Nostalgeria

Oleh: RH. Authonul Muther

RESIDU, Petjut.id – Sore di musim semi tahun 2003, di ruang tunggu Institut du Monde Arabe, Prancis, seorang pria bernama Mustapha Cherif duduk di depan meja, tenggelam dalam pikirannya yang jauh dan antah-berantah. Di depan meja itu dia menunggu kedatangan Jacques Derrida, filsuf kontroversial, sekaligus juru selamat bagi mereka yang tertindas dan yang terpinggirkan. Sore itu, Derrida bersama Cherif akan berbicara tema penting, “Algeria-France: Tribute to the Great Figures of the Dialogue between Civilizations,” di hadapan ratusan audiens di sebuah aula besar.

Derrida memulai seminar itu dengan sepotong kalimat: “Saya ingin berbicara di sini, hari ini, sebagai orang Aljazair, sebagai orang Aljazair yang menjadi warga Prancis beberapa saat, kehilangan identitas orang Prancis, dan kemudian memulihkannya kembali.” Di seminar itu Derrida dengan tegas berbicara sebagai orang Aljazair—tanah terjajah tempat kelahirannya—tetapi dengan suara yang lemah; karena kanker pankreas, penyakit yang akan merenggut hidupnya lima belas bulan setelah seminar musim semi 2003 itu.

Derrida berkata pada Cherif, “Di pertemuan lain, saya tidak akan punya cukup tenaga untuk berpartisipasi”[1] (p. 97). Derrida sadar hidupnya tidak bakal bertahan lama, namun dia tetap menyempatkan diri berbicara tentang Aljazair—dengan tubuhnya yang mulai ringkih—dan dengan bangga menyebut Aljazair sebagai Nostalgeria.

***

Nostalgeria, sebagai neologisme, adalah nama bagi perasaan kompleks Derrida atas tanah kelahirannya, tanah yang mengajarinya pengalaman singular menjadi subjek yang terpinggirkan—dia berasal dari keluarga Yahudi di masa ketika antisemitisme merajalela. Nostalgeria juga berarti perasaan intim Derrida terhadap konsep tentang rumah, di satu sisi; dan sebuah palingan ingatan kepada sejarah lampau, di sisi lain. Nostalgeria: Sebuah nama atas tanah kelahiran, perasaan nostalgik, dan rindu tanah air.

Derrida tidak pernah melupakan Aljazair. Pada tahun 1994, Derrida memberi dukungan kepada intelektual Aljazair yang dibungkam oleh rezim kala itu: “Berlindung dari seluruh penindasan, termasuk penindasan dari institusi modern par excellence, yakni negara” (p. xiv). Dukungan moral dari Derrida ini adalah bentuk perasaannya yang tidak hanya menganggap Aljazair hanya sebatas Aljazair, namun pada saat yang sama sebagai Nostalgeria.

Tanah yang ia tinggali selama sembilan belas tahun sebelum pindah ke Prancis itu, menyusun ingatan panjang di kepala Derrida. Setelah meninggalkan Aljazair pertama kali pada tahun 1949 dan bermigrasi ke Prancis, Derrida baru menginjakkan kaki di tanah kelahirannya lagi pada tahun 1971—dalam rangka menghadiri seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Aljazair. Tahun 1971 adalah pertama kalinya Derrida berbicara sebagai filsuf besar, juga filsuf kontroversial, di tanah kelahirannya.

Selama dua dekade, Derrida mengembara dari Afrika hingga Timur Tengah mengekspresikan dukungan politiknya terhadap mereka yang tertindas—misalnya protes keras Derrida terhadap penindasan yang terjadi di Afrika Selatan dan okupasi teritori Palestina yang dilakukan oleh Israel.  Namun, selama dua dekade itu Derrida tidak pernah menginjakkan kaki (lagi) di Aljazair (tepatnya, Nostalgeria). Di tahun 1991, Derrida berencana mengunjungi Aljazair untuk kedua kalinya, namun rencana kunjungan itu gagal karena Perang Teluk. Rencana kunjungan ketiga dilaksanakan pada November 2004 saat Derrida diundang untuk menghadiri sebuah konferensi yang didedikasikan untuk mengapresiasi karya-karyanya. Namun, takdir berkata lain, Derrida meninggal satu bulan sebelum konferensi itu diselenggarakan, yakni pada tanggal 9 Oktober 2004. Derrida membawa kenangan tentang Aljazair, membawa Nostalgeria di hadapan kematiannya.

***

            Derrida punya tawaran menarik tentang Aljazair, Arab, dan Islam. Cherif dengan gemilang menggambarkan bagaimana Derrida memahami tiga tripartid penting itu tanpa praduga-praduga Barat: “Derrida berasal dari Pantai Selatan,” tulis Cherif, dengan demikian “dia melihat kebudayaan Islam dan Muslim tanpa anggapan-anggapan eksternal” (p.7). Derrida mengalami langsung, sampai di umurnya yang ke sembilan belas, kebudayaan Islam dan sosiologi kaum muslim dari dekat—bahkan mengalami Islam sebagai momen kultural. Meski sudah meninggalkan Aljazair, Derrida tidak menghapus kenangan tentang tanah kelahirannya itu, ia tetap terbuka terhadap orang-orang Aljazair: “Saya tetap menghargai apa yang Aljazair dalam diri saya—dan apa yang ada dalam diri saya itu, akan membuat saya tetap menjadi seorang Aljazair” (p.86). Derrida adalah sosok tauladan bagaimana kita seharusnya memahami akar-muasal diri kita—seberat apa pun.

            Berbicara tentang Islam-Barat, Cherif dan Derrida sama-sama bersepakat dengan cara pandang antiorientalis, seperti yang ditulis Cherif, “membuka kembali horizon, melampaui pembagian (Islam-Barat), mencari sebuah bentuk baru aliansi antara individu-individu dan komunitas yang mencintai keadilan” (p.11). Kita tidak bisa lagi melihat peradaban hari ini dalam kacamata biner, yakni Barat melihat Timur, Timur melihat Barat. Dualitas seperti itu hanya akan mengulang kembali masa kelam sejarah: Asumsi-asumsi patologis bahwa Barat lebih unggul daripada timur, Timur lebih rendah daripada Barat; Timur mempunyai etos kebijaksanaan lebih tinggi dibanding Barat, dst.. Kita harus melihat—seperti Derrida melihat Aljazair—tanpa anggapan-anggapan eksternal. Peradaban dibangun di atas perbedaan (kultur-budaya, misalnya), tapi pada saat yang sama, juga di atas persamaan (solidaritas kemanusiaan dan keadilan).

            Cherif, di buku ini, menempatkan Derrida sebagai vecu d’Algerien (pengalaman hidup sebagai orang Aljazair)—atau, lebih tepatnya, sebagai Yahudi-Prancis-Magribi[1], atau yang lebih sederhana lagi, Derrida sebagai Yahudi-Arab. Kala itu orang-orang Yahudi mengalami marginalisasi besar-besaran di belahan dunia Arab, tentu saja, karena pengaruh antisemitisme. Derrida adalah salah satu dari sekian banyak subjek Yahudi yang mengalami marginalisasi besar-besaran. Namun, Derrida tidak menyimpan dendam dengan dunia Arab. Sebaliknya, dia melihat wilayah Magribi sebagai sesuatu yang penting; sebuah kekuatan besar melawan phatos Barat, sebuah momen meruntuhkan logos Eurosentrisme. Seperti yang Derrida katakan, “…kebutuhan untuk mendekonstruksi bangunan intelektual pemikir Eropa terhadap Islam” (p.38). Dari Derrida kita tahu, pengalaman hidup dan cara berpikir bukan hanya milik Barat, peradaban juga bisa datang dari sembarang tempat: Timur, dalam konteks ini Islam, juga punya peran penting dalam mengintervensi, mendeterminasi dan mengubah sejarah. Benar, Barat bukan segala-galanya.

            Identitas Derrida yang serba hibrid (Yahudi, Arab, dan Barat), membuat Derrida memahami Sang-Liyan dengan cara pandang kesetaraan dan non-hirarkis: l’autre comme le prochain le plus proche (Sang-Liyan sebagai tetangga terdekat). Sang-Liyan sebagai tetangga terdekat, berarti, menghargai mereka yang berbeda dan yang-asing dengan sebenar-benarnya penghargaan; tanpa asumsi, tanpa praduga, tanpa hasrat apa pun, membiarkan dia menjadi dia dalam dirinya sendiri—sebuah aktus ramah-tamah. Pandangan ini yang digunakan Derrida dalam melihat Islam dan Barat: Dua peradaban tersebut tidak dibangun dalam kesamaan, tetapi dalam perbedaan yang-setara. Baik Barat atau Islam—juga Timur secara umum—tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, keduanya punya peran yang sama dan setara. Melihat relasi Islam-Barat dengan cara pandang kesetaraan, bukanlah semata-mata tanggung jawab etis, melainkan juga wilayah struktural!

            Kegigihan Cherif melawan arogansi dan kebrutalan kolonialisme, membuatnya menawarkan konsep universalisme demokrasi. Namun Derrida memberi rambu-rambu peringatan: Kita memang mampu berbicara demokrasi dalam arti universal, tetapi dalam satu pemahaman elementer, yakni kita harus mengandaikan konsep demokrasi sebagai model tanpa model. Demokrasi bukanlah sebuah model fixed dalam rezim politis: “Apa yang membedakan idea demokrasi dari seluruh idea rezim politis lain—monarki, aristokrasi, oligarki, dsb.—adalah demokrasi hanyalah sistem politik, suatu model tanpa model; demokrasi menerima sejarahnya sendiri (yakni masa depannya), menerima kritik internalnya sendiri, menerima kesempurnaannya sendiri” (p.42). Konsep demokrasi—yang mempunyai asal-usulnya dalam sejarah Yunani—berasal dari konsep tentang tanah dan teritori, yakni konsep tentang batas negara.

Namun, Derrida punya mimpinya sendiri tentang demokrasi: “Saya tidak melawan Negara, saya tidak melawan hak warga negara, tetapi saya dengan berani memimpikan sebuah demokrasi yang tidak hanya terikat pada konsep bangsa-negara dan kewarganegaraan. Karena dalam kondisi demokrasi yang tidak hanya terikat pada bangsa-negara dan kewarganegaraan itulah, kita bisa berbicara tentang demokrasi universal; sebuah demokrasi yang tidak hanya kosmopolit, melainkan juga universal” (p.43-44). Universalisme demokrasi menjadi mungkin jika dan hanya jika demokrasi menjadi model tanpa model dalam rezim politik.[2]

Cherif menggunakan cara pandang Islam sebagai benteng pertahanan terakhir dalam melawan sekularisme ekstrem dan sentimen antiagama. Cherif dengan nada bicara yang tendensius bertanya, “Bisakah Islam—objek yang seringkali disalahpahami itu, yang dianggap sebagai figur perlawanan, pembangkang, yang-asing—berkontribusi memecahkan kebuntuan?” (p.14). Tentu Islam mampu! Karena inti di dalam ajaran Islam adalah pertanyaan elementer tentang makna eksistensi manusia—atau apa yang dikatakan Cherif sebagai relasi manusia dengan misteri (le rapport au mystere). Bagi Cherif, konsep tentang misteri juga berarti konsep tentang iman. Dengan demikian, eksisten dasar manusia selalu berelasi dengan misteri, dengan iman.

Adapun bagi Derrida, iman merupakan kondisi mendasar manusia berelasi dengan manusia lain (dalam konteks sosial). Iman adalah ikatan sosial itu sendiri; sosialitas manusia tidak mungkin terjadi tanpa keyakinan dan kepercayaan terhadap manusia lain. Apalagi, Derrida memisahkan agama dan iman sebagai dua domain yang terpisah. Terdapat banyak agama, jika kita mengandaikan iman secara eksklusif, yakni hanya pada satu golongan, maka intoleransi akan terjadi. Namun, jika kita memahami iman secara inklusif—karena iman adalah kondisi dari sosial manusia itu sendiri—sebanyak apa pun agama di dunia ini, kita akan menghargai mereka yang berbeda karena kita percaya dan yakin dia adalah manusia. Sebuah palingan: Iman eksklusif yang hanya tertuju pada justifikasi kebenaran suatu golongan; menuju iman inklusif yang tertuju pada hubungan sosial (juga kemanusiaan dan keadilan) itu sendiri. Bagi Cherif—mungkin dia terinspirasi dari Derrida—itulah yang ditawarkan oleh Islam: Di satu sisi mempercayai iman secara eksklusif, dalam arti teologis; tetapi di sisi lain, ketika bertemu dengan manusia lain, iman menjadi inklusif. Iman yang tidak memaksakan kehendak dan jauh dari amarah. Tidak heran, entah kita sepakat atau tidak, Cherif tidak terlalu keberatan dengan sekularisme (tentu sekularisme yang tidak membabi-buta).

Cherif, memahami Islam harus diarahkan pada tujuan-tujuan yang melampaui “batas” dan sekat, sebuah momen universalitas dari Islam. Islam adalah agama, bukan budaya—inilah kerangka kepercayaan Cherif.

Sebuah harapan dan solidaritas: Kita, sebagai umat muslim, harus terjaga dan terhindar dari manipulasi agama dan kekerasan politik. Kita, sebagai umat muslim, harus memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan tanpa sekat dan batasan rasial—keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan bagi siapa pun.  Kita, sebagai umat muslim, mempunyai peran dalam mengintervensi sejarah dan kebuntuan zaman.

Derrida, dengan jawaban yang cukup menenangkan, menjawab pertanyaan sendu Cherif tentang apa yang harus kita lakukan dalam menanggapi separatisme, “Keadilan hanya mungkin ketika salah satu dari pihak yang bertikai—tentu inisiasi yang sangat berbahaya—mengambil langkah pertama, mengambil resiko untuk mengajak dialog, dan memutuskan tidak pada genjatan senjata, melainkan pada perdamaian” (p.59). Perdamaian dan keadilan hanya bisa dibangun di atas persahabatan murni tanpa ada sedikit pun konsep tentang musuh.[3] Namun, adakah persahabatan yang murni di dunia ini? Adakah persahabatan tanpa politisasi, tanpa kalkulasi?

***

Kita tutup tulisan ini dengan sebuah surat yang ditulis Derrida kepada Jean-Luc Nancy ketika sahabat dekat mereka, Gerard Granel, meninggal dunia: “Sahabat yang kita kagumi, sahabat yang saling berbagi dengan kita sudah tidak lagi di sini…dia..dia yang tak tergantikan dalam membagikan segala hal, membagi, dan akan selalu membagi, membuat kita akan selalu bisa membagi segala hal dengannya—meski ia tak lagi di sini, di hadapan kita” (p.99). Kita semua punya Nostalgerianya kita sendiri. Namun Nostalgeria itu kini bukan lagi tanah, tapi Wajah.

Sahabat adalah Aljazair kita, Nostalgeria kita. Di hadapan Wajah sahabat, kita merasakan konsep tentang rumah. Sahabat  adalah konsep tentang rumah di satu sisi; dan sebuah palingan ingatan kepada sejarah lampau di sisi lain. Sahabat kita adalah Nostalgeria: Sebuah nama atas tanah kelahiran kita yang kedua, perasaan nostalgik, dan rindu tanah air. Seperti Cherif ke Derrida, seperti Nancy ke Derrida, seperti Spivak ke Derrida, seperti Cixous ke Derrida…bukankah, sahabat terbaik kita adalah guru kita sendiri? Bagi Cherif, Nancy, Spivak, Cixous…Derrida adalah Nostalgeria; guru adalah kampung halaman kita. Guru adalah Nostalgeria kita.

Penulis adalah Pegiat Filsafat

[1] Magribi secara umum bermakna sebelah barat dunia Arab; makna khususnya adalah bangsa dan negara Arab di Afrika Utara.

[2] Mengenai konsep Derrida tentang demokrasi, lebih tepatnya, demokrasi-yang-akan-datang, penjelasan lebih gamblang bisa dilihat di buku Derrida, The Politics of Friendship.

[3] Mengenai persahabatan murni, bisa kita baca di esai R.H. Authonul Muther, Persahabatan, Monograf: 2022.

[1] Kutipan dalam teks ini seluruhnya diambil dari karya Mustapha Cherif, Islam and West: Conversation with Jacques Derrida.

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top