penting bahwa telah terjadi pengepungan di Malaka dengan kekuatan yang luar biasa. Diceritakannya juga tentang sebuah aliansi besar yang terdiri dari Johor, Aceh, Maluku dan Jepara, yang dimotori oleh Ratu Kalinyamat. Portugis dengan terang-terangan menyebutkan bahwa Ratu Kalinyamat adalah orang yang paling bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di Malaka tersebut.
Ratu Kalinyamat memimpin Jepara selama tak kurang dari tiga puluh tahun. Di bawah kepemimpinannya, Jepara mengalami masa kejayaan. Terutama urusan kelautan. Melalui armada lautnya, ia telah tiga kali menyerang Portugis di Malaka, pada tahun 1551, 1568 dan 1574. Pada penyerangan pertama, armadanya berhasil mengepung Malaka selama tiga bulan. Penyerangan ini dilakukan untuk mengusir mundur Portugis dari Malaka. Dalam kronik Diogo yang berjudul Decadas Sexta da Asia, disebutkan bahwa Ratu Kalinyamat mengirim 40 kapal raksasa beserta bala bantuan sebanyak lima ribu pasukan.
Pada hari Jum’at, 3 Juli 1551, tak kurang dari dua belas ribu pasukan yang merupakan gabungan dari aliansi besar, yang dipimpin oleh Ratu Kalinyamat menyerbu Portugis di Malaka. Penyerangan ketiga di Malaka (1574) tertulis dalam kronik Manuel Faria e Sousa yang berjudul Asia Portuguesa (1674), bahwa pasukan Ratu Kalinyamat dipimipin oleh Jenderal Quiadaman atau Laksamana Kyai Demang. Kyai Demang membawa 80 kapal raksasa, disertai 220 perahu lengkap dengan amunisinya. Bersama pasukannya yang berjumlah lima belas ribu orang.
Ratu Kalinyamat memiliki visi utama yakni mewujudkan kesejahteraan bersama. Portugis yang melakukan monopoli perdagangan dinilai sangat merugikan. Terutama saat pemberlakuan pajak diskriminatif di Malaka, banyak daerah yang kalah dan tak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya merugikan masyarakat Jawa, maupun Malaka tetapi juga para masyarakat dan pedagang dari Melayu Raya.
Memori Masyarakat Tentang Ratu Kalinyamat
Boleh jadi, hanya masyarakat Jepara saja yang masih mengenang kejayaan dan kebesaran kepemimpinan seorang perempuan. Apalagi di keumuman Indonesia yang masih belum banyak menerima jika wanita mengurus urusan bangsa dan negara. Kelaziman yang terjadi sementara ini harus segera dibelokkan ke masa lalu tanpa ragu.
Mungkin absennya legenda besar pantai utara jawa ini bersamaan dengan langkah kita yang memunggungi laut. Istilah ngeksintara dan ngeksiganda yang membelah ekspresi kebudayaan kita menjadi penting untuk dicermati. Setelah bergerak lama di lautan, lalu masuk menuju selatan dengan membelah hutan. Berlama-lama di hutan. Menjadikan memori kolektif tentang laut semakin larut dan kabur kalut. Nyatanya, saat keluar dari hutan dan menuju garis batas selatan kita juga bertemu lagi dengan lautan.
Kini, yang tersisa dari Retna Kencana adalah sebuah tanda tanya, kemanakah kita akan mengarahkan badan yang memiliki kepala sebuah cita-cita.
Malang, 30 Mei 2023
Tulisan ini akan dibacakan saat Haul Ratu Kalinyamat; Haul Tokoh Yang Terlupakan ke-4, diselenggarakan oleh petjut. id, Sabtu, 3 Juni 2023, di Flava Cafe, Jl. Simpang Gajayana Kota Malang.
Bahan Bacaan:
Diogo de Couto. Decadas da Asia. Regia Officina Typografica, 1626.
Edi Hidayat (Ed.). Ratu Kalinyamat: Perempuan Perintis Anti kolonialisme 1549 – 1579. Media Indonesia Publishing, 2022.
H. J. de Graaf. Sumber-Sumber Sejarah Pulau Jawa dari Zaman Mataram dan Historiografi. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
H. J. de Graaf & T. H. G. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafiti Press, 1974.
Jorge de Lemos. Cercos de Malaca, 1585, dalam Ratu Kalinyamat: Perempuan Perintis Anti kolonialisme 1549 – 1579. Media Indonesia Publishing, 2022.
Manuel Faria e Sousa. Asia Portuguesa. La Officina de Antonio Craesbec, 1674.
S. Trisasongko Hutomo. Keris Setan Kober: Perang Niskala Tanah Jawa. Javanica, 2016.
Tomé Pires. Suma Oriental. The Hakluyt Society, 1944.