Oleh: Hasan Basri Marwah
LANGGAR, Petjut.id – “I am not one to believe in traditions simply because they are traditions. I believe in the legacies that multiply human freedom, not in those that cage it. It should be obvious, but can never be too obvious: when I refer to remote voices from the past that can help us find answers to the challenges of the present, I am not proposing a return to the sacrificial rites that offered up human hearts to the gods, nor am I praising the despotism on Romanticism of the Inca or the Aztec monarchs.” (Eduardo Gelano).
Apa yang dikatakan Gelano sangat penting dijadikan pijakan untuk melihat perjalanan tradisi pesantren. Apa yang disebut, bahkan diklaim, sebagai “tradisi pesantren” tidak menjadi belenggu bagi kalangan pesantren sendiri di dalam kehidupannya.
Basis tradisi pesantren adalah pengetahuan dan etika berbasis tasawuf. Pada mula perkembangannya, pesantren adalah lembaga pembentukan manusia melalui pendidikan yang berbasis humanisme: pengajaran ilmu-ilmu dasar dari beberapa disiplin ilmu dasar yang sudah umum dikenal: bahasa, sastra, hukum, dll. Proses pengajaran-pembelajaran ini biasanya dibarengi dengan pembiasaan hidup prihatin melalui tirakat, latihan-latihan ruhani yang ketat. Sampai pada akhir abad-19, seorang pimpinan pesantren tidak akan memberi izin santri pulang kampung sebelum “matang” (dalam pengertian kitab-kitab pesantren sendiri) mandiri di bidang pengetahuan dan ruhani.
Pengertian matang dan mandiri secara ilmu: karena sudah menguasai berbagai disiplin ilmu yang diajarkan dengan penjenjangan seperti pada lembaga pendidikan pada umumnya. Seorang santri yang matang-mandiri secara pengetahuan tidak saja mampu membaca teks-teks berbahasa asing (teks kitab kuning) tetapi juga mampu menafsirkan, memberikan anotasi dan komentar atas kitab-kitab kanon dalam pesantren, bahkan sampai pada kapasitas memberikan tambahan dan karya baru sesuai dengan kitab-kitab kanon dalam beberapa disiplin.
Sebagai ilustrasi bandingan: masyarakat dunia ketiga yang dibentuk oleh kolonisasi sebagai “a half-made societies” (masyarakat setengah jadi atau jadi-jadian) membutuhkan waktu panjang untuk keluar dari belenggu tradisi pengetahuan penjajah. Mereka mampu keluar dari belenggu pengetahuan para penjajah setelah tumbuh menjadi sarjana andalan yang taraf kesarjanaannya setaraf, bahkan dituntut lebih imajinatif, dengan para sarjana di kalangan penjajah.
Di kalangan pesantren, jika seorang santri tidak bersitekun penuh-seluruh dalam pengetahuan, maka selamanya ia akan terbelenggu dengan/oleh apa yang disalah-sangkakan-nya sebagai tradisi. Takut mengkritik, takut berpendapat, takut menulis, dan lain sebagainya.
Pada mereka yang sarjana setengah jadi di lapangan pengetahuan umum, modern, yang tidak mampu melampui tahapan kesarjanaan yang dipersyaratkan oleh tradisi kesarjanaan modern akan menjadi masalah dalam masyarakatnya, bahkan seringkali menjadi sumber masalah. Seharusnya menjadi pendinamisir masyarakat, justru menjadi masalah dalam masyarakatnya. Banyak sekali contohnya. Sampai-sampai para novelis India dari generasi VS Naipul sampai Arundhati Roy menciptakan karakter-karakter berupa sosok sarjana modern alumni pergurunan tinggi papan atas Eropa yang tidak mampu ngapa-ngapain di tengah masyarakatnya selain membanggakan pengalaman sekolahnya di luar negeri dan mengimpor gaya hidup paling kulit luar dari tradisi penjajah.
Para sarjana setengah jadi dalam tradisi modern inilah yang di kalangan paska-kolonial diolok-olok sebagai native-informer, impostor, komparador (tentu dengan pengertian tersendiri satu dengan lainnya).
Jika mau singkat, maka para native-informer, impostor dan komparador adalah para sarjana pribumi yang dididik dalam tradisi modern adalah: menceritakan borok kelompoknya untuk menyenangkan tuannya di kelompok lain dan menempatkan dirinya seakan bukan produk dari kelompoknya sendiri.
Kalau itu sarjana muslim dengan pendidikan modern yang bonafid misalnya, kerjaannya setelah jadi (meraih ) doktor atau guru besar kalau tidak berlomba membangun rumah mewah dengan segala perlengkapan melalui proyek-proyek, ya paling mengolok-olok tradisi Islam umum soal ibadah, kitab suci, dan menganggap umat Islam tidak memakai otak dan sebagainya. Mereka menjadi sarjana dengan menguliti masyarakat dan tradisinya sendiri dan mereka tidak merasa ‘bersalah’ melakukan itu. Malah merasa sangat intelek dan berkemajuan. Mereka merasa jadi sarjana dengan perhatian pada masalah-masalah yang masih di bawah kuasa tuannya.
Sepakar-pakarnya sarjana muslim Indonesia dalam bidang kajian Al-Qur’an ala kaum revisionisme, ya tetap saja ia mengulang-ulang apa yang dikatakan oleh para orientalis dan pakar barat soal Al-Qur’an. Inilah yang disebut wacana universitasnya Jacques Lacan.
Contoh lainnya, adalah perasaan senang, minimal perasaan setuju (atau lebih interested), para sarjana modern Indonesia dari berbagai kelompok dan agama yang merasa bahwa sumber keterbelakangan bangsa Indonesia setelah merdeka ini adalah umat Islam dan agamanya: Islam.
Saya kira tidak perlu contoh lain. Orang seperti Chinua Achabe dan Ngugi Thiongo karena keterbatasan yang mereka alami sebagai warga negara paskakolonial di Afrika, mempersenjatai diri dengan bacaan yang luas dan kemampuan menulis dengan niat dari awal melawan segala bentuk translasi pengarang Eropa seperti Joseph Conrad atas bangsa Afrika.
Para santri yang ngaji tanpa sekolah mempersenjatai diri dengan ilmu alat dan ilmu lainnya sampai pada tahap sebagai alat kritik, yakni kapasitas mampu belajar sendiri, mandiri, dan produktif sehingga warna abu-abu dari tradisi mereka jadi terang benderang sehingga mereka leluasa tumbuh sebagai penerang masyarakat.
Kemandirian batin, kemandirian ruhani. Syaikh Abdul Qodir Jailani dalam salah satu bab dalam kitab Futuhul Ghoib mengatakan bahwa seorang murid ruhani disebut mandiri secara ruhani ketika ia menerima rahasia-rahasia langsung dari Allah SWT tanpa diketahui oleh gurunya.
Sebenarnya hampir mirip dengan proses dan tahapan pada kemandirian intelektual. Tapi keduanya adalah dua bidang yang terkait sekaligus memiliki sejumlah perbedaan.
Sekali lagi sampai akhir abad 19 dan awal abad 20 Masehi, kiai-kiai pesantren pastilah para wali yang tidak saja kuat secara ruhani tetapi kuat secara intelektual. Maka murid-murid para kiai pada masa itu melahirkan kiai-kiai dengan kemandirian intelektual dan ruhani yang luar biasa.
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Lurah Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta