Berguru Pada Narator-Narator Cerita Budi Darma

Oleh: Misbahus Surur

Andai hari ini saya dipaksa menulis prosa, tepatnya cerpen, dengan cara mengadaptasi bentuk saya akan berusaha meniru gaya bertutur cerpen-cerpen Pak Budi Darma. Secara otodidak saya akan menimba ilmu penulisan dari karya-karyanya, terutama melalui cerpen-cerpen panjang yang terbukukan dalam Orang-Orang Bloomington. Itu seandainya saya dipaksa menulis prosa lho!

Sebagai tipikal orang yang menulisnya butuh waktu lama, apalagi kalau dipaksa menulis cerpen, saya menganggap Orang-Orang Bloomington bisa dijadikan role model dalam menulis cerita, barangkali juga artikel. Terutama karena ide-ide jail dari karakter-karakter “unik” juga peran si narator cerita dalam kisah-kisah Budi Darma tersebut.

Kenapa tadi saya bilang andai? Sebab, sebetulnya selama ini saya tidak akrab dengan penulisan cerita. Menurut saya pribadi, menulis cerita adalah kemampuan menulis paling sulit. Saya tidak bisa membayangkan apakah saya sanggup, misalnya, membuat karakter atau tokoh tertentu yang menarik. Apalagi kalau targetnya tokoh yang mampu menghidupkan cerita. Menciptakan tokoh dan “membuatnya hidup”, pikir saya, adalah hambatan terbesar bila saya disuruh menulis cerita.

Hambatan lain adalah membuat dialog. Saya membayangkan betapa amat susah mengarang dialog antartokoh, apalagi kalau terbebani untuk menulis dialog yang cerdas, mengandung joke dan seterusnya. Juga perihal alur: kok gampang sekali para prosais itu membuat cerita demikian panjang hingga, bahkan, ribuan halaman? Padahal bagi saya, menulis cerpen saja susahnya minta ampun. Dan, tentu saja hambatan paling puncak dalam penulisan prosa adalah menciptakan konflik.

Meski begitu, cita-cita saya supaya bisa menulis prosa, sekurangnya bisa menulis satu-dua cerita pendek atau satu buah novel, belum pupus. Bahkan, saya pernah mengangankan menulis cerita dengan tokoh minimalis atau bahkan tanpa tokoh. Saking putus asanya dengan elemen penting penulisan cerita bernama penokohan (karakterisasi). Saya juga pernah mengangankan menulis novel atau novela total berisi deskripsi latar. Itu semua untuk menyiasati supaya saya tidak repot membuat tokoh, merancang dialog, menciptakan konflik dan seterusnya. Tapi apakah prosa seperti itu ada, dan bisa dilakukan?

Sepertinya, kalau disuruh menulis prosa, kemampuan saya atau hal yang bisa saya lakukan tinggal menulis deskripsi latar. Sebab selama ini, saya hanya berlatih menguasai kemampuan tersebut. Kemampuan tersebut saya latih saat menulis esai maupun feature. Dalam menulis feature, saya sering mendeskripsikan tempat, mendeskripsikan setiap unsur yang teramati mata, mendeskripsikan perilaku orang-orang yang saya lihat, hingga suasana tempat. Meski latihan menulis deskripsi terbilang kemampuan paling rendah dalam kreativitas tulis-menulis.

Maka selama ini pula rasanya bahagia bila saya bertemu dengan cerita-cerita (baik cerpen maupun novel) yang minim tokoh: jika dihitung tokohnya tidak genap 5 jari tangan sebelah. Lebih-lebih kalau karya tersebut tampak baik-baik saja tanpa banyak menggunakan tokoh atau karakter.

Selama ini pula, pelarian-pelarian saya untuk belajar menulis cerita dari membaca kisah-kisah “tidak wajar”, yang saya anggap kacau elemen ceritanya, tapi bukan pada ceritanya. Atau cerita-cerita yang diolah seperti bukan dalam bentuk kategori cerita. Seperti saat membacai cerpen-cerpen atau novel-novel—yang saya kategorikan sendiri secara mana suka sebagai—eksperimental dan yang sekeluarga dengan itu. Misalnya membaca prosa-prosa Jorge Luis Borges, Metamorfosis Franz Kafka, Pedro Paramo-nya Juan Rulfo, karya-karya Haruki Murakami, atau yang termutakhir, semacam novel Vegetarian–nya Han Kang. Itu sedikitnya.

Untuk prosa Indonesia, pilihan saya jatuh pada gaya menulis Budi Darma juga Iwan Simatupang. Atau kalau gagal, bisa pindah mengadopsi gaya deskrispi latar perdesaan ala prosa-prosa (bukan termasuk eksperimental) Pak Kuntowijoyo maupun prosa Pak Ahmad Tohari. Lalu kenapa saya justru memilih prosa-prosanya Budi Darma sebagai model? Bukankah prosa Budi Darma justru termasuk prosa yang termasuk unggul dalam perkakas teknis karakterisasi alias kuat penokohannya. Sesuatu yang saya hindari, karena membuat saya keder.

Tidak tahu juga. Andai terpaksa disuruh menulis prosa atau cerita pendek, setelah dulu membacanya dan lalu menyukainya, saya pikir menarik saja prosa macam karya Budi Darma dijadikan model: bisa ditiru gaya berceritanya. Saya ingin mencoba adopsi cara menulisnya setelah membacanya. Saya menjadi tak lagi peduli gangguan sulitnya membuat karakter dan elemen-elemen cerita lainnya di awal paragraf.

Saya akan belajar banyak-banyak dari prosa tersebut: bagaimana menulis seperti dalam cerpen-cerpen panjang Orang-Orang Blomington, misalnya, atau novel Olenka. Terutama, soal bagaimana si narator dengan saenak udele ngrasani alias membicarakan orang, juga berasumsi buruk atau bahkan menuduh-nuduh orang sekehendak hati, dan melemparinya dengan “ide-ide bejat” begitu saja, yang keluar dari otak si narator.

Saya pikir, saya bisa melakukannya, dengan cara, misalnya, menuliskan apa saja yang saya resahkan terhadap tingkah laku seorang tetangga, atau kepada orang tua yang tinggal di sebelah rumah saya. Kepada teman masa kecil saya yang menyebalkan. Atau siapa saja yang pernah saya benci. Lalu tulisan itu saya tahbiskan sebagai cerpen, kalau sudah lunas semua ocehan dan gerundelan saya. Gerundelan tersebut semuanya dengan model meniru gaya narator cerpen-cerpen Budi Darma.

Saya suka gaya komentar narator di cerpen-cerpen Budi Darma, ketika membacanya dalam batin, saya sering ikut ketawa jahat. Selain itu, saya suka dengan cara Budi Darma memasang diksi. Menurut saya, ia asal nemplok dalam meletakkan diksi-diksi tertentu dalam beberapa kalimat atau percakapan di cerita-ceritanya. Tapi, duga saya, ia sengaja melakukannya dan justru malah membuat cerita itu seperti punya kadar menyebalkan yang maksimal: tersebab kemunculan diksi-diksi yang seolah salah pasang itu.

Coba simak bagaimana narator mendeskripsikan si Joshua Karabish dalam cerpen yang judulnya sama: “Kepalanya yang benjol, matanya yang selalu tampak akan melesat dari sarangnya, dan mulutnya yang seolah-olah tidak dapat dikatupkan…” Hal senada bisa kita temui dalam cerpen Yorrick: “Pada hari yang sudah ditentukan, orang yang akan menempati kamar sebelah datang. Dia memperkenalkan diri, namanya Yorrick. Bagi saya dia lebih menyerupai tengkorak daripada manusia. Kurus kering, seolah tidak mempunyai daging. Dan setiap kali bergerak seolah ada suara gemeretak tulang beradu dengan tulang…”  “Setiap dia pulang dari berlari, tubuhnya dibanjiri keringat, baunya memukul hidung saya dan memeningan kepala saya…

Ungkapan-ungkapan seperti itu dalam prosa-prosa Budi Drama begitu melimpah, dan bisa membangkitkan sesuatu “yang buruk” dalam pikiran pembaca. Membuat cerita Budi Darma terasa aneh, namun juga ikut merangsang ketawa yang tidak habis. Selagi ingat kembali kelebatan momen-momen tingkah laku tokoh yang konyol atau menyebalkan dalam kisah-kisah tersebut.

Narator dalam cerita-cerita Budi Darma biasanya setelah melakukan pekerjaan atau kegiatan tertentu, membuat alasan, yang menurut saya, alasan itu dibikin-dibikin. Sehingga membuat saya sebagai pembaca, ikut menggerutu, mengumpat, dan menuduh Pak Budi Darma atau kepada si naratornya, ngawur saja membikin alasan-alasan tersebut. Alasan itu seperti dicomot secara mana suka oleh Budi Darma. Alasan-alasan yang seperti suka-suka itu, kadang membuat saya yang menjadi pembaca mudah mengeluarkan ungkapan-ungkapan buruk untuk menanggapinya tersebab ikut jengkel, baik secara langsung maupun sekadar dalam batin, seperti dengan memaki anjing, semprul, bajingan, tumo suwal, bangsat, dan seterusnya.

Adegan-adegan konyol dan aneh diwarnai ungkapan-ungkapan bangsat itu juga melimpah ruah dalam cerita-cerita seperti “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, “Joshua Karabish”, “Orez”, “Yorrick”, “Ny. Elberhart”, “Charles Lebourne” dan seterusnya. Tapi kata Budi Darma, dalam esai “Pengakuan” di kumpulan esai Solilokui, semua datang dengan sendirinya, tanpa saya rencanakan, dan bahkan tanpa dapat saya kuasai. Justru sayalah yang dikuasai oleh apa yang akan saya tulis, begitu saatnya menulis tiba. Namun paling tidak, saya harus dapat berterus-terang dengan diri saya sendiri dalam semua hal.

Kata Pak Budi Darma, “apa yang tertulis langsung maupun tidak akan merupakan cermin keterusterangan saya. Kalau saya berhasil, maka pembaca akan merasa ditelanjangi oleh keterusterangan tersebut. Dia akan menyaksikan berkelebatnya sekian banyak orang aneh, yang tidak lain dan tidak bukan adalah pantulan keanehan pembaca sendiri.” Nah kan, bangsat betul!

Penulis Adalah Seorang Esais

Sumber Foto: Petjut.id

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top