Kekerasan dalam Proses Interogasi

Oleh: Raflidila Azhar

Para perwira dari divisi pasukan tank tentara merah yang baru pulang dari menghalau panser-panser Jerman di wilayah Soviet, ditangkap oleh organ intelijen pemerintahan Stalin. Dakwaannya, mereka telah menjadi mata-mata dan “tertular” virus-virus eropasentris yang bisa membahayakan paham komunisme di Soviet. Dalam melakukan interogasi atas “kesalahan” yang sebenarnya omong kosong itu, interogator yang notabene merupakan organ intelijen pemerintahan Stalin tadi acapkali menggunakan kekerasan fisik dalam mengorek pengakuan “palsu” para perwira tadi. Dari mulai pemukulan, meremukkan tulang belakang, tidak dibiarkan tidur selama berhari-hari sampai pada tekanan psikologis.

Dalam film Money Heist besutan Netflix, salah satu pentolan polisi Spanyol menggunakan kekerasan fisik dan represi psikologis terhadap Rio, salah satu anggota geng “Heist” yang tertangkap di suatu pulau persembunyiannya. Dalam mengorek informasi terkait geng “Heist” pada perampokan di Bank of Spain, Rio diperlakukan bak binatang. Rio dikurung pada sel yang membuatnya hanya dapat berdiri, selama berhari-hari. Ia dibuat tidak tidur dengan konsumsi kafein yang melebihi batas serta penyetruman terhadap fisiknya. Bahkan sebelum dijebloskan dalam sel rahasia tersebut, Rio ditekan psikologisnya dengan menggali kuburannya sendiri dan tidur di dalamnya di suatu daerah Arab, sambil dipaksa membocorkan lokasi anggota geng yang lain.

Kedua cuplikan penggambaran proses interogasi oleh pihak “berwenang” di atas (yang pertama dikutip dari salah satu karya Alexandr Solzhenitsyn berjudul “Gulag Archipelago”) menjelaskan secara gamblang proses kekerasan fisik dan psikologis yang telah dilakukan kepada para korban. Padahal cara-cara seperti itu, tidak pernah menjamin para tahanan akan memberikan kesaksian yang benar. Bahkan, dijelaskan oleh Solzhenitsyn, para interogator ternyata mengejar jumlah tahanan yang ditargetkan pimpinan mereka untuk dijebloskan ke dalam Gulag. Mereka memaksa para tahanan untuk mengakui dakwaan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Kekerasan fisik yang mereka lakukan semata-mata hanya agar mereka terpaksa mengiyakan dakwaan dan membuat target tahanan yang dibebankan pada mereka tercapai.

Sedangkan Rio, dengan rangkaian siksaan fisik, memilih bungkam untuk menyelamatkan para anggota “Heist”. Justru, siksaan yang dilakukan polisi dan intelijen menjadi bumerang untuk mereka sendiri. Profesor, selaku dalang perampokan, mengumpulkan fakta penyiksaan yang dilakukan terhadap Rio dan menyiarkannya di media. Hal tersebut mengundang perhatian serta simpati komisi urusam HAM PBB, masyarakat serta para jurnalis atas pelanggaran HAM yang dilakukan polisi dan Intelijen Spanyol terhadap Rio selaku tahanan. Dan pada akhirnya, keadaan justru berbalik mendukung komplotan “Heist” dan menjatuhkan moral kepolisian serta Intelijen Spanyol.

Kekerasan fisik serta psikologis dalam proses interogasi, entah di penjara internasional macam Guantanamo, atau kelas lokal macam kasus penyiksaan seorang kuli bangunan untuk mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan (belakangan viral di sosial media), merupakan borok dalam institusi intelijen serta kepolisian nasional maupun internasional. Di tengah perkembangan teknologi maupun cara terkait interogasi, seperti pendeteksi kebohongan via detak jantung, atau permainan logika dan linguistik psikologis untuk menggali keterangan pada saksi/terdakwa (seperti dalam series netflix berjudul Criminal UK) atau teknik-teknik lainnya yang tidak melibatkan fisik (namun justru paling efektif), kekerasan fisik yang sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman pertengahan cenderung tidak efektif (walaupun ada beberapa yang berhasil) dan malahan keterangan yang diberikan para saksi/terdakwa cenderung terpaksa dan tidak sesuai.

Hal ini menunjukkan, interogasi yang menggunakan kekerasan fisik sudah tidak relevan dan harus ditinggalkan. Hal demikian karena, di samping berpotensi menghilangkan nyawa yang justru merugikan pihak interogator dalam mengorek informasi, metode-metode alternatif non-fisik lainnya mulai banyak ditemukan dan terbukti efektif. Pihak kepolisian maupun intelijen yang masih menggunakan teknik lawas harus merevolusi metode serta teknik interogasi mereka menjadi lebih manusiawi, demi kepentingan kedua pihak. Pihak kepolisian serta intelijen seharusnya menjunjung hak-hak kemanusiaan saksi/terdakwa. Hal ini mungkin terdengar naif, namun di satu sisi hal demikian dapat meningkatkan citra penegak hukum (yang memang telah mencapai titik nadir) di mata masyarakat sebagai penjaga keadilan.

Maka tidak perlu lagi ada kasus-kasus “kecelakaan” saat proses interogasi berlangsung. Tentu, seorang yang salah perlu diganjar dengan hukuman yang setimpal. Dengan catatan, dalam prosesnya perlu selalu dievaluasi, diawasi dan tidak melanggar hak-hak yang dimiliki oleh terdakwa tersebut. Dan juga untuk melindungi korban salah tangkap atau “terpaksa” ditangkap, sehingga proses keadilan dapat ditegakkan tanpa harus ada nyawa-nyawa yang melayang serta merenggut keadilan individu-individu yang tidak bersalah.

Penulis adalah Alumni Sastra Inggris UIN Maliki Malang

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top