Ghalib: Puisi dan Rumah Penderitaan

Oleh: Hasan Basri Marwah

Tentu saja saya pertama mengenal namanya karena bacaan saya yang terbatas atas Allamah Muhammad Iqbal, penyair murung dari Hindustan dan salah seorang pendiri Pakistan modern. Saya adalah generasi muslim Indonesia yang merupakan korban tidak langsung dari percobaan intelektual yang payah dari generasi pemikir muslim sebelumnya.

Iqbal disebarluaskan sebagai  mobil pemadam kebakaran bagi Islam tradisional  di mana saya tumbuh dan berkembang di dalamnya. Pemikirannya diperkenalkan sebagai bukti pentingnya “berkemajuan”.  Iqbal digambarkan sebagai  kritikus wahdatul wujud sehingga cocok bagi masyarakat yang masih terbelenggu mistisisme yang anti-intelektual.  Puisi-puisinya diperkenalkan tanpa pendahuluan yang memadai tentang tradisi puisi Urdu dan Persia.

Selain dari Allamah Iqbal, seperti umumnya generasi muda muslim dunia, saya berhutang kepada Annemarie Schimmel, raksasa-pemikir dari kota Erfurt, Jerman,  yang menguasai 10 bahasa asing, terutama bahasa Arab karena Schimmel menguasai 15 dialek bahasa Arab utama dari sekian dialek lainnya. Ia menulis  As Through a Veil: Mystical Poetry in Islam (1982) dan sebuah buku yang spesifik tentang kepenyairannya: A Dance of Spark: A Imagery of Fire in Ghalibs Poetry (1983).

Aijaz Ahmad yang baru meninggal pada bulan Sya’ban lalu juga mengenalkan saya tentang keistimewaan Ghalib. Dari Ahmad saya tidak saja mendapatkan kritik yang memadai atas pemikiran Edward Said, tapi satu jalur yang penting tentang ketidakberesan dari sekulerisme dan demokrasi  dalam konteks India yang memiliki banyak kemiripan dengan pengalaman Indonesia, pengalaman dengan sekulerisme dan demokrasi.

Mirza Ghalib atau lengkapnya Mirza Asadullah Baig Khan dan Abdul Qadir Bedil adalah dua nama penyair yang paling sering disebut Iqbal. Di sini saya hanya bercerita tentang Ghalib, penyair yang dianggap sebagai puncak dari puitika-Urdu.

Para kritikus sastra-Urdu kontemporer menyimpulkan puisi-puisi Ghalib adalah jalan menemukan lapisan misteri kehidupan yang digambarkan seperti kobaran api. Dan para pembaca biasa yang membaca puisi-puisinya akan tersengal karena mendapatkan dirinya menemukan makna sekaligus pengalaman kreatif (seakan ia adalah Ghalib yang menjadi pengucap dalam puisi-puisi Ghalib) yang sulit digambarkan dengan kata-kata.

Seperti dikatakan oleh Hamid Dabashi tentang puisi-puisi dari penyair jelita dari Iran  Forough Farrokhzad, puisi Ghalib (Farrokhzad dalam kasus Dabashi) memberi pembacanya kekuatan tak tergambarkan dan melepaskan mereka dari rutinitas harian.

Salah satu potongan dari koplet Ghalib :

“Semata kematian yang dapat mengakhiri rasa sakit ngengat yang bermain-main dengan nyala api. Namun nyala api itu harus tetap menyala dalam semua warna sampai fajar menyingsing “

“Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu tampak sebagai tugas, seseorang bahkan tidak mampu menjadi manusia akhir-akhir ini.”

Saya akan kepayahan mengurai puisi-puisi Ghalib karena saya tergolong pembaca-biasanya yang tersengal-sengal yang merasa diselamatkan dari kutukan rutinitas kehidupan. Lagian saya bukan pakar sastra Bulaksumuran atau Depok-ian atau Karang Malangan.

Saya teringat Ghalib karena teringat dengan pergulatan umat manusia dengan penderitaan hidup. Bagaimanapun, seperti halnya Rumi dan para sufi besar, Ghalib tidak saja mengalami penderitaan secara puitis tetap juga dalam kenyataan hidupnya. Ia tidak saja menderita secara metaforik tetapi juga dalam kehidupan nyatanya. Saya mendapatkan Ghalib sebagai penafsir paling ulung dari puisi-puisi para sufi besar muslim tentang penderitaan hidup.

Misalnya kutipan paling populer dari bagian awal Rubaiyyat Maulana Rumi :

Maka kami pun datang dengan gembira, dengan gembira.

Semoga Allah memberimu umur hingga hari kiamat.

Dalam hatiku ada api yang menyala dari keindahan Kekasih.

Wahai duka, jika kau punya nyali datanglah ke mari.

فيايهاالغصة ان كانت عندك الجرأة فتعالي

Para rijal dengan senang hati menyongsong penderitaan, bersenang-senang dengan segala bentuk balak, telah mampu menembus lapisan misteri penderitaan sebagai kasih sayang Tuhan. Rumi mengingatkan bahwa mereka yang memiliki nyali mengundang penderitaan adalah mereka yang terbakar oleh kerinduan kepada Kekasihnya.

Seperti diungkapkan oleh Sayyid Jakfar bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji  ( 1103-1180 H/ 1690-1766 M) dalam Lujjainid-dhaani fi Zikri Nubdzatin min Manaqibir-Robbaninii Sayyidinas Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani atau yang biasa kita kenal sebagai Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani (dalam Manaqib ini terdapat  amalan harian pokok para ulama Qodiriyah di seluruh dunia seperti memelihara wudhu, istiqomah membaca al-Qur’an, menjaga qiyamul lail dengan sujud-sujud yang panjang dll):

ومااحب البلاء والتلذذ

 به الا من عرف المبلي

Tidaklah senang dan tidak bersenang-bersenang dengan balak kecuali mereka yang telah makrifat akan Dzat Yang Menurunkan balak.

Penderitaan dalam puisi Ghalib, dengan segala kerendahan hatinya, adalah pengalaman sufistik sekaligus pengalaman duniawiah. Terasa kedalamannya, penderitaan menjadi sangat hidup dan menukik ke kedalaman :

Kamu tidak akan dapat menggapai cinta tanpa rasa sakit

Hatimu harus bergairah; juga harus remuk-redam

Dengan kesedihan dan rasa sakit  cinta sejati tersebar luas

Kamu tidak bisa melarikan diri dari mereka; mereka adalah bagian dari kehidupan

00.. mematikan dan merusak adalah jalan dari keinginan

Dan harapan  seorang kekasih terlalu mengerikan

Dari rasa sakit dan penderitaan dia tidak bisa berpisah

Dan kesedihan selalu melahap hatinya.

Ghalib adalah keturunan seorang Khan dari Samarkand yang memutuskan pindah ke Hindustan di masa  yang tidak mudah. Keluarga Khan ini mengalami pasang surut kehidupan dalam konteks kolonialisme Eropa di Hindustan.

Ghalib sendiri telah menjual berbagai aset keluarga, berpindah-pindah untuk bertahan, berpatron dengan berbagai penguasa, dan bergumul dengan modernitas dalam kolonilaitas Eropa.

Ghalib menikah dan tidak memiliki keturunan. Satu-satunya putra yang dimilikinya meninggal ketika lahir. Ia kemudian mengadopsi dua orang putra sepupu dari istrinya yang juga akhirnya meninggal. Satu-satunya saudara laki-lakinya yang mengalami kekurangan fisik sejak kecil mati ditembak tentara penjajah Inggris dalam peristiwa perlawanan 1870 terhadap penjajah Inggris. Pada pemberontakan 1870, pemberontakan yang paling banyak dikenang oleh para pemikir India dan Pakistan (dulunya Hindustan) sebagai peristiwa penting sejarah mereka, banyak teman-temannya digantung, dibunuh, dibuang dan dinistakan dalam jeruji besi.

Ghalib hidup dengan jaminan uang dengan angka sangat rendah. Kumpulan puisi awalnya lahir pada masa sulit kehidupannya. “Aku adalah suara dari keremuk-redaman ku sendiri,” ungkapnya. Kopletnya tentang penderitaan meresonansikan puisi Sayyidina Ali, Imam Jakfar, Rumi, Al-Hallaj, Fakhrudidin Iraqi dan para sufi lainnya.

Di tengah meditasinya akan penderitaan aktual yang dialaminya, gelora puitika yang membakar dirinya, Ghalib menemukan dan memilih jalan tarekat sebagai situs-penghiburan bagi penderitaan. Ia mengikuti salah satu tarekat, mengagumi Rasulullah SAW (menulis antologi pertamanya tentang Kanjeng Nabi SAW), memuja Sayyidina Ali dan Sayyidina Husein.

Komunitas-persaudaraan ruhani sejatinya adalah tempat yang hangat bagi para pejalan ruhani dan  siapa saja yang masih perlu menumpahkan keluh kesahnya akan penderitaan hidup. Komunitas ruhani adalah rumah penampung para penderita yang belajar tabah mempertahankan harga diri dan daya kehidupannya. Tempat para penderita mencari penghiburan sementara ia tumbuh lebih tegar menyongsong penderitaan.

Penulis adalah Seorang Budayawan

Sumber Foto: petjut.id

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top