DÉK NALABU ESSOÉ RI TENNGANA BITARAÉ (Tiada Matahari Tenggelam di Tengah Langit)

Oleh : Diaz Nawaksara

Pidato Kebudayaan Dalam Rangka Haul Tokoh Yang Terlupakan #2: Haul Karaeng Galesong, petjut.id, 21 November 2021

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد للّه الذي علّم بالقلم، و علي رسول الله الصلاة والسلام

Singgih Hyang Sukma Allah SWT, tampien pinuja bhakti ning mami tulus, tuhwan göng manah inghulun, milu mětik pwa śabda tara, tan wruh ri paribhaśa kawya, amurang kapiḍatwan tuhun, nanging soh tan asěngikět kalěngěngan piḍatwātikin.[1]

***

Yth.

***

Sukkuru’ ki’ mappoji lao ri Puang Allah SWT, Salawa’ nennia mappassalama’ lao ri nabitta Muhammad SAW, dan semoga segala berkah dan anugerah terus mengalir bagi seisi langit dan bumi. Karena Dia adalah sang Maha Rahmah tanpa pilah, sang Maha Asih tanpa pilih. Dia yang masih memberikan kesempatan kepada kita untuk meniti langkah kehidupan dengan lebih eling lan waspada, setelah hampir 2 tahun lamanya kita melalui masa-masa sulit di tengah pandemi Corona, garis tipis antara selamat atau terjerat dalam pertaruhan nyawa. Alhamdulillah ! Puji Tuhan ! Astungkara ! kita doakan semoga saudara-saudara kita, keluarga kita, terutama para pejuang yang gugur dalam melawan Covid-19 ditempatkan di sisi Tuhan dengan layak.

Para Puang dan dara daeng yang saya hormati,

Yang pertama ingin saya sampaikan adalah ucapan terima kasih kepada Petjut.id yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ngalap berkah di tengah acara ini. Walau dengan segala ketakpantasan dan ketaktahuan hamba berusaha untuk tetap hadir demi titah dan amanat sang Guru.

Apresiasi tertinggi atas terselenggaranya “Haul Tokoh Yang Terlupakan”, sebuah kegiatan yang substansial dalam merawat bara semangat juang putra-putri terbaik bangsa. Setiap kali acara ini digelar, di saat yang sama ia ibarat songsong yang ditiup untuk menyalakan bara tersebut menjadi kobaran api perjuangan yang baru.

Tampaknya sosok dibalik semua ini adalah orang yang gemar obong-obong, jiwa mudanya masih terlampau kuat untuk menggugah kita semua supaya bangkit dari kejumudan aktivitas egosentris, menjadi sebuah laku yang lebih berguna bagi orang banyak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (beri tepuk tangan dan apresiasi untuk beliau, Mas Fathul Panatapraja ! )

Dari sekian perjalanan, entah yang ke berapa, malam ini kita sampai pada satu momen untuk meng-Hauli sosok yang tak banyak ditulis di atas lembaran sejarah, tak pula banyak tersimpan dalam memori anak-anak bangsa, bahkan hanya sedikit di antara intelektual yang berhasil menggali jejaknya. Padahal ia adalah seorang putra raja, sosok yang berjiwa besar, sang patriot yang teguh pada adat namun tak terikat oleh batas-batas kesukuan, pemimpin dua puluh ribu pasukan yang tak gentar menembus badai bahtera, sang laksamana angkatan laut Kerajaan Gowa yang menyeberangi lautan dari Sulawesi hingga pesisir Jawa. Ia adalah Puangta I Maninrori I Kare Tojeng, Karaeng Galesong.

Nyuwun palilahipun, para sesepuh dan karuhun, para Puang, Andy dan dara Daeng, terutama sekali keluarga besar Karaeng Galessong, mohon ampun bila hamba lancang berdiri di sini tanpa pamit, pun tanpa dipersilahkan. Hamba bermaksud menimba ilmu dan berharap barakka dari Haul ini. Panjang kata yang hamba susun adalah bentuk pengabdian, judul biantara ini dikutip salah satu falsafah utama Sempugi, yakni “Dék Nalabu Essoé Ri Tenngana Bitaraé” yang artinya Matahari Tak Kan Tenggelam Di Tengah Awan.

Sejarah di bumi yang pernah terjajah memang selalu diwarnai oleh kucuran darah, anak-anak terbaik yang dilahirkan pertiwi selalu bangkit untuk melawan kezaliman, menolak monopoli dagang yang merugikan, apalagi jika menyinggung harga diri dan keyakinan, Lebbini mate maddarae[2] lebih baik mati berdarah dari pada mati di bawah batas-batas pelanggaran. Itulah kenapa sang Karaeng yang pusaranya kini berada di Ngantang juga disebut dengan gelar Tumenanga ri Tappa’na[3], yakni seorang mulia yang gugur dalam kebenaran yang diyakininya.

Kabar tentang teguhnya para pendahulu bangsa dalam menjaga keyakinan dan menegakkan kebenaran, tampaknya mulai memudar di tengah generasi ini zaman, sebagian hanya menganggapnya sebagai dongeng tanpa teladan, sebagian lain sibuk mendesainnya supaya terlihat apik sebagai tontonan, namun lupa menyematkan nilai-nilai adiluhung sebagai tuntunan. Malam ini adalah momen yang tepat untuk kembali menyuarakan kisah-kisah itu sebagai sebuah fakta sejarah yang nyata dan bisa menjadi teladan kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.

Puang Kare Tojeng di usianya yang baru 15 tahun sudah mempunyai kesadaran untuk tidak tunduk pada monopoli yang dilakukan serikat dagang VOC melalui perjanjian Bongaya, sebuah diktum tak berimbang yang merugikan serumpun tana Ugi (Sempugi). Umur lima belas tahun Puang Kare Tojeng kala itu adalah usia anak muda hari ini yang juga sedang sibuk menumbuhkan kesadaran untuk bisa viral di media sosial. Setiap waktu sibuk merancang konten joget dan tarian erotika, atau bersusah payah menyusun konten drama tanpa estetika apalagi nilai-nilai-nilai etika. Tak jarang isinya hanyalah sumpah serapah, bullying, penghinaan, atau lebih parah lagi adalah kalimat-kalimat yang memicu perpecahan antar bangsa.

Ini adalah tugas kita bersama sebagai para punggawa peradaban yang sadar pada kondisi sosio-kultural di sekitar, para sejarawan tampaknya harus lebih mengutamakan penggalian data nilai-nilai keteladanan tokoh dan kisah masa lalu, dari pada sibuk memperdebatkan keabsahan data empiris di lapangan penelitian. Para budayawan, tampaknya harus lebih menajamkan perhatian dari sekedar merias rupa raga dengan aksesoris budaya yang pragmatis, menuju pendalaman esensial mengenai substansi budi dan daya manusia Nusantara, yang tepa selira, tenggang rasa, teguh, mandiri dan berdaulat. Para Sastrawan dan Seniman perlu menyeimbangkan karya-karyanya dari aesthetic priority  menjadi ethic priority yang lebih menyentuh sisi-sisi kepedulian, toleransi dan semangat membangun peradaban dari sekedar melambungkan khayal para penikmatnya menuju nirwana lamunan yang romantis dan melankolis. Mohon ampun hamba serendah rendahnya, bukan bermaksud menggurui, namun ini adalah tanggung jawab kita bersama. Tuhan telah menitipkan kesadaran ini kepada kita semua, yakni kesadaran yang telah keluar dari batas-batas ambisi pribadi untuk peduli pada kehidupan dan peradaban negeri.

Para Puang, Andy dan dara daeng yang saya hormati,

Karaeng Galesong telah membuktikan itu semua, ia yang lahir dan dibesarkan di Tana Ugi bahkan telah melebur batas-batas etnik dan kesukuan, demi tegaknya kemanusiaan dan kedaulatan Tanah Jawa. Api perlawanan yang disulut dari Bongaya terus dikobarkan bersama Tawangalun dan Trunajaya,

Pura tangkisi gulikku, pura babbara’ sompe’ku, ulebbirengngi telleng natowalié,[4] ketika kemudi telah kupasang, layar telah kubentang, lebih baik aku tenggelam di telan samudera dari pada surut langkah harus mundur dari medan juang.

Malam ini, di tengah suasana yang hangat ini, mari kita bertafakur dan meresapi kisah heroik sang Karaeng dari sisi-sisi romantis, bukan romantisisme yang membawa kita pada alam khayal kerinduan, tetapi sebuah penghayatan terhadap Cinta sang karaeng pada kebenaran, kebebasan dan kemenangan. Ia yang teguh tegar melawan penjajahan tak pernah peduli dengan siapa harus berkawan, dari Banten sampai ke Demung, dari Sultan Ageng Tirtayasa sampai ke Raden Trunajaya, kemenangan demi kemenangan tak membuatnya jemawa dan serakah pada kekuasaan. Semua ia lakukan karena Cinta pada kedamaian. Asalkan rakyat dapat hidup tenang, tak mengapa walau nyawa harus melayang. Asalkan rakyat tidak menderita, tak mengapa walau peluru bedil menembus kepala. Semua ia lakukan karena Cinta ! Cinta sebagai pemimpin yang peduli pada manusia-manusia di sekitarnya.

Sekarang, terkadang kita berencana untuk membuat karya, namun target dan tujuannya untuk kepentingan pribadi belaka. Masih memilah-milah orang untuk berkawan, sedang diri sendiri masih tak pantas dijadikan teman, apalagi  disebut pemimpin yang peduli pada sekitar. Dalam pepatah Bugis : Aju maluruémi riala paréwa bola, hanya kayu yang tegak yang pantas dijadikan penyangga rumah. Hanya orang yang tegas dan mempunyai prinsiplah yang pantas dijadikan pemimpin. Di dalam berorganisasi, ataupun bermasyarakat, kepedulian pada sesama dan ketegasan dalam bersikap adalah modal utama untuk memupuk jiwa seorang pemimpin.

Para Puang, Andy dan dara daeng yang mulai lelah mendengar ocehan hamba,

Sepanjang kata yang terucap dari awal hingga kalimat terakhir ini, tiada lain adalah sebagai tugas sesama manusia supaya terhindar dari nasib kerugian.

وَالْعَصْرِ۞ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ۞ اِلَّا الَّذِيْنَ امَنُوْا وَعَمِلُوا الصّلِحاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ۞

Mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge, saling mendamparkan jika hanyut, saling mengangkat jika jatuh, saling mengingatkan jika keliru. Itulah prinsip kepedulian paling mendasar yang perlu kita tanamkan. Melantunkan manakib Karaeng Galesong pada hari yang sama di saat ia gugur, 21 November empat abad lalu, sambil menggali inspirasi dari jejaknya yang penuh perjuangan, adalah langkah nyata dalam menerapkan prinsip tersebut. Semoga Ia selalu mendapat kegembiraan di sisi Tuhan, kita yang mengambil hikmah darinya, semoga dipertemukan di Surga kelak. Āmin ya rabbal ‘ālamīn

Terlalu jauh jika harus meneladani kedigdayaan serta pengorbanannya yang tiada tara, tubuhnya yang terhempas, kepala berpisah badan, bukanlah tandingan kita dalam melakukan pengorbanan. Namun ketegasan sikap sang Karaeng dalam memegang teguh kebenaran yang diyakininya, adalah teladan hakiki yang patut kita tiru dan amalkan.

Bangsa Nusantara terlahir dengan nasib yang serba diuntungkan, anugerah sumber daya alam yang melimpah serta kekayaan tradisi dan kebudayaan yang beraneka ragam adalah bekal utama kita untuk tampil percaya diri di tengah persaingan dunia. Yang perlu kita tanamkan adalah sebuah keyakinan bahwa kita mampu berdiri di atas peradaban bumi pertiwi. Mulailah berpihak pada apa yang terlahir dari bangsa sendiri, terutama dari hal keilmuan dan pendidikan, falsafah-falsafah adiluhung bangsa kita bukanlah isapan jempol dibandingkan dengan filsafat dari mancanegara. Falsafah tata-krama dan krama dångsa Ki Ageng Surya Mentaram umpamanya, perlu dikemukakan sebagai pembanding filsafat etika dan kepribadian. Falsafah Budi Luhur  R.M.P Sosrokartono dan Cakra Manggilingan dari Ranggawarsita, harus lebih diutamakan dari pada bersusah payah mempelajari filsafat waktu para filsuf yang lain. Dan yang terakhir, pencapaian Tumenanga ri Tappa’na dari Karaeng Galesong adalah jawaban telak terhadap konsepsi nasionalisme dan patriotisme. (tawasul dan hadiah fatihah untuk para tokoh yang disebutkan di atas).

Sebelum saya tutup, mari kita niati bersama bahwa kita tak boleh putus asa, Walau berkali-kali dihujam oleh hegemoni kebudayaan luar, jangan berhenti untuk terus menghidupkan kebudayaan bangsa kita sendiri.

Seperti pepatah Bugis mengatakan, Lebbi’i cau-caurenngé napellorenngé

Yakinlah bahwa :

مَنْ جَدَّ وَجَدَ ، وَمَن زَرَعَ حَصَدَ

Sekian

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

[1] Diadopsi dari Kakawin Raja Patni Mokta:I-1. Artinya : Wahai Hyang Suksma Allah SWT, terimalah puja bakti dari hamba yang ikhlas, sungguh besar keinginan hamba hendak ikut menyusun bahasa keindahan, gelap tentang arti bahasa dalam mengarang, begitu juga melanggar aturan berpidato, namun, tidak mengurangi semangat hamba meniti kata yang pantas untuk pidato ini.

[2] Dikutip dari pepatah Bugis “Lebbini mate maddarae namate temmanre”  yang artinya lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan.

[3] Gelar yang disematkan kepada Karaeng Galesong yang ditulis pada prasasti makamnya di Ngantang, sama dengan gelar yang disematkan kepada Ayahandanya Sultan Hasanuddin Raja Gowa.

[4] Dikutip dari pepatah Bugis ”Pura tangkisi gulikku, pura babbara’ sompe’ku, ulebbirengngi telleng natowalie” yang artinya Kemudi telah kupasang, layar telah kukembangkan, kupilih tenggelam daripada surut langka.

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top