Tentang Bagaimana Memilih Untuk “Berpikir”

Oleh: Raflidila Azhar

Suatu sore, ketika saya sedang mengantri di sebuah klinik, seorang ibu yang sedang menggendong anaknya tiba-tiba menyerobot antrian yang tidak terlalu ramai itu. Ia semacam sedang terburu-buru. Terlihat dari peluh yang menetes di sekitar permukaan atas maskernya, ibu ini pergi ke klinik dengan berjalan kaki atau bahkan berlari.

Dua orang di belakang saya geram, mencoba untuk mendorong saya–secara fisik dan verbal–agar antriannya tidak diserobot oleh ibu-ibu berpeluh tadi. Namun, saya menahan dorongan itu. Saya menahannya karena dua alasan, pertama physical distancing dan kedua karena dia seorang ibu-ibu. Karena physical distancinglah, ibu itu mendapat celah untuk menyerobot.

Dua orang sebelumnya berbalik geram ke saya, dan akhirnya mengikuti tindakan si ibu-ibu berpeluh tadi untuk menyerobot. Akhirnya, antrian yang hanya diikuti 5 orang itu berujung chaos dan dilerai oleh perawat klinik. Saya sebenarnya juga geram dengan si ibu berpeluh, tapi entah kenapa tidak sampai membuat saya mengikuti perbuatannya, juga perbuatan dua orang di belakang saya.

Sepulang dari klinik itu, saya teringat pidato David Foster Wallace, sastrawan Amerika, saat inagurasi Kenyon Collegues berjudul “This Is Water”. Di salah satu bagiannya dia menyebutkan unsur krusial pada konsep kebebasan ialah kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir yang saya artikan ialah kebebasan kita untuk berpikir secara sadar (conscious) tentang bagaimana kita memutuskan untuk berpikir.

Ia memberi contoh tentang kehidupan biasa seorang warga Amerika yang dewasa–yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan warga beberapa kota di Indonesia–yang harus melalui hari demi hari dengan aktifitas membosankan; pergi ke kantor, kemacetan lalu lintas, antrian panjang pasar swalayan yang diisi berbagai macam dan jenis manusia dan kegiatan-kegiatan ini berjalan stagnan dan konstan.

Saat di jalan, ia harus bertemu dengan kendaraan SUV, Truk, dan sejenisnya yang menguasai jalanan; kendaraan yang menghabiskan bahan bakar lebih banyak dari kendaraan biasa dan juga pengendaranya yang suka menyerobot jalur. Lalu, dalam perjalanan ia harus pergi ke swalayan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Setelah kemacetan di jalan, ia harus menghadapi kemacetan di antrian panjang swalayan tersebut. Lalu di sana ia bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sering meneriaki anaknya, juga muka kasir yang datar juga tak ramah dan semuanya merusak suasana dirinya.

Kegiatan itu terus menerus berputar tak ada habisnya, dengan cara berpikir yang juga tak ada habisnya; merutuki semuanya. Namun, David Foster Wallace mangajukan gugatan. Bagaimana jika kita mengganti cara berpikir kita. Bagaimana jika pengendara yang menyerobot kita di jalan adalah seorang yang terburu-buru ke rumah sakit karena anaknya sedang kritis dan sebenarnya kitalah yang menghalangi jalannya, atau pengendara SUV, truk besar dan sejenisnya ialah seseorang yang pernah trauma karena kecelakaan parah ketika ia mengendarai mobil biasa dan terapisnya menyuruhnya membeli kendaraan yang lebih besar.

Atau, ibu-ibu yang ada di antrian swalayan ternyata tidak biasanya meneriaki anaknya. Namun saat itu pikirannya sedang stress akan kondisi suaminya yang mengidap kanker di rumah. Terakhir, bagaimana jika kasir yang cemberut itu juga tengah kelelahan karena overworked dan lembur yang ia lakukan. Namun jika ia berhenti dari pekerjaannya, ia tidak memiliki pemasukan selain dari kerja kasir di swalayan itu.

Bagaimana jika kita mengganti cara berpikir yang sebelumnya secara otomatis tertanam dan sering kita gunakan. Hal itu yang digugat oleh David Foster Wallace dalam commencment speech-nya. Manusia, memiliki kebebasan untuk berpikir, dan memilih secara sadar bagaimana cara berpikir yang ingin  digunakannya.

“… being conscious and aware enough to choose what you pay attention to and to choose how you construct meaning from experience.”

Bagaimana kita bebas memilih makna yang ingin kita bangun dari suatu peristiwa yang lewat dalam hidup kita dan bagaimana kita bebas membangun persepsi atas seseorang adalah dua hal yang menjadikan kebebasan berpikir menjadi penting.

Jika memilih selayaknya orang-orang yang menggerutu akan antrian panjang dan kasir yang cemberut, kemacetan dan mobil-mobil besar yang menyerebot, tidak masalah. Beberapa orang toh juga berpikir seperti ini. Juga, jika kita memilih untuk “agak tidak arogan” dalam membangun persepsi dan makna, seperti menganggap jika orang-orang tersebut justru memiliki beban kehidupan yang lebih berat dan lebih tidak adil dari yang kita jalani, juga tidak masalah.

Atau, seperti berpikir jika seorang perempuan yang lebih memilih laki-laki yang “berpunya” sebagai perempuan matre. Padahal, kita tidak tahu jika tindakan perempuan itu dibentuk dari “makna” ibunya yang harus kerja keras membiayainya sendirian. Atau menilai seorang laki-laki yang senang mencari keributan, padahal ia hanya membutuhkan rangkulan teman.

Menilai orang-orang yang menikah muda menyia-nyiakan masa mudanya, atau menilai jika perempuan atau laki-laki yang mengundur nikah demi masa mudanya menyia-nyiakan umurnya. Yang kita tahu, keduanya–yang memilih menikah muda atau menunda nikah–memiliki alasan yang tidak sepenuhnya kita tahu, realitas dan makna yang benar-benar tak terjamah selain oleh diri mereka sendiri.

Kita bebas memilih mana kiranya cara berpikir yang menghasilkan makna yang lebih “bermakna”. Posibilitas lain dalam melihat realitas yang sebenarnya kita tidak tahu apa yang ada dan terjadi di sana. Dan dari sana, kita membentuk bagaimana kita memaknai realitas secara sadar dan “lebih perhatian”. Juga adil dan “agak tidak arogan”.

Jangan-jangan, ibu-ibu berpeluh yang menyerobot antrian di klinik tadi memiliki suami yang sedang kritis dan mereka hanya mampu pergi ke klinik karena keterbatasan yang mereka punya. Sedang saya dan dua orang sebelumnya mungkin hanya ingin membeli obat batuk pilek biasa. Entahlah.

Jika seperti itu, maka kegeraman saya saat itu mungkin ialah tindakan yang sangat arogan. Dan pada antrian itu, saya sama sekali tidak mendapatkan makna yang “bermakna”.

Penulis adalah alumni Sastra Inggris UIN Malang

Sumber Foto: https://www.tuttartpitturasculturapoesiamusica.com/2011/09/oskar-kokoschka-1886-1980.html?m=1

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top