Oleh : Dyah Monika Sari
Dalam salah satu adegan pembuka film Hudson Hawk besutan Michael Lehmann (Tri Star Pictures, 1991), sepintas lalu sempat ditampilkan lukisan Monalisa di mana senyumnya yang terkenal itu belum selesai digarap Leonardo Da Vinci. Sang model ternyata hadir menampilkan giginya yang tonggos dan berantakan. Kita lalu mengandai seperti hal nya Sunlie Thomas Alexander pernah bertanya dalam kritik sastranya, bagaimana jika senyum Monalisa sebenarnya tak secantik yang tampak pada lukisan masyhur seorang Da Vinci, sebab sosoknya yang asli ternyata bergigi tonggos?
Itulah parodi. Sebuah keriangan bermain-main tapi serius, seraya berikhtiar memperolok apa yang ada, yang tampak formil, bahkan yang sudah diterima dan diyakini khalayak luas sebagai kebenaran, sebuah ketepatan. Hal semacam itu senada dengan ungkapan Simon Dentith, bahwa parodi ada di mana-mana dalam budaya kontemporer. Ia hadir lewat sastra, teater dan televisi, musik, film, arsitektur, bahkan perbincangan sehari-hari. Ia adalah jantung dari teori budaya dan kesusastraan kontemporer.
Pekatnya permainan parodi inilah yang kita jumpai dalam film Mekah, I’m Coming. Film ini, bisa jadi adalah pilihan yang tepat untuk dinikmati di akhir pekan. Seperti yang terjadi di Cinepolis, Kota Batu pada hari Sabtu (28/12/20). Padepokan Film, sebuah Komunitas Film di Malang menggelar acara nonton bersama. Kegiatan ini terlaksana sebagai hasil kerjasama antara Padepokan Film sebagai penyelenggara lokal, dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru (PMMB) Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian adalah pernyataan Roro, wakil dari Direktur Jenderal Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ketika menyampaikan sambutan sesaat sebelum film dimulai.
Disutradari oleh Jeihan Angga, film ini berhasil memenangkan nominasi Piala Citra FFI. Film yang digarap oleh MD Pictures bersama Dapur Film ini tayang serentak di bioskop Indonesia pada tanggal 5 Maret 2020. Sebelum tayang resmi untuk umum, Mekah I’m Coming telah lebih dulu ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival secara perdana pada tanggal 21 November. Film ini mendapat tanggapan yang baik dari para kritikus film.
Di Festival Film Indonesia 2020, Mekah I’m Coming berhasil mendapatkan tiga nominasi dalam kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Totos Rasiti), Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik (Ria Irawan), dan Penyunting Gambar Terbaik (Ahyat Andrianto). Sedangkan di Festival Film Tempo 2020, film ini dinominasikan di seluruh kategori dan berhasil terpilih dalam kategori Film Pilihan Sutradara Pilihan (Jeihan Angga), dan Skenario Terpilih (Jeihan Angga).
Dalam film ini, kita diantarkan oleh sebuah narasi aneh. Sebuah arak-arak an yang dilakukan oleh warga desa Cempluk, sebuah desa di Jawa Tengah. Panggung dan podium telah disiapkan, warga menunggu, mobil penjemputan disertai nasida ria turut menggiring Sholeh, sang haji yang baru pulang dari tanah suci. Sementara itu, Edi, sang sopir dari mobil pengiring kelewat menyadari, rem pada mobil pick up yang ia kendarai itu blong. Disinilah kita disuguhi dengan adegan komedi, bahkan di awal film ini dimulai. Mobil pick up yang ditumpangi para pengiring itu plong melewati jalan turunan, menabrak seorang pencari rumput dengan gerobaknya. Edi berprofesi sebagai bos bengkel, padahal kemampuannya pas-pas an.
Ia dikisahkan menjalin hubungan percintaan dengan Eny, putri dari Sholeh. Nahasnya, Eny telah dijodohkan dengan Pitoyo, seorang saudagar yang membantu Sholeh dalam mendirikan usaha telur asin. Sebagai bandingan, melalui pitutur Ramah, ibunya yang juga seorang Haji, Edi akhirnya memutuskan untuk naik haji, berbekal uang hasil jual bengkelnya. Gayung bersambut, kata berjawab. Eny merestui ketulusan Edi, dan Sholeh akhirnya menyepakati permohonan Edi. Edi akhirnya berangkat menuju pusat travel haji, ia berusaha mendapatkan tiket ke Mekah dalam kurun waktu tak lebih dari setahun.
Dari situlah, nasib malang menimpanya. Ia terkena tipu makelar haji. Bersama kawan senasib yang bernama Ajrul, ia akhirnya bekerja di toko souvenir haji untuk membantu ayah Tuti. Ayah Tuti adalah seorang Haji yang dulunya pernah mengalami nasib yang sama dengan yang saat ini menimpanya. Edi tak punya nyali untuk kembali ke kampung halamannya, sementara di punggungnya, ia memikul beban dan segala keapesan. Namun akhirnya, Eny pun mengetahui kebenaran tersebut melalui vlog Tuti yang dibagi dan ditonton oleh Bagi.bagi.bagi, pemilik akun vlog di desanya. Eny yang terlanjur kecewa kemudian menghampiri Edi, ia menampar dan meluapkan segala amarahnya karena merasa dibohongi. Eny kemudian kembali ke rumah dengan rasa frustasi. Tak ada pilihan lain selain menerima perjodohannya dengan Pitoyo.
Disisi lain, warga Kampung Cempluk pun mengetahui fakta yang beredar terkait keberadaan Edi. Edi tak jadi ke tanah suci, melainkan terpuruk di tanah Betawi. Segala pamflet yang sudah terpasang berisikan ucapan selamat naik haji lengkap dengan fotonya dicoret-coret oleh warga, begitupun dengan rumahnya. Hal ini membuat Ibunya turut nestapa hingga jatuh sakit. Edi yang berniat untuk gantung diri namun gagal akhirnya memberanikan diri untuk kembali ke kampung halamannya. Ia mulai mengumpulkan energi untuk menghadapi reaksi warga akan kedatangannya.
Tak sampai disitu, permasalahan lain muncul ketika Eny meminta Edi untuk kawin lari. Sebab tepat di hari esok, ia akan dinikahkan oleh Pitoyo. Namun hal itu tak terjadi, sebab Eny telah kabur terlebih dahulu. Ia berada di pucuk jurang di sebelah desanya. Disitu, kerusuhan kembali terjadi. Diikuti oleh seluruh warga, Sholeh mendatangi rumah Edi. Ia menuduh Edi telah menyembunyikan keberadaan Eny. Yang lebih mengejutkan, fakta lain terungkap. Fakta itu datang dari Ajrul. Pemilik studio foto tempat ia bekerja ternyata adalah kawan dari Sholeh, yang tak lain ialah korban tipu agen travel haji jua. Nyatanya, Sholeh pun tak ada bedanya dengan Edi. Sejak itu, warga mulai mengerti. Lantas, bagaimana dengan Eny dan Edi? Melalui isi hati yang tercurah dari Eny untuk sang Bapak, Sholeh akhirnya merestui sekaligus menikahkan Edi dengan Eny. Peristiwa itu sekaligus menjadi pungkasan, film bersambung happy ending.
Dalam padanya, film ini seolah ingin memperolok tradisi yang terlanjur melekat pada masyarakat desa tentang fenomena naik haji. Bahwa mereka yang telah naik haji adalah pantas dihormati. Namun sayangnya, haji di sini hanya diartikan sebatas tanah suci, bukan pada esensi naik haji itu sendiri. Hal Ini tersorot ketika Sholeh begitu tergoda oleh iming-iming naik haji yang ditawarkan oleh Pitoyo kepada Eny. Juga bagaimana dia akhirnya menerima Edi, perihal sebuah janji yang diikrarkan, bahwa Edi akan menziarahi Kota Mekah dan menunaikan haji saat itu juga. Sebuah janji yang diundi untuk meminang Eny dan mengalahkan Pitoyo. Ironisnya, seseorang yang disebut dan dihormati karena status kehajian-nya, ia belum tentu dapat menjadi teladan untuk sekitarnya. Lihat saja bagaimana Sholeh atau keluarga Pitoyo, mereka hanya menghabiskan waktunya dengan ongkang-ongkang dan main games di rumahnya.
Segenap tatanan itu terbalik seketika pada saat warga dan seluruh yang terlibat mengetahui peristiwa yang menimpa Edi. Edi bahkan dikutuk dan dijauhi sebab dianggap haji hoax. Disitulah letak parodi memainkan perannya. Betapa masyarakat sangat mudah tergiur dengan hal-hal yang dianggap mulia, sementara momen kejatuhan bisa menimpa siapa saja.
Disamping itu, kita dapat melihat bahwa film ini sarat dengan kearifan lokal. Sedari awal, kita disuguhkan dengan pemandangan yang menoreh kekayaan sumber daya alam desa itu. Hamparan sawah bertingkat yang terjejer di kiri kanan jalanan, gemintang yang tampak tanpa polusi di malam hari, kekhasan profesi yang ditunjukkan, perkembangan era digital yang ditunjukkan melalui adegan vlog dan kampanye Tuti dalam berjualan, juga bahasa yang kental, baik dari sisi Betawi maupun Ke-Jawa- Tengah-an-nya. Hal ini merepresentasikan kontras budaya urban dengan masyarakat desa pada umumnya, juga adat istiadat dan masalah ekologis yang saat ini perlahan terenggut oleh Hama (Hasrat Eksploitasi Manusia Modern).
Rendra, founder sekaligus pembina Padepokan Film mengungkapkan, tujuan diadakannya acara tersebut salah satunya adalah untuk mengajak supaya masyarakat ikut melihat bahwa film-film nasional memiliki kualitas yang baik, tidak kalah dengan film-film luar negeri. Beberapa komunitas dari lintas bidang pun turut diundang untuk meramaikan acara tersebut.
Ia menambahkan, bahwa sebenarnya acara ini merupakan bagian dari rangkaian acara Penayangan dan Diskusi Film Pemenang Nominasi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2020, yang dilaksanakan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan menggandeng komunitas perfilman setempat. Untuk di kota batu ini, Direktorat PMMB menggandeng Padepokan Film.
Sementara itu, antusiasme penonton sangat tinggi. Jumlah kuota penonton sebanyak 174 orang (termasuk undangan) terpenuhi hanya dalam waktu satu hari sejak dipublikasikan acara ini. Namun demikian, terdapat beberapa calon penonton yang tidak dapat masuk karena membawa anak kecil, sebab protokol kesehatan yang diterapkan di Cinepolis sangat tinggi, termasuk larangan untuk membawa anak kecil dibawah usia 12 tahun.
“Dengan dislenggarakannya acara ini, saya berharap minat masyarakat terhadap film-film nasional karya anak negeri meningkat”, Pungkas Rendra. Saya pun mengamini harapan Rendra, sebagai sebuah bentuk apresiasi karya anak bangsa yang semakin lesu tergerus arus budaya modernitas. Dengan ini, semoga gelombang siul perfilman Indonesia dapat kembali bergetar, dan menegukkan oase kiprah pada penggelut film untuk terus berkaya, menjadi lebih baik.
*) Tulisan ini merupakan reportase sekaligus resensi penulis saat menghadiri undangan menonton film dari Padepokan Film (PaFi) dan Dunia Belajar Malang.
Penulis adalah Seorang Pendidik dan Penerjemah Karya-Karya Sastra