Oleh: RH. Authonul Muther
25 Oktober 1990, Derrida terlibat percakapan bersama Daniel Birnbaum (seorang penulis buku-buku seni dan filsafat) dan Anders Olsson (seorang Profesor Sastra di Universitas Stockholm, sekaligus anggota Akademi Swedia yang menganugerahkan Hadiah Nobel dalam bidang sastra). Wawancara ini, bagi sebagian orang dianggap remeh dan tak berguna. Bagaimana tidak, ketiga orang itu berbincang mengenai konsep tentang makan dan kanibalisme. Justru di situ daya tariknya. Karena dari wawancara ini kita bisa tahu, tidak semua hal bisa kita makan, kita cerna, dan kita lebur.
Seperti kata Derrida, “Menghormati apa yang tidak bisa kita makan—apa yang tidak bisa kita asimilasi.” Percakapan ini berlangsung ketika buku Derrida yang membahas Hegel dan Jean Genet, Glas, telah terbit enam belas tahun yang lalu.
Di sela-sela percakapan tentang konsep makan dan kanibalisme, tiba-tiba dering telepon terdengar. Percakapan mendadak terhenti. Tentu Derrida pamit mengangkat telepon. Beberapa menit berlalu, Derrida kembali dengan wajah yang penuh senyum. Telepon dari seorang teman, sekaligus gurunya, Emmanuel Levinas.
***
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Kuliah Anda tahun ini berjudul “Kiasan Kanibalisme.” Bisakah Anda memberi tahu sedikit tentang ide dasar dari perkuliahan tersebut?
Jacques Derrida: Di Glas, karya saya tentang Hegel, saya begitu tertarik dengan konsep inkorporasi (proses penggabungan atau sintesis antar entitas, momen penyatuan) dalam pemikiran spekulatif—konsep ‘memahami’ sebagai bagian dari konsep inkorporasi. Konsep “Erinnerung”, yang bermakna baik memori dan interiorisasi, memainkan peranan penting dalam filsafat Hegel. Roh menginkorporasi (menyatukan) sejarah dengan meleburkan masa lalunya, dengan mengingat masa lalunya. Aktus peleburan (assimilation) sebagai bagian dari proses makan yang tersublimasi—roh memakan segala sesuatu yang eksternal dan asing, dan dengan demikian mentransformasi yang eksternal dan asing itu menjadi sesuatu yang internal, sesuatu yang menjadi milik dirinya sendiri. Segala sesuatu harus terinkorporasi ke dalam sistem besar pencernaan—tidak ada yang tidak bisa dimakan oleh metabolisme tak terbatas Hegel.
Konsep inkorporasi dalam hermeneutika dan filsafat spekulatif itulah yang saya sebut sebagai “kiasan kanibalisme.” Tidak ada karya lain yang dengan jelas menampakkan kanibalisme segamblang karya Hegel, namun kiasan kanibalisme tersebut nyaris terdapat di seluruh karya pemikiran Barat. Makan adalah misteri besar dalam Kristianitas, transubstansiasi terjadi di dalam aktus inkorporasi (penyatuan) itu sendiri: roti dan anggur menjadi daging dan darah Kristus. Namun, tidak semata-mata tubuh Tuhan yang tersatukan (terinkorporasi) melalui proses makan mistik—dan hal tersebut juga firmanNya.
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Apakah Anda berpikir bahwa interpretasi Kitab Suci—hermenutika injil—juga bagian dari proses makan yang tersublimasi?
Jacques Derrida: Ya, dengan analogi peleburan tubuh Kristus dalam Perjamuan Kudus. Hal tersebut yang coba saya hubungkan dan gambarkan secara menyeluruh. Memakan firman Tuhan paralel dengan Sakramen Kudus—di titik ini pula, transubstansiasi terjadi. Dan hal tersebut meninggalkan jejaknya dalam hermeneutika modern, yang tentu saja mempunyai akarnya dalam interpretasi biblikal: sedikit mengherankan bahwa filsafat Gadamer juga ditandai dengan terma-terma yang diambil dari konsep pencernaan tersebut, akhirnya dia menjadi tampak seperti pemikir yang rakus. Hermeneutikanya meleburkan apa pun yang asing. Apa pun yang asing tidak mempunyai tempat—yang asing akan dicerna, melebur ke dalam tradisi besar, melahap tanpa ampun.
Namun, apa yang coba saya jelaskan di sini adalah hubungan antara konsep memahami dan konsep makan tidak diulas secara spesifik, akan tetapi telah menjadi budaya yang tak terelakkan dalam pemikiran Barat.
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Dalam arti apa fenomena kultural ini? Bagaimana perbedaan proses makan antara manusia dan hewan?
Jacques Derrida: Hegel menjelaskan perbedaan antara relasi manusia dengan dunia dan relasi hewan dengan dunia sebagai dua forma proses memakan yang berbeda. Hewan mempunyai relasi negatif dengan objek, karena hewan semata-mata menelan objek. Namun negativitas manusia bersifat reflektif: manusia tidak semata-mata melahap objek, melainkan menginkorporasi objek secara abstrak, dan dengan demikian menciptakan ruang abstrak yang menjadi bagian dari diri subjek. Hal itulah yang memungkinkan terdapat berbagai variasi lagu dan dansa yang diciptakan manusia di masa lalu.
Saya semakin tertarik dengan perbedaan filosofis antara manusia dan hewan, sekaligus memeriksa ulang perbedaan mendasar antara budaya (culture) dan yang-alamiah (nature). Saya memilih untuk membedah isu tersebut melalui pemikir yang tampaknya sangat mendalam membahas humanisme: Heidegger dan Levinas. Terlepas dari kritik Heidegger dan Levinas terhadap konsep tradisional tentang subjek, mereka tetap seorang humanis yang tetap mempertahankan perbedaan mutlak antara manusia dan hewan. Posisi yang menempatkan manusia mempunyai keistimewaan lebih, menyebabkan manusia mengorbankan dan memangsa hewan. Bahkan Levinas tidak ingin mengorbankan pengorbanan tersebut.
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Tapi di dalam pemikiran Heidegger, aktus interpretasi bukanlah proses interiorisasi dan inkorporasi, kan?
Jacques Derrida: Bukan interioriasi dan inkorporasi, sungguh bukan, mengingat dia menghilangkan konsep tentang interioritas subjektif. Namun perbedaan tentang apa yang menjadi milik dirinya sendiri dan apa yang asing tetap dipertahankan—pemahaman tetaplah sebuah asimilasi (peleburan). Namun Heidegger bukanlah seorang filsuf yang rakus seperti Hegel; baginya tidak semuanya bisa diasimilasi, dileburkan. Apa yang Heidegger sebut sebagai “perbedaan ontologis” antara Ada (Sein) dan pengada (Seienden)—yang tentu saja konsep esensial di dalam filsafatnya—menunjukkan terdapat sebuah batas bagi peleburan. Ada selalu tidak dapat diakses. Ada tidak pernah terberi sebagai Ada, suatu hal di dunia bisa dinamai dan digambarkan dengan pertanyaan ‘Apa?’ Ada (Being) mentransendensi pengada-pengada (beings)—Ada terhindar dari penamaan linguistik.
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Jadi Anda menempatkan perbedaan ontologis Heidegger menjadi semacam batasan antara apa yang bisa dimakan dan apa yang tidak bisa dimakan?
Jacques Derrida: Ya, tepat seperti itu. Perbedaan ontologis adalah batas antara apa yang terasimilasi dan apa yang sudah selalu diandaikan di dalam seluruh aktus asimilasi, tetapi di dalam dirinya sendiri (Ada) tidak dapat diakses. Inilah pamahaman yang paling mendalam dan rumit dari konsep Ada Heideggerian. Ada memungkinkan pengada-pengada dapat terakses di dunia, namun dirinya sendiri luput untuk diakses. Gerak ini adalah apa yang Heidegger sebut sebagai das Ereignis¬—peristiwa (atau “yang-akan-datang”).
Namun, sejauh berkaitan dengan konsep humanisme Heidegger, yang memusatkan manusia pada (organ) tangannya, batas antara manusia dan hewan tetap menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk dipertanyakan. Konsep humanisme Heidegger tersebut bukanlah humanisme tradisional, namun sebuah usaha untuk mendeterminasi sebuah tempat—sebuah tempat (Dasein) yang menerima sebuah makna. Tempat tersebut tidak bisa secara eksplisit disebut sebagai milik Manusia, namun Hedegger juga menjelaskan bahwa tempat ini juga bukan milik hewan. Hanya manusia yang mempunyai tangan, ucap Heidegger, dan, melalui tangannya, manusia mengakses dunia dengan tindakan penuh makna. Meski kera mempunyai tangan, tangan kera hanya sejauh “Greifsorgane” (organ untuk menggenggam) dan oleh karena itu tidak termasuk ke dalam dunia manusia. Perbedaan antara tangan dan organ untuk menggenggam (Greifsorgane) bukanlah suatu hasil studi atas kera yang dilakukan Heidegger di Hutan Hitam (Black Forest), melainkan sebuah karakter yang murni stipulatif. Di sini, seperti biasa, humanisme mengorbankan hewan, menelan hewan diam-diam.
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Apakah simbol memakan selalu merupakan prakondisi tak tampak dari pikiran? Atau perangkat metafor ini sudah muncul di dalam karya-karya puisi atau seniman tertentu?
Jacques Derrida: Ya, tentu saja. Saya baru saja melihat film Peter Greenaway, film tentang memasak dan pencurian—di film ini saya melihat struktur kanibalistik dari pengorbanan, struktur itu dapat ditemui di nyaris semua alur cerita. Film yang begitu jelas. Juga, saya mendedikasikan tiga seminar terakhir saya untuk fragmen Novalis, yang mana kita dapat menemukan segala hal yang ingin kita tahu di dalam fragmen itu. Dia mengaitkan misteri besar Perjauman Kudus dengan ekspresi penyatuan (inkorporasi) kanibalistik atas tubuh teman. Yang terpenting adalah “menikmati—dengan darah—imajinasi supersensual, daging teman di setiap gigitan, dan darah teman di setiap tegukan.”
Dan kita bisa mendapatkan wawasan yang sama mencengangkannya dan begitu terang-terangan di dalam “Penthesilea” karya Kleist, di dalamnya hasrat kanibalistik diungkapkan secara bebas. Cinta tanpa hasrat untuk melahap, pasti dia seorang anoreksia . . .
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Apa proyekmu hari ini?
Jacques Derrida: Saya akhir-akhir ini fokus dengan cara pandang budaya atas makanan yang tampak dalam praktik ritual: apa yang diperbolehkan untuk dimakan dan apa yang tidak diperbolehkan untuk dimakan. Beberapa pandangan dari berbagai kebudayaan mempunyai perbedaan konsep tentang kotoran—ritus skatologis—tentu saja, hal ini juga bagian dari kompleksitas konsep tentang makan. Saya sedang meniti pelan-pelan topik ini melalui studi terhadap hasil-hasil penelitian materi antropologi, dan membaca studi teoritis yang berhubungan dengan makan dan pencernaan—Frazer, Freud, Bataille, dan lainnya.
Studi tersebut adalah studi fenomena kultural yang jauh lebih konkret daripada studi awal saya. Sebelumnya, saya mendokumentasi secara mendetail kiasan inkorporasi melalui diskursus Hegelian. Saya melakukan hal ini, seperti yang telah saya singgung, di Glas. Dan topik tersebut juga telah selesai di Plorema, karya Werner Hamacher, mungkin Anda kenal. Saya juga melihat konsep yang mirip di dalam diskursus filsafat dan teoritis lain.
Di dalam kata pengantar yang saya berikan terhadap karya Maria Torok dan Nicolas Abraham, berjudul Abraham Study on the Wolf Man, saya menganalisis konsep menelan melalui teori Freud tentang duka dan melankoli. Dan di teks saya “Economimesis,” saya mencoba untuk menunjukkan, di dalam estetika Kantian, bagaimana suatu konsep ekonomi dihasilkan dari membangun pandangan yang indah atas konsep menelan. Sementara keindahan adalah sebuah nama bagi metabolisme yang seimbang dan harmonis, justru ekonomi terancam dari dalam dirinya melalui rasa jijik, dan keindahan menjadi runtuh ketika mencapai rasa jijik dan rasa ingin muntah—ekonomi mencapai titik batasnya, ketika ia tidak mampu secara mutlak mengasimilasi.
Seperti yang Anda lihat, ketertarikan saya terhadap metafor pencernaan di dalam pemikiran spekulatif, bukanlah hal baru bagi saya—sudah dua puluh tahun yang lalu sejak saya menulis Glas. Apa yang saya lakukan sekarang adalah memperluas bidang kajian dari studi filosofis dan spekulatif menuju studi yang lebih kultural.
[Percakapan terhenti ketika terdengar dering telepon. Derrida kembali beberapa menit dengan senyum di wajahnya. Telepon dari temannya, Emmanuel Levinas]
Hal tersebut selalu terjadi. Dia selalu berpikir saya akan menutup telepon sebelum percakapan berakhir, dan menyela sembari menyeru cemas: hello, hello! Dia yang berbicara tentang keyakinan pada sang liyan. . .
[Sekarang, Derrrida mulai mendiskusikan hubungannya dengan Levinas. Dia menekankan orisinalitas pemikiran Levinas, namun juga menjelaskan problem dari humanismenya.]
Levinas, lebih dari siapa pun, menekankan ketakteraksesan Yang-Lain. Yang-Lain tidak akan pernah bisa dipahami sebagai kehadiran, namun Yang-Lain hanya bisa dipahami melalui konsep seperti jejak dan eksterioritas. Dia benar-benar mematahkan fenomenologi metafisika kehadiran—Yang-Lain tidak akan pernah bisa dipahami dalam aktus teoritis, melainkan melalui tanggung jawab etis: Saya bertanggungjawab bagi Yang-Lain. Namun, tanggungjawab ini hanya teraplikasi pada manusia lain—humanisme Levinas didasarkan pada penyingkiran terhadap hewan, sama seperti Heidegger. Perintah Injil “Jangan membunuh” berlaku untuk manusia, tapi tidak untuk hewan. Budaya kita didasarkan pada struktur pengorbanan. Kita semua berbaur-tersatukan dalam hal memakan daging—riil atau simbolik. Di masa lalu, saya berbicara tentang phallus Barat, “logosentrisme.” Sekarang saya tampaknya akan memperluas konsep tersebut dengan menambahkan prefiks carno- (daging): “carnophallogocentrism.” Kita semua—juga vegetarian—karnivora dalam arti simbolik.
Daniel Birnbaum, Anders Olsson: Bagaimana proyek besar tentang makan ini berhubungan dengan dekonstruksi, seperti yang telah kita ketahui selama ini? Jika konsep pemahaman bisa kita bandingkan dengan konsep tentang makan, apa yang akan dilakukan dekonstruksionis dalam membaca teks?
Jacques Derrida: Menghormati apa yang tidak bisa kita makan—menghormati apa yang tidak bisa diasimilasi. Pemikiran saya tentang batas memakan, secara menyeluruh mengikuti skema yang sama seperti teori saya tentang ketakmenentuan (indeterminate) dan ketakterjemahan sebuah teks. Apa yang harus selalu diingat, apa yang tidak bisa dibaca, harus tetap menjadi yang-asing. Residu ini tidak pernah bisa kita interogasi sebagai hal yang-sama, namun harus terus menerus kita cari, dan harus terus menerus kita tulis.
Diterjemahkan dari An Interview with Jacques Derrida on the Limits of Digestion, e-flux Journal.
Penulis adalah Pegiat Filsafat