Oleh: M. Hanif Azizi
Pablo Emilio Escobar Gaviria, begitulah nama lengkapnya, kebanyakan orang mengenalnya sebagai Pablo Escobar, seorang gembong narkoba asal Kolombia paling top pada masanya, dan juga ia adalah ketua kartel Madellin. Don Pablo, begitu ia sering dipanggil, lahir dari keluarga miskin di Rionegro sebelum akhirnya ketika Escobar masih kecil, orang tuanya memutuskan untuk pindah menuju Medellin, di mana nantinya Escobar berkarir dan menguasai kota tersebut.
Cerita kriminal seorang Pablo Escobar dimulai saat ia masih remaja dengan mencuri batu nisan untuk dijual kembali. Ia juga menjual ijazah palsu, menyelundupkan alat-alat elektronik dan mencuri kendaraan. Sebelum akhirnya ia dipertemukan dengan kokain dan menjadikannya sebagai bisnis utamanya. Mengutip serial Narcos di Netflix, ia bertemu dengan seorang pengelola laboratorium kokain yang berhasil selamat dari kejaran pemerintah Chile, salah satu negara dengan penghasil daun koka (bahan utama kokain) di dunia, yang kemudian ia mengelola semua laboratorium setelah pertemuan tersebut.
Tepat 28 tahun yang lalu, 2 Desember 1993, atau satu hari setelah ulang tahunnya yang ke-44, Pablo Escobar ditembak mati di atap sebuah rumah di Medellin. Ia berusaha melarikan diri dari operasi gabungan pemerintah Kolombia yang bekerjasama dengan pemerintah Amerika Serikat melalui DEA (Drug Enforcement Administration) atau badan narkotikanya Amerika. Momen kematian Pablo Escobar adalah salah satu kejadian yang menjadi perhatian dunia saat itu. Jika saja saat itu warga Kolombia sudah mengenal tanggal-tanggal cantik untuk memeperingati sebuah momen, maka mungkin saja kematian Escobar akan diperingati dengan nama “Tragedi 212” atau “212” yang lainnya, yang pasti tak akan dinamai “Reuni 212”, karena kematian seseorang bukanlah hal yang dapat direunikan baik bagi kelompok pendukung atau pembencinya. Hehehe.
Pablo Escobar, bagi penulis, merupakan sebuah paradoks dalam dunia kriminal. Tak hanya seorang kriminal biasa, Escobar bahkan dianggap sebagai narco-teroris, karena ia juga merupakan aktor dalam kejadian-kejadian teror di Kolombia pada saat itu. Escobar dengan catatan kriminal yang begitu mengerikan tersebut juga mendapatkan cinta dan penghormatan yang besar dari sebagian warga Kolombia, khususnya di kampung halamannya, Medellin. Bahkan, bagi sebagian orang di luar Kolombia, ia adalah sosok yang diidolakan dan menjadi panutan. Penulis mencoba untuk mencari tahu lebih banyak tentang Escobar, dan mengapa sebagai seorang narco-terroris, ia begitu banyak dicintai dan dihormati.
Berbicara tentang Escobar, ia bukanlah seorang bandar narkoba biasa. Catatan karirnya sebagai seorang gembong narkoba sangatlah fantastis. Ia pada masa kejayaannya, menurut beberapa catatan, menguasai 80% penjualan bubuk kokain di seluruh dunia. Tak hanya itu, Escobar juga memiliki ketertarikan di dunia politik. Ia bercita-cita untuk menjadi Presiden Kolombia, dan untuk mencapai itu ia juga terpilih sebagai anggota Kongres Kolombia, sebelum akhirnya ia mengundurkan diri dari posisinya tersebut. Penulis telah mengumpulkan beberapa kejadian kriminal Pablo Escobar dari berbagai sumber dan juga mencoba untuk mencari alasan-alasan kenapa Escobar begitu dicintai meskipun ia adalah seorang bandit.
Kehidupan sosial Escobar sangatlah dekat dengan kemiskinan. Ia dilahrikan dari keluarga miskin dan juga hidup dalam lingkungan masyarakat miskin. Saat ia mulai memiliki banyak uang, ia tak segan-segan untuk membantu orang-orang miskin. Ia juga merenovasi stadion, membangun sekolah dan membangun rumah-rumah untuk warga miskin yang sebelumnya hidup di lingkungan kumuh serta banyak lagi kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan dengan menggunakan uangnya sendiri. Kedermawanan Escobar terhadap orang-orang miskin ini didorong oleh perasaannya sendiri yang tidak menganggap dirinya sebagai orang kaya. Dalam satu scene di serial Narcos, Escobar menyatakan diri bahwa ia bukanlah orang kaya, ia hanya orang miskin yang mempunyai banyak uang. Hal tersebut berbeda dengan beberapa pesaing atau rekan-rekannya sesama bandar seperti empat pimpinan kartel Cali yang lebih suka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Tuan-Tuan dari Cali” atau dengan Miguel Angel Felix dari Meksiko yang meskipun ia lahir dan besar sebagai orang miskin, tapi saat ia meraih banyak uang dari narkoba, ia tak lagi dekat dengan orang miskin.
Dengan kesadaran Escobar terhadap kemiskinan tersebut, pada tahun 1982 ia mengikuti pemilihan umum untuk memperjuangkan hak-hak kaum miskin, sekaligus itu adalah langkah pertamanya dalam dunia politik untuk mewujudkan mimpinya menjadi presiden Kolombia. Escobar menjadi peserta pemilihan umum sebagai wakil dari Jairo Ortega untuk menjadi anggota Kongres Kolombia. Dengan kekuatan uang dan kepeduliannya terhadapat kaum miskin, Escobar memenangkan pemilu, dan di hari ia menang, rekannya Jairo Ortega, mengundurkan diri sehingga menjadikan Escobar kandidat utama yang akan menjadi anggota kongres.
Escobar hanya dua tahun menjadi anggota kongres sampai 1984. Ia dipermalukan di depan seluruh anggota kongres oleh Menteri Kehakiman Kolombia saat itu, Rodrigo Lara dengan dengan memajang foto Escobar ketika pertama kali ia ditangkap, dan foto tersebut kemudian menjadi salah satu foto tahanan paling ikonik bagi penulis, karena tak banyak tahanan yang tersenyum saat mereka diambil gambarnya. Escobar kemudian dipaksa untuk mengundurkan diri dari anggota kongres. Setelah beberapa waktu Escobar terlibat konfrontasi dengan Rodrigo Lara, akhirnya ia mengundurkan diri dari jabatannya dan menyadari bahwa cita-citanya untuk menjadi presiden Kolombia juga jatuh bersamaan dengan itu. Saat pernyataan resminya terhadap media ketika ia mengundurkan diri, ia menyampaikan “Saat saya ingin terjun ke dunia politik, itu karena saya merasa perlu untuk mengabdi kepada masyarakat, tapi saya telah bertekad untuk pensiun sepenuhnya dari politik, karena saya berpikir bahwa untuk mengabdi kepada masyarakat, saya bisa melakukannya tanpa harus berpartisipasi dalam politik”.
Pengunduran diri Escobar tersebut merupakan awal dari banyak tragedi memilukan yang menimpa Kolombia selanjutnya. Escobar, tak lama setelah itu, ia membunuh Rodrigo Lara saat ia sedang dalam mobilnya dengan mengutus Sicario (pembunuh bayaran) untuk menembaknya langsung di jalan. Setelah kejadian tersebut, Escobar buron dan pemerintah Kolombia dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan ekstradisi bagi setiap kejahatan gembong narkoba. Selagi dalam buron, Escobar menginisiasi pembentukan organisasi baru dengan nama “Los Extraditables” untuk melawan kebijakan ekstradisi. Mereka menunjukkan ketidaksukaannya terhadap ekstradisi dengan slogan organisasi tersebut yang berbunyi “Lebih baik kuburan di Kolombia, daripada penjara di Amerika”.
Kejadian demi kejadian pembunuhan dan teror banyak terjadi setelah pembentukan insiden tersebut. Selain aksi teror, organisasi juga melakukan upaya-upaya legal untuk menghentikan ekstradisi, seperti berikirim surat terhadap presiden, menulis di media, menggalang dukungan publik dan lain-lain. Organisasi kemudian mendapat ujian sesungguhnya saat menjelang pemilihan presiden 1989 di Kolombia. Salah satu calon presiden Kolombia saat itu, Luis Carlos Galan, dalam kampanyenya menentang keras terhadap kegiatan bandar narkoba di Kolombia dan akan melawannya. Puncaknya, pada 18 Agustus 1989, di saat akan melakukan kampanye publik, Galan ditembak saat ia berada di atas panggung. Namun hal itu belum usai, karena wakil dari Galan, Cesar Gaviria tetap melanjutkan perjuangan calon presidennya yang telah terbunuh.
Pernyataan perang Escobar terhadap ekstradisi berlanjut dengan aksi-aksi teror berikutnya. Pada 27 November 1989, ia meledakkan pesawat Avianca Flight 203 dengan target utamanya adalah Cesar Gaviria yang akan terbang menuju Cali untuk berkampanye. Beruntung bagi calon presiden tersebut, ia tak jadi menaiki penerbangan tersebut sehingga ia selamat dari ledakan yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat yang berjumlah 107 orang ditambah 3 orang di darat meninggal atas kejadian tersebut. Aksi-aksi teror Escobar terus berlanjut termasuk meledakkan markas DAS (BIN-nya Kolombia) dan banyak lagi pembunuhan lainnya. Aksi teror yang dilakukan Escobar dalam upayanya untuk menggagalkan kebijakan ekstradisi memakan banyak korban yang tidak bersalah. Tak ada catatan resmi berapa orang yang telah menjadi korban dibunuh oleh Escobar, tapi menurut putranya dalam sebuah wawancara di kanal YouTube, ia percaya bahwa ayahnya telah membunuh 3.000 lebih orang selama masa hidupnya.
Pada akhirnya, Pablo Escobar menyerahkan diri terhadap sistem hukum di Kolombia pada tahun 1991. Setelah ia dan presiden Kolombia mencapai kesepakatan penyerahan diri dengan dua syarat utama, yakni menghapuskan kebijakan ekstradisi dan ia dipenjara di penjara yang telah ia bangun sendiri. Penyerahan diri Escobar adalah kemenangan besar bagi dirinya, ia lolos dari ekstradisi. Bahkan meskipun ia dihukum, ia dimasukkan dalam penjara yang ia bangun sendiri dengan segudang fasilitas layaknya hotel bintang lima ditambah lapangan sepakbola. Ia menamai penjara tersebut dengan sebutan La Catedral. Tiga belas bulan Escobar di La Catedral tetap menjalankan bisnisnya dan tetap hidup dengan fasilitas mewah sebelum akhirnya ia harus melarikan diri setelah ia membunuh dua anggota kartelnya di sana dan pemerintah hendak memindahkannya ke penjara lainnya. Setelah pelarian tersebut, ia hidup dalam pelarian dan pemerintah Kolombia juga enggan membuka dialog dengan dirinya. Dan pada akhirnya, ia tertembak saat hendak melarikan diri setelah dikepung oleh operasi gabungan pada 2 Desember 1993.
Dengan catatan-catatan kriminal dan teror yang dilakukan Escobar tersebut, rasanya sulit dipahami jika ada banyak orang yang mencintainya. Ia adalah orang yang memimpin Kartel Medellin, salah satu kartel terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Namun, ia juga memberikan banyak hal pada masyarakat miskin yang tak bisa diberikan oleh pemerintah pada saat itu. Ia memberikan harapan terhadap orang-orang yang sebelumnya tak berharap lebih daripada sekedar hidup di tengah kawasan kumuh. Escobar juga membangun sekolah, rumah sakit dan fasilitas-fasilitas sosial lainnya. Secara pemahaman, menurut Popeye, salah seorang tangan kanannya yang telah dibebaskan dari penjara, Escobar adalah seorang penganut paham kiri, hanya saja ia memiliki banyak uang dan mungkin itulah mengapa Escobar lebih dekat dengan kelas pekerja.
Sampai hari ini pun, Escobar adalah salah satu simbol di Kolombia, khususnya di Medellin. Wajahnya banyak terpampang di sudut-sudut kota Medellin sebagai penghormatan pada dirinya. Medellin dikenal dunia disebabkan oleh Pablo Escobar. Legacy Escobar menancap begitu dalam di Medellin. Pedagang sekitar menjual wajahnya di kaos-kaos atau oleh-oleh lainnya. Escobar mendapatkan apa yang Rodriguez bersaudara dari kartel Cali tidak dapatkan. Pengaruh Escobar di Kolombia sangatlah besar. Di saat ia melarikan diri dari La Catedral, pasar saham Kolombia crash. Ia juga digambarkan sebagai seorang prajurit sejati yang menjalani kehidupannya dengan peperangan. Untuk menangkap satu orang Pablo Escobar, dibutuhkan operasi gabungan yang terdiri dari DEA, CIA, Tentara Nasional Kolombia, Polisi, Kartel Cali, Los Pepes (kelompok swasta yang dibiayai oleh kartel Cali) elit bisnis Kolombia dan Paramiliter.
Cerita Pablo Escobar layaknya cerita dalam film-film. Tapi begitulah dirinya menjalani kehidupannya. Cerita tentang kedekatannya dengan orang-orang miskin, dan ketangguhannya menghadapi perang serta melawan Amerika adalah hal-hal yang hemat penulis menjadikannya sebagai sosok yang dicintai. Bagi penulis, Pablo Escobar memiliki sedikit kemiripan dengan Joaquin “El Chapo” Guezman di Meksiko dalam kedekatannya dengan kaum miskin. Pablo Escobar adalah paradoks dari seorang bandit, pelaku kriminal, bandar narkoba, pelaku teror, yang seharusnya mendapatkan kebencian dan sumpah serapah atas apa yang pernah ia lakukan semasa hidupnya. Alih-alih mendapatkan kebencian, ia malah mendapatkan cinta dan dukungan yang besar, bahkan tepat 28 tahun yang lalu saat ia dimakamkan, ribuan orang hadir untuk mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir selagi mengelu-elukan namanya, dan dalam tenang, mereka yang hadir mengucapkan “Adios, Pablo!”.
Penulis adalah Aremania dan alumni UIN Maulana Malik Ibrahim Malang