Oleh: Rosyid HW
Sinema dipercaya sebagai bentuk lanjutan dari seni pertunjukan. Dalam hal ini, film adalah seni rekaman pertunjukan. Eksistensi film dapat hadir karena perkembangan teknologi yang dapat merekam gambar, video dan suara. Tak pelak, hubungan film dan seni pertunjukan sangatlah dekat. Hal itulah yang dibuktikan oleh film “Nyai: A Woman from Java” (2016) garapan sutradara Garin Nugroho.
Film ini seakan-akan membawa penonton sedang melihat pertunjukan teater. Bedanya, jika teater ditonton dari atas panggung secara langsung, film ini dinikmati dari layar kaca. Layaknya teater yang tidak mengenal proses pemotongan, penggabungan ataupun pengulangan adegan; film dengan durasi 90 menit ini dibuat dengan sekali shoot, sekali take, real time dari satu latar tempat; beranda rumah tradisional Jawa. Beranda rumah menjadi semacam panggung teater.
Dapat dikatakan, film ini adalah pertunjukan teater yang direkam. Hasilnya adalah sebuah sinema eksperimental, yaitu eksplorasi medium film dari pertunjukan teater.
Proses kreatif film ini sangatlah menarik karena dicipta dari alih wahana berbagai medium seni. Garin menyebutkan bahwa inspirasi bagi terciptanya film yang ber-setting waktu tahun 1927 ini adalah karya sastra, yaitu “Nyai Isah” (1904) karya F. Wiggers, “Seitang Koening” (1906) karya R.M. Tirto Adhisoerjo, “Boenga Ross dari Tjikembang” (1927) karya Kwee Tak Hoay, “Nyai Dasima” (1960) karya S.M. Ardan dan “Bumi Manusia” (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.
Menitikberatkan pada kehidupan “Nyai”, film ini berawal dari kisah sejarah yang tertulis di dalam karya sastra, diadaptasi ke dalam pentas teater, di-shoot dengan teknik film dan dihiasi dengan musik dan tari. Sebuah eksperimen alih wahana dalam penyajian film yang sangat patut dihargai.
Penyajian film yang unik tentu juga didukung dengan cerita yang apik. Film ini berkisah tentang Nyai, yaitu perempuan pribumi yang menikah dengan laki-laki Belanda. Nyai digambarkan sebagai perempuan yang tertindas dari berbagai segi. Perkawinan perempuan dengan lelaki Belanda disebabkan iklim patriarkal yang sangat kuat di mana ayah-ayah perempuan ini menjual anaknya karena kemiskinan dan keterbatasan ekonomi.
Budaya patriarki membelenggu calon Nyai di mana mereka tidak dapat menolak keinginan orang tua. Nyai di dalam film Garin Nugroho digambarkan demikian. Hal ini juga dialami oleh Sanikem (Nyai Ontosoroh) dalam Bumi Manusia yang juga dijual oleh ayahnya kepada lelaki Belanda, Robert Melema. Setelah menikah, mereka bisa tidak memiliki hak apapun karena mereka kawin dengan penjajah yang diuntungkan hukum dan undang-undang. Image Nyai adalah image yang buruk dengan panggilan kafir, gundik, pelacur atau perempuan murahan.
Namun, alih-alih mengharu-birukan pengalaman ketertindasan Nyai, film ini menceritakan cara Nyai berusaha keluar dari penjara kuasa lelaki Belanda. Nyai melawan dengan menjadi perempuan yang mandiri dan cerdas. Dalam sebuah dialog, ia berkata, “Aku menjadikan diriku sebagai barang dagangan yang paling mahal. Aku belajar kebudayaan Eropa yang menguasai dunia.”
Nyai berusaha melawan dengan belajar ilmu perdagangan, sistem hukum, tata kelola ladang, serta bahasa Belanda. Maka, meski harus mengurus Meneer William, sang suami yang tua ringkih, ia mampu memanfaatkan perusahaan suaminya untuk kepentingan bangsanya. Tak heran, Nyai mampu berdialog dan berhadapan dengan banyak tamu seperti akuntan, pengacara, jurnalis, aktivis politik, hingga tokoh agama yang berkepentingan dengan William. Nyai adalah gambaran tokoh yang memiliki cara tersendiri dalam melawan penindasan kolonial.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga Surabaya
Sumber Foto: https://www.imdb.com/title/tt6493080/