Membawa Afghanistan dan Taliban dalam Lapangan Kebudayaan

Oleh: Hasan Basri Marwah

“The offence to humankind is not the veil but the fact that women don’t get access to education….”(Gretchen Peters, Jurnalis)

Siapa yang tidak “jatuh cinta” dengan Afghanistan? Pertanyaan ini berlaku untuk semua, tanpa batasan negara, apalagi batasan karena afiliasi organisasi masyarakat (ormas).

Bukan juga karena mengikuti ambisi status quo-nya Babur, pendiri dinasti Mughal, India, yang selalu melihat Kabul sebagai bocoran surga yang lebih layak menjadi istana kekuasaannya daripada kota Delhi. Iklim Kabul lebih dekat dengan gambaran akan iklim surga daripada kota Delhi, India.

Ambillah salah satu buku tentang Afghanistan, entah yang ditulis orang kulit putih, kulit kuning, kulit hitam, atau kulit cokelat. Tipsnya, buku tentang Afghanistan itu harus ditulis oleh mereka yang pernah menetap di Afghanistan, pernah bercengkrama dengan landscape sosial, historis, dan budaya Afghanistan yang kaya.

Misalnya, secara acak memilih buku Thomas Barfield, Afghanistan: Cultural and Political History. Barfield adalah guru besar Antropologi di Universitas Boston, AS.

Pada bab pertama Barfield menggambarkan aspek geografi, struktur masyarakat dan komposisi etnis di Afghanistan. Sebagai pengagum Ibn Khaldun, Barfield menulis secara ekstensif pada tiga bab berikutnya tentang sejarah naratif negara Asia Tengah, dari zaman modern awal sampai atau hingga saat ini.

Salah satu kesimpulan menarik dari Barfield bahwa Afghanistan pada kenyataannya selalu bukan sebuah negara koheren, tetapi sebuah negara dengan banyak wilayah yang tidak akan pernah efektif secara politik jika dipimpin secara sentralistik dari Kabul. Barfield membayangakan sebuah negara federal khas Afghanistan dengan distribusi kekuasaan dan ekonomi yang merata.

Akan lebih afdol jika membaca (sekalipun hanya pengantar dan tulisan pada sampulnya) membaca buku serius tentang Afghanistan yang ditulis orang Afghanistan sendiri, seperti Hassan Kakar atau jurnalis kawakan Afghan seperti Ahmed Rashid (saya pernah membaca banyak ulasan bukunya yang diterbitkan zedbooks).

Buku Kakar tentang sejarah politik dan diomasi Afghanistan dari tahun 1863-1901: periode modern paling penting Afghanistan.

Kakar adalah seorang pakar sejarah asli Afghanistan, ia seorang sarjana di bidang sejarah dari perguruan tinggi Barat.

Kesimpulan umum, bahwa sangat sulit untuk tidak jatuh hati kepada Afghanistan. Jurnalis Gretchen Peters yang sampai hari ini menetap di Pakistan, dan menghabiskan banyak waktu dengan segala suku di perbatasan Pakistan – Afghanistan menegaskan cintanya pada Afghanistan yang kenyataan sosial, budaya dan agamanya sangat jauh dari gambaran mainstream di Barat.

Pelajaran penting dari Peters, bahwa sudah saatnya kita mengambil pola-pola intelektual yang lebih terbuka dalam mempelajari dan memahami sebuah masyarakat. Akademisi, penulis, dan jurnalis yang bekerja di wilayah yang bukan asalnya sebaiknya datang tanpa prasangka bawaan.

Dalam politik pengetahuan mutakhir sebaiknya kerja intelektual; harus mengandalkan basis dekolonisasi. Dalam konteks, Afghanistan misalnya, seharusnya kita membuang semua taksiran amburadul bahwa bangsa Afghanistan yang terdiri dari suku-suku beragam adalah bangsa terbelakang, dan keterbelakangan ini digambarkan sebagai bawaan agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa Afghanistan.

Tidak satu bangsa lebih maju dari bangsa lain dalam lapangan kebudayaan, terutama intelektual. Tidak satu suku lebih baik secara bawaan dalam urusan kebudayaan dengan suku lain. Satu kebudayaan tidak boleh menjadi tolok ukur bagi kebudayaan lain.

Justru yang harus diperjuangkan adalah bagaimana memastikan akses pendidikan bagi segala bangsa, suku, dan kelompok sehingga mereka mampu mengembangkan segala basis kebudayaan mereka sendiri.

Masih mengenai Afghanistan, fokus terlalu diberikan kepada Taliban, kepada isu perempuan, dan bualan lainnya dari pabrik LSM-isasi.

Afghanistan bagaimanapun adalah jalur strategis yang sangat terbuka secara geografis. Dari dulu Afghanistan menjadi rebutan dari seluruh kekuataan, terlebih kekuatan kawasan di sekitarnya. Kekuatan imperial seperti AS memiliki kepentingan memelihara “kesan keterbelakangan Afghanistan” untuk memastikan berjalannya kontrol mereka atas kawasan itu, dan memastikan bahwa pesaingnya seperti Tiongkok dan Rusia tidak leluasa di kawasan tersebut.

Bangsa Afghan adalah korban dari ambisi geopolitik negara besar dan negara sekitar sehingga orang Afghan atau mereka yang pernah tinggal di Afghan tidak akan pernah percaya dengan keikhlasan uluran tangan mereka kepada bangsa Afghan.

Kaidah pendekatan dekolonisasi pertama (contoh kasus Afghan) bahwa hanya bangsa Afghan sendiri yang tidak saja lebih tahu, tetapi lebih tepat menentukan nasib mereka sendiri. Bukan kekuatan asing yang membawa paket: tentara, senjata berat, demokrasi, pembebasan perempuan, para komparadornya, ideologi teror, dan perangkat sumber daya manusia korup lainnya yang dibutuhkan oleh sebuah imperium.

Seperti halnya Indonesia, masa depan Afghan sangat ditentukan oleh kemampuan mereka memperkuat jalan kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang memiliki komitmen menopang kehidupan-bersama mereka. Mengurangi secara bertahap dan terukur konflik internal karena suku dan skisme. Semua itu harus didukung oleh kultur intelektual (karena segmen sangat besar di Afghanistan) non komparadoristik.

Salah satu kesimpulan para pakar tentang Afghanistan bahwa sikap anti-kekuatan asing meratai hati orang Afghanistan, dan Taliban memberikan kesan akan sosok pembebas dari bangsa paling mudah dicerna orang Afghanistan saat ini.

Sangat sulit mempercayai Taliban karena mereka setali tiga uang dengan pemerintahan yang dibentuk oleh AS selama pendudukan. Mereka korup dalam segala bidang.

Demikian sulit mempercayai Tiongkok dan Rusia. Jangankan keduanya, Pakistanpun sangat disayangkan karena terlalu banyak memainkan peran dalam rangka menstabilisasi politik Afghanistan, terutama bantuan terbuka maupun tertutupnya kepada kelompok Taliban.

Penderitaan dan pemerosotan kemanusiaan akan masih terus berlangsung di Afghanistan. Sebagai bangsa yang sama-sama jatuh dalam cengkeraman imperial, masa depan ditentukan oleh langkah-langkah sendiri mengurangi ketergantungan pada kekuatan asing.

Siapa yang tidak jatuh hati kepada Afghanistan? Pertanyaan ini membawa saya kembali ke kota Khurasan, sebuah kota yang mampu bersaing dengan kota-induk seperti Baghdad. Bahkan Khurasan (yang hari ini sebagian dari Khurasan lama adalah bagian dari Aghanistan) menegakkan aliran pemikiran tersendiri yang jauh lebih heterodoks daripada Baghdad masa itu, dalam segala bidang.

Kita mengenang mazhab Khurasan dalam tasawuf, dan bidang lainnya.

Yang jelas, kita tidak jatuh hati kepada Afghanistan karena perempuannya ataupun opiumnya.

Penulis Adalah Seorang Budayawan

Sumber Foto: https://abcnews.go.com/International/photos/stunning-steve-mccurry-photos-afghanistan-23551112/image-23551533

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top