Ngalor Ngidul Sastra

Oleh: Sudibyo

Mulai muncul kegelisahan. Dunia sastra menjadi rimba liar. Karya sastra tumbuh melimpah, yang bagus dan tak bagus bersama-sama bermunculan di mana-mana.

Persoalan pun ikut lahir pula, yaitu matinya kritik sastra, sehingga mana yang disebut baik, tak ada panduan. Dunia pembaca mungkin harus kelelahan dalam perbandingan antara beruntung menemukan karya yang baik dan serentetan jatuh bangun kekecewaan selalu mendapat karya yang buruk.

Dengan situasi seperti itu, karya yang baik dan karya yang buruk memiliki peluang keberuntungan yang sama. Ini adil sekaligus tidak adil. Seperti hak warga one man one vote dalam pemilu yang demokratis, yang memberi hak sama antara warga yang mampu memilih dan yang tidak, hak karya yang baik dan karya yang buruk menghadapi peluang yang sama. Tapi, siapa yang gelisah?

Tentu saja yang gelisah adalah karya yang baik. Satu-satunya penghibur baginya adalah petuah bahwa karya yang baik pasti akan menemukan pembacanya. Walaupun, kenyataannya mungkin pahit. Sampai habis dimakan rayap ia tak pernah berjumpa dengam pembacanya. Mungkin di hatinya kadang muncul sesal untuk alasan apa ia dilahirkan sebelum menempuh jalan keikhlasan untuk melupakan semuanya.

Tentu saja, membiarkan dunia sastra tumbuh menjadi rimba tak menyenangkan hati semua orang. Hal itu menarik sikap petualang untuk memasukinya. Tapi, benarkah dunia pembaca kita telah berwatak petualang yang rindu memasuki medan ketaktahuan dan membawa hasrat memetik temuan-temuan yang mengejutkan untuk menjadi karangan bunga di pengalamannya sendiri.

Ataukah yang benar adalah anggapan pasar bahwa pembaca kita adalah juga dunia manusia hari ini, yang suka dilayani secara cepat saji, praktis, dan tak terlalu membawa ke hati. Bila ini benar, betapa sering kecewanya mereka. Karena ada peluang berkali-kali masuk ke dalam karya-karya, tapi  tak ada yang memuaskan selera.

Amat kasihan jika membaca telah tumbuh menjadi kebutuhan, dan bukan lagi kesenangan dan kenikmatan. Mereka, pembaca itu,  akan hidup menderita dengan tetap tiap hari tetap makan meski tanpa selera. Mereka sengsara. Hidupnya tak ada yang menyegarkan.

Ya, nasib karya yang baik dalam dunia yang tak disiplin menjaga selera sebenarnya mirip nasib anak pintar di sekolah yang tak ada jaminan nasib setelah lulus lalu memasuki kehidupan. Dunia kehidupan sastra yang rimba mirip dunia kehidupan nyata umumnya, menuntut ketangkasan tersendiri untuk memasukinya. Tambahan ketangkasan hidup ini mutlak untuk sebuah nasib yang harus diperjuangkan.

Memang sial. Kehidupan yang rimba adalah kehidupan pertarungan. Aturannya adalah kekuatan. Sastra yang baik tanpa kekuatan bertarung di lapangan kehidupan nyata akan tersingkir seperti anak pintar yang cuma mengandalkan nilai ijazah untuk memasuki kehidupan. Sialnya lagi, kehidupan rimba yang biasanya menjadi medan kehidupan binatang liar itu semakin diabsahkan sebagai medan kehidupan manusia. Mungkin sastra yang baik banyak mati terbunuh dimangsa sastra liar yang jahat dan kuat.

Yang manakah sastra liar yang jahat dan kuat itu?  Ia adalah sastra atas nama, ia adalah sastra bayaran, ia ditulis para sastrawan tukang ngarit ghostwriter untuk diaku atas nama orang yang membayarnya, lalu dipuji para influencer untuk juga keagungan nama orang yang membayarnya, ia adalah sastra ketidakjujuran, tapi punya kekuatan modal untuk mencuciotakkan kebesaran. Ia adalah karya yang mampu melesat meski orang tak akan mampu menemukan kedalaman kesastraannya.

Tapi sastra buruk yang  jujur harus diterima. Ia adalah bagian dari semangat kehidupan sastra dan mungkin juga bagian dari perjalanan kreatif. Jangan disalahkan sebab apa salahnya menjadi sastra penyanyi kamar mandi, sebuah kegembiraan yang maksud sebenarnya adalah kegembiraan diri sendiri.

Bila akhirnya memang benar bahwa kritik sastra benar-benar mati, bukan hanya kehidupan sastra yang akan menjalani kehidupan rimba, tapi juga perkembangan kehidupan sastra akan berjalan tanpa arah dan tanpa kemajuan. Sastra yang melangkah maju sangat membutuhkan sumbangan dari sejarah sastra. Sementara itu, sejarah sastra sangat membutuhkan kritik sastra. Bagaimana sastra akan melangkah maju, jika sejarah sastranya tanpa jejak.

Penulis adalah Pengajar Sastra di Malang

Sumber Foto: https://www.pinterest.es/pin/572449802606018893/?amp_client_id=CLIENT_ID%28_%29&mweb_unauth_id=%7B%7Bdefault.session%7D%7D&amp_url=https%3A%2F%2Fwww.pinterest.es%2Famp%2Fpin%2F572449802606018893%2F&open_share=t

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top