Oleh: Chubbi Syauqi
KOLOM, Petjut.id – Syahdan, acap kali para pepatah berujar bahwa “sejarah hanya akan ditulis oleh para pemenang”. Memang begitulah yang terjadi dalam segala narasi sejarah. Penyertaan nama-nama yang termaktub dalam sejarah tak sepenuhnya hadir secara kebetulan, melainkan dengan subjektivitas pemenang (penguasa). Bak lakon drama, tentu terdapat karakter protagonis dan antagonis. Melalui narasi (historiografi), sosok protagonis dan antagonis dicatat tebal-tebal, dan diingat dalam memori kolektif masyarakat. Sosok Syekh Hamzah Fansuri, kiranya pas untuk mengejawantahkan bahwa sejarah kerap mengalienasi sosok yang berperan.
Syekh Hamzah Fansuri adalah sufi sekaligus penyair yang cakap di Aceh. Ia lahir sekira paruh abad ke 16 M, di Barus atau Fanshur, Aceh. Ia hidup sebelum era Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1588 M-1604 M), dan wafat sebelum 1607 M, awal kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Syekh Hamzah Fansuri ialah sufi penyebar tasawuf falsafi paham wahdatul wujud pertama di Nusantara. Ajaran wahdatul wujud ini meyakini adanya kebersatuan wujud Tuhan dengan alam, termasuk manusia. Menurutnya, alam tidak berwujud hakiki. Akhirnya, pandangan wujudiyah Fansuri menimbulkan kontroversi. Hingga mendapat klaim dalalah (sesat) di masa Sultan Iskandar Tsani (1636 M-1642 M), lantaran fatwa dari Syekh Nurudin Ar-Raniri, ulama mufti Kerajaan Aceh.
Fatwa tersebut mendorong Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran kitab-kitab karangan Syekh Hamzah Fansuri dan para penulis wujudiyah pada tahun 1637 M. Konon, pembakaran kitab-kitab karya Syekh Hamzah Fansuri berlangsung selama beberapa hari di komplek Masjid Raya. Peristiwa tersebut mengakibatkan berbagai karangan kitab dari Syekh Hamzah Fansuri lenyap dilahap api. Tak sampai di situ, Syekh Hamzah Fansuri dan para pengikutnya juga dituduh hendak melakukan makar. Dan bahkan, para penganut wujudiyah banyak ditangkap dan dihukum mati.
Kemelut nestapa yang menimpa Syekh Hamzah Fansuri tiada lain karena dua sosok, yakni Syekh Nurudin Ar-Raniri dan Sultan Iskandar Tsani. Ada berbagai trigger (pemicu) pertentangan antara Syekh Hamzah Fansuri yang vis a vis dengan sang mufti dan sang sultan. Pertama, adanya asumsi bahwa Syekh Hamzah Fansuri merupakan ulama yang lantang dalam memberikan kritik-kritik tajam terhadap Kerajaan Aceh. Hal ini dapat disaksikan dalam syairnya Syekh Hamzah Fansuri yang menentang kebijakan kesultanan yang sering menghabisi lawan politiknya. Menyitir Abdul Hadi W.M (2016), tampak pada ikat-ikatan sajaknya:
Aho segala kamu ‘alim
Jangan bersahabat dengan orang zalim
Karena rasul Allah sempurna hakim
Melarangkan sekalian kita khadim
Aho segala kamu yang menjadi faqir
Jangan bersuhbat dengan raja dan amir
Melalui kepiawaian dalam bersyair (sastra), Syekh Hamzah Fansuri memberi kritik yang subversif kepada Kerajaan Aceh. Di tengah masa keemasan Kerajaan Aceh, tak luput dari berbagai intrik politik yang berkenaan dengan sengketa tahta dan kuasa, dan acap kali terjadi pertumpahan darah. Kedua, adanya asumsi bahwa Syekh Hamzah Fansuri merupakan ulama pembaharu spiritual. Pada akhir paruh abad ke-16 M, tasawuf memang banyak dianut oleh kalangan istana dan menengah, tapi dalam pelaksanaannya bercampur dengan “noda bid’ah” atau sesuatu yang bukan dari hakikat ajaran sufi.
Salah satu ritus yang menyimpang menurut Syekh Hamzah Fansuri adalah upacara meditasi menyambut bulan purnama yang dipraktikan Sultan Iskandar Muda. Syekh Hamzah Fansuri mengkritik lewat sajaknya, yakni:
Sidang talib ke dalam hutan
Pergi ‘uzlah berbulan-bulan
Dari muda datang beruban
Tiada bertemu dengan Tuhan
Oleh rihayat tubuhnya rusak
Hendak melihat serupa budak
Menghela nafas ke dalam otak
Supaya minyaknya jangan orak
Syed Naquib Al-Attas (1970) dan Brakel (1979) bersepakat bahwa ritus tersebut merupakan sinkretisasi dari ajaran Hindu. Dalam amalan itu Tuhan diimajinasikan sebagai rahasia yang berada di bagian tertentu anggota tubuh seperti ubun-ubun, atau dipuja dalam bentuk cahaya. Syekh Hamzah Fansuri mengajarkan kepada masyarakat bahwa: “Tuhan lebih dekat dari pada urat leher manusia sendiri, dan Tuhan tidak bertempat, sekalipun secara ibarat dikatakan berada di mana-mana”. Dalam menjawab dan mengkritik amalan bid’ah ini, Syekh Hamzah Fansuri menulis:
Tuhan tidak bermisal
Bukannya bintang dan syamsu hilal
Di antara kening di manakan wisal
Jangan kau pandang pada cahaya dan zilal
Berbagai sajak Syekh Hamzah Fansuri jelas menggambarkan kehidupan keagamaan di Aceh pada paruh abad ke 16 yang masih kentara dengan corak sinkretik. Syekh Hamzah Fansuri hadir di Aceh sebagai sosok sufi pembaharu spiritual. Dan hal itu juga mengganggu keharmonisan tatanan spiritual Kerajaan Aceh. Oleh karenanya sikap Syekh Hamzah Fansuri menelurkan ketidaksenangan hingga menetas menjadi kebencian, curiga, dan memusuhi pribadi Syekh Hamzah Fansuri beserta jamaahnya. Kemasyhuran Syekh Hamzah Fansuri sebagai sufi dan penyair terkemuka, benar-benar diburamkan oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Melalui tulisan singkat ini, saya ingin menguak bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang pembaharu spiritual pada zamannya, sebagaimana telah saya sampaikan beberapa sajaknya, dan bukan dari ucapan orang lain.
Penulis adalah alumnus UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, jurusan Tarbiyah, prodi Manajemen Pendidikan Islam.