Abdurrauf Singkil: Mufasir Pertama dari Tanah Kuala

Oleh: Fathul H. Panatapraja

KOLOM, Petjut.id – Peran ulama Nusantara dalam proses penyebaran Islam dapat dilihat dari aktivitas dan kreatifitas mereka dalam menuangkan daya intelektualnya ke berbagai bentuk karya. Selain itu mereka juga melibatkan diri dalam institusi sosial keagamaan, pendidikan, pemberdayaan, melalui ikatan khusus antara murid dan guru (intellectual-genealogy) yang menyebar ke berbagai lembaga pendidikan Islam semacam surau, madrasah dan pesantren (Azra, 1999:153).

Menurut Martin van Bruinessen intelektual muslim adalah seseorang yang memiliki spesialisasi keilmuan, khususnya di bidang keislaman, dan mempunyai pengetahuan mendalam di bidang ilmu-ilmu humaniora yang disertai dengan komitmen yang kuat kepada Islam. Ulama Nusantara, tentunya termasuk dalam kategori muslim terdidik yang memiliki fungsi sesuai dengan masing-masing keilmuan yang mereka miliki, baik dalam lapisan masyarakat bawah, elit terkemuka, maupun di kalangan internasional.

Kajian Azyumardi Azra tentang jaringan ulama di Nusantara dengan para ulama di Timur Tengah tidak hanya menunjukkan kuatnya mata rantai intelektual muslim Nusantara dengan ulama-ulama di Timur Tengah, yang melahirkan proses respon dan transmisi ilmu pengetahuan belaka. Pada sisi yang lain, kajian tersebut juga telah memberikan data penting mengenai karya-karya keislaman muslim Nusantara pada abad ke-16 dan ke-17 di berbagai bidang (Azra, 1998:142). Sebut saja Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf As-Singkili, Yusuf Al-Makassari, Mahfudh At-Tarmasi adalah di antara tokoh penting yang berperan dalam tradisi penulisan karya-karya keislaman di Nusantara dalam bidang-bidang keilmuan yang cukup beragam.

Dari Serambi Makkah ke Makkah-Madinah
Adalah Abdurrauf Singkil, seorang yang kemudian dikenal sebagai mufasir besar yang berasal dari Aceh abad 17. Ia memulai perjalanan intelektualnya dari desa kelahirannya sendiri, yaitu Singkil. Kemudian ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Arab pada sekitar tahun 1642. Dalam petualangannya ia telah berhasil menjalin hubungan selama 19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka ia mempelajari berbagai cabang ilmu agama (tafsir, hadis, fiqih, tasawuf tauhid dan akhlak).

Namun demikian, pengaruh paling besar dalam pembentukan pola pikir dan pola sikap Abdurrauf berasal dari gurunya di Madinah, Syaikh Ahmad Qushashi dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani. Dari Al-Qushashi ia mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam (batin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhirnya ia ditunjuk sebagai imam tarekat Shattariyah dan Qadiriyah. Dari Al-Kurani ia mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf. Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun Abdurrauf kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1661.

Mengenai karya-karya Abdurrauf tidak hanya terbatas pada satu bidang keahlian saja, sebagian peneliti mengatakan bahwa karya Abdurrauf berjumlah 21 buah. Satu berbentuk tafsir, 2 kitab hadis, 3 buah berupa kitab fiqih, dan 15 sisanya merupakan kitab tasawuf (Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, 1992:31-33). Di antaranya adalah:

– Tarjuman al-Mustafid, tafsir Al-Qur’an berbahasa Melayu pertama di Nusantara.
– Syaraḥ Laṭīf ‘alā Arbaʻīn Ḥadītsan li Imām al–Nawāwī, Al-Mawā’iz al-Badīʻah, keduanya berbahasa Melayu.
– Mir’at al-Ṭullāb fī Taḥṣīl Aḥkam al-Syarʻiyyah li al-Mālik al-Wahhāb (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah.
– ‘Umdat al-Muhtajīn (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan).
– Kifāyat al-Muhtajīn (Pencukup Para Pengemban Hajat)
– Daqā’iq al-Ḥurūf (Detail-Detail Huruf), serta
– Bayān Tajallī (Keterangan Tajalli). Dan selebihnya kitab-kitab tasawuf.

Tarjuman Al-Mustafid; Kitab Tafsir Tertua di Nusantara
Pada abad ke-17 M, salah satu ulama Nusantara yang terkenal adalah Abdurrauf Singkil. Ia adalah orang pertama di Nusantara yang menulis tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz, berjudul Tarjuman Al–Mustafid, memakai bahasa Melayu dengan aksara Arab. Sebagai tafsir awal, karya ini telah beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan, edisi cetaknya dapat ditemukan di kalangan komunitas Melayu, di tempat sejauh Afrika Selatan. Edisi-edisi cetaknya tidak hanya diterbitkan di Singapura, Penang, Jakarta dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah.

Kitab ini dinamakan Tarjuman Al-Mustafid yang memilik makna atau arti “Petunjuk Bagi Peraih Faedah Ilmu”. Karya ini merupakan kitab tafsir Melayu yang terawal ditulis di daerah Melayu. Sebelum itu pernah ada tafsir surat Al-Kahfi ditulis di zaman Hamzah Fansuri atau Syamsyuddin As-Sumatrani dengan gaya Al-Khazin, namun hanya satu surat saja dan bukan tafsiran lengkap All-Qur’an.[15] Tafsir Tarjumān al-Mustafīd sampai saat ini dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada.

Cetakan pertama dari kitab Tarjuman Al-Mustafid bermula ketika Syaikh Muḥammad Zainall Fatani membawa manuskrip Tarjuman Al-Mustafid ke Turki serta ditunjukkan kepada sultan Turki. Baginda sultan berkenan menyimak serta mencetaknya. Setelah beberapa kali dicetak, maka tampillah Syaikh Muhammad Idris Al-Marbawi membuat pembetulan serta mengadakan catatan kaki terhadap beberapa perkara yang kurang lengkap atau yang salah (Abdullah, 2005:16).

Tarjuman Al-Mustafid ini ditulis dalam bahasa Melayu berhuruf Arab (Jawi). Hal ini dimungkinkan terjadi, karena berdasarkan lacakan Anthony H. Johns, pada akhir abad ke-16 M telah terjadi pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara, seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut dengan aksara jawi dan pegon.

Bahasa Arab dalam tradisi karya tafsir, memang menempati posisi tinggi dan penting di tengah bahasa yang lain. Proses akulturasi dua bahasa, Melayu dengan Arab misalnya, dalam tradisi penulisan karya tafsir tetap menempatkan bahasa Arab pada posisi di atas. Dalam hal ini merefleksikan adanya fenomena diglossia, yaitu situasi di mana dua variasi bahasa, yang satu dianggap tinggi dan yang lain dianggap rendah—ini terjadi di komunitas Muslim Indonesia, tidak hanya dalam karya-karya tafsir (Gusmian, 2010:19).

Keragaman bahasa dan aksara yang dipakai oleh para penulis tafsir Al-Qur’an di Indonesia di atas, bukan hanya menciptakan adanya hierarki dan tujuan demi pembumian nilai-nilai dalam kitab suci Al-Qur’an. Tetapi juga mencerminkan adanya keterpengaruhan ruang sosiokultural tempat karya tafsir tersebut ditulis. Tafsir yang ditulis dengan bahasa Melayu-Jawi, secara umum muncul di wilayah Sumatra dan Aceh; penulisnya adalah ulama-ulama yang berasal dari wilayah ini serta pada era abad ke-17 dan 18 M di mana bahasa Melayu Jawi menjadi alat komunikasi masyarakat pada masa itu. Tarjuman Al-Mustafid karya Abdurrauf Singkil yang memakai bahasa Melayu aksara Arab, tentu mempertimbangkan situasi umat Islam pada saat itu, dan bahasa Melayu-Jawi menjadi salah satu alat komunikasi yang dominan.

Dipakainya bahasa Melayu berhuruf Jawi pada era tersebut semakin menemukan kekuatannya, karena bahasa Melayu merupakan lingua franca yang dipakai di Nusantara dan menjadi bahasa resmi yang dipakai dalam komunikasi pemerintahan, hubungan antarnegara, dan perdagangan. Namun, dalam masyarakat yang bahasa daerahnya non-Melayu, Melayu-Jawi tentu hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu, misalnya kalangan pemerintahan, terpelajar dan pedagang. Di luar dari kelompok-kelompok ini, bahasa daerah masing-masinglah yang dominan dipakai.

Yang Tersisa dari Syiah Kuala
Abdurrauf Singkil, sang mufasir yang canggih itu, pada hari ini sedang kita peringati kepulangannya, kepulangan yang sempurna, dengan meninggalkan semerbak keharuman karya, tapak jejak khidmat terhadap umat, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Kita mengenang kehidupannya, kiprah dan perjuangannya kepada pengetahuan dan agama. Kita juga mengenang kewafatannya. Kepergiannya memberikan spirit kecintaan kita terhadap ilmu, dan kedisiplinan kita dalam laku suluk pendakian ruhani. Karena kematian adalah kepastian, maka sebelum ia benar-benar datang menghampiri kita, mari kita semua bersiap membawa bekal. Cukuplah kematian sebagai nasihat.

Sebagaimana yang disampaikan Imam Syafi’i (imam madzhab kita) dalam puisinya:

Sumber Bacaan:
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah, Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, Cetakan ke IV, 1998.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

Zulkifli Mohd Yusoff Wan Nasyrudin Wan Abdullah, Tarjuman al-Mustafīd: Satu Analisa Terhadap Karya Terjemahan. Jurnal Pengajian Melayu, Jilid 16, 2005.

Islah Gusmian, “Bahasa dan Aksara Tafsir al-Qur’an di Indonesia dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan Pembaca”. Jurnal Tsaqafah, vol. 6, No. I, April 2010.

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top