Oleh: Arif Wibowo
KOLOM, Petjut.id – Tahun lalu, ada beberapa perbincangan juga kecaman terhadap modifikasi jilbab dan kebaya Jawa dalam sebuah pentas seni tradisional yang dianggap menyalahi pakem dan tuduhan Arabisasi. Hal ini disebabkan oleh ada tulisan huruf Latin. Juga nama sebuah instansi di Riau bertulis menggunakan huruf Arab Jawi pada papan namanya.
Sebenarnya, mempermasalahkan Arabisasi pada huruf Arab Jawi tanpa mempersoalkan Latinisasi huruf itu sudah merupakan satu kepekokan tersendiri. Sebab kalau di tanah Melayu, huruf Arab Jawi sudah lebih dahulu hadir. Dalam catatan Prof. Dennys Lombard, di tanah Melayu, huruf Arab Jawi ini, selama tiga abad, dari abad 17 sampai awal abad 20, merupakan satu-satunya huruf untuk aktifitas politik, pendidikan dan perdagangan. Huruf Latin, dalam catatan Buya Hamka, mulai disosialisasikan paksa, atas nama pemberantasan buta huruf mulai tahun 1930-an.
Kondisi ini berbeda dengan di Jawa yang masih memakai dwi aksara, pesantren menggunakan huruf Arab pegon dan kraton menggunakan huruf Jawa yang merupakan modifikasi beberapa turunan dari huruf Pallawa. Meski kata Dr. Simuh, kepustakaan berhuruf Jawa itu juga kepustakaan Islam. Maka, Simuh membagi kepustakaan Islam di Jawa menjadi Kepustakaan santri dan kepustakaan (Islam) Kejawen. Hal yang dikuatkan oleh Nancy Florida. Menurutnya, meski menggunakan huruf Jawa, kepustakaan kraton itu mayoritas adalah kepustakaan Islam. Jadi jangan heran, jika kita menemukan buku-buku agama terbitan Muhammadiyah pada awal keraton berdiri memakai huruf Jawa. Sebab DNA Muhammadiyah awal adalah darah Islam Kraton.
Lalu, sejak kapan kemudian Jawa mulai dikonstruksikan menjadi anti terhadap segala sesuatu yang berbau Arab? Ada catatan menarik dari Philip van Akkeren, dalam bukunya Dewi Sri dan Yesus. Akkeren menyebut bahwa kekalahan Pangeran Diponegoro adalah titik mula bagi spiritualitas Jawa yang tidak lagi bangga terhadap Islam. Takluknya seluruh Jawa kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, menjadikan sebagian priayi meletakkan ketaatan politiknya bukan lagi pada kewibawaan Islam. Melainkan kepada kewibawaan Kristen, demikian Akkeren menulisnya pada akhir paragraf.
Saat itu, kolonial Belanda mendaulat kalangan para priayi sebagai penganggung jawab pelaksana tanam paksa. Kemudian mental inferior mereka akan kristenisasi masif ditingkatkan. sehingga terus bermunculan isu sentimentil anti Islam. Para priayi mendapat doktrinasi yang memutar balikkan sejarah dengan menilai sejarah Islamisasi bangsa jawa yang ditulis selama ini adalah sebuah bentuk kesalahan sejarah. Oleh karena itu, jika Jawa ingin kembali maju, kuncinya terletak pada penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Dalam pandangan para priayi ini, Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan Jawa, yakni Majapahit.
Pada masa inilah, pada sekitar tahun 1870-an para penulis dari Kediri meramu gagasan di dalam tiga karya sastra yakni, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul. Corak karya tersebut adalah menjadikan Islam sebagai olok-olok. Tidak hanya itu, Darmagandhul meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit–ini mungkin ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit.
Akan ada episode tumpesing santri tanah Jawa sebagai nubuat Sabdo Palon Nagih Janji. Diyakini bahwa agama Islam akan ditinggalkan secara massal oleh orang Jawa. Dan sebagai gantinya mereka akan memeluk agama kawruh, sebagai wujud baru agama budi. Kata kawruh di sini merujuk pada “wit kawruh” atau pohon pengetahuan yang dimakan Adam. Bahasa gampangnya kalau kita merujuk Ricklefs, di masa depan, orang Jawa diramalkan akan meninggalkan Islam dan memeluk Kristen.
Uniknya, meski ada kebencian mendalam terhadap Islam, para priayi tersebut, secara formal tidak mau meninggalkan Islam sebagai agamanya. Secara ekstrem, Ricklefs bercerita tentang kejadian di Binangun, Banjarnegara. Sekitar tahun 1870, seorang Bupati menegaskan komitmennya untuk tetap memeluk Islam dalam pengertian yang lebih instrumental daripada spiritual. Dia telah menunjukkan antusiasmenya terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Karenanya seorang kenalan Belanda bertanya kepadanya, bilakah ini berarti bahwa dia akan beralih menjadi Kristen. Bupati tersebut menjawab, “Ah, ….. sejujurnya, saya lebih senang memiliki empat orang istri dan satu Tuhan daripada satu istri dan tiga Tuhan.”
Kondisi split personality ini bahkan bertahan sampai sekarang. Oleh para cendekiawan kolonial, melalui teosofi, para priyayi baru ini membuat institusi spiritualitas baru yang nantinya menjadi aliran kebatinan. Akan tetapi, bahkan ketika sekarang aliran kebatinan sudah boleh mengisi nama sendiri di kolom agama, para prakteknya hanya sedikit yang berani. Dari sekitar 450-an aliran kebatinan, hanya 150-an yang mendaftar ulang, itupun hanya dari kalangan elitnya.
Faktor utamanya, kalau saya mencoba mengambil dari hasil penelitian Cliffort Geertz, karena penganut fasisme Jawa itu belum sampai merumuskan tata cara perawatan jenazah. Pernah kejadian, saat Gertz meneliti di Mojokuto, di mana waktu itu keluarga seorang pemimpin Permai (yang anti Arab dan anti India) meninggal. karena sudah declare bukan Islam, maka jenazahnya oleh para pengurus masjid dibiarkan. Dan ternyata tidak seorangpun anggota Permai yang mampu memprosesnya.
Sampai akhirnya, seorang anggota keluarga memohon kepada kalangan santri, dan berucap, “Meskipun kami anggota Permai, tapi agama kami kan tetap Islam, walaupun bukan orang Islam yang taat.”. Dan akhirnya atas permintaan keluarga, jenazah itu di rawat secara Islam. Oh ya, kesalahan mengidentikkan Islam dengan Arab, ternyata bukan hanya terjadi saat perang Salib, bahkan dalam buku yang belum lama terbit, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam karya Dr. TH. Van End, masih menganggap bahwa Islam itu agamanya orang Arab.
Jadi, inferiority complex terhadap kolonialis Belanda dan juga kesalahan dalam memahami relasi agama Islam dan Arab adalah dua faktor utama yang melahirkan kaum rahayu bin Darmogandhul ini, termasuk split personality yang melekat pada kaum rahayu yang masih beragama Islam. (ptj)
Penulis adalah seorang peneliti di Laboratorium Dakwah (Labda) Ki Ageng Henis.
Foto/ilustrasi: Petjud.id