Oleh: Zehan Zareez
Sudah berabad-abad lamanya kita dibodohi kelihaian mulut sendiri. Terbukti dari sekian tahun usia, tak terhitung berapa sering sudah sebenarnya kita melafalkan bunyi-bunyi yang secara akar belum sungguh-sungguh kita ketahui. Kita paham tentang satu kata dari rangkaian huruf yang dijelmakan benda, kita bahkan sampai mampu merangkai kata-kata tersebut menjadi sebuah frasa, kalimat, paragraf hingga cerita. Kemudian dengan berani mengajak mulut mengucapkan rangkaian-rangkaian bunyi tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan komunikasi sosial, bahkan tak jarang untuk pula menyuap bebunyian itu untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Memang tidak sepenuhnya bisa dikatakan naif. Mengingat kita adalah manusia biasa. Yang butuh berbicara, berceramah, berkisah, menyampaikan segala sesuatu, sekalipun belum betul begitu diketahui, termasuk juga di dalamnya; saat berpuisi. Yang menjadi rancu adalah saat bunyi yang kita ucapkan berpatok pada sekadar asal bunyi. Taklid pada pola turunan keadaan yang bisa jadi dalam benak kita sendiri nihil terpahami.
Hal demikian kerap terjadi lantaran setiap dari diri ini memiliki sebuah jubah bungkus yang realistis. Ialah terkenal dengan kemasan nama ‘egoisitas’. Sebuah rasa butuh pengakuan, butuh diakui, terakui, untuk tujuan-tujuan estafet eksistensi yang kian solid menuju pembuktian bahwa kita ini; adalah ada (karena telah diadakan pada proses sebelumnya).
Dalam memperlakukan imbuhan kata “ku” misalkan. Hampir saban hari lahir pertanyaan-pertanyaan spontan yang (mau tidak mau) imbuhan ini butuh kita ucapkan. “Ini punya siapa ?”, “Itu rumahnya siapa ?”, “Apakah itu ayahmu ?”, dll yang tentu untuk menjawabnya kita rela mengusung kata “ku” sebagai pelengkap jawaban. “Ini punyaku”, “Itu rumahku”, dan “Ya, itu ayahku”. Sering pula “ku” bahkan kita ucapkan sekali pun tanpa terlebih dahulu disertai pertanyaan, alias kesengajaan ucapan untuk menyatakan pernyataan. Tangan-ku sedang sakit, kepala-ku pusing, ibu-ku di rumah, dan masih banyak lagi.
Contoh-contoh di atas memang terkesan sederhana sekali. Seolah-olah kalimat tersebut sudah mewakili kejelasan, menghipnotis kepahaman dan tidak lagi harus dipanjang lebarkan. Padahal jika kita sejenak sudi merenungi, imbuhan tersebut bukan sebatas imbuhan sederhana. Terdapat sebuah dorongan ego yang bergeliat dari sisi kedirian seseorang, atau dalam hal ini adalah diri kita (sebagai pelafal).
Inilah yang sejatinya merupakan cakupan mafhum dari Lathifah Robbaniyyah.
Apakah itu ?
Kita cenderung berulang kali gagal memaknai “ku” dalam setiap penyebutannya. Siapakah atau apakah “ku” itu, di manakah “ku” yang sebenarnya sering kita ucapkan itu. Bukankah — Punya-ku, rumah-ku, ayah-ku, tangan-ku, kepala-ku — memiliki pemaknaan asal — “punyanya aku”, “rumahnya aku”, “ayahnya aku”, “tangannya aku”, “kepalanya aku”, dll. Jika pun “ku” yang dimaksud adalah “aku”, maka siapakah “aku” itu ?
Di manakah yang namanya “aku” itu ? “aku” itu yang mana ? Sementara fisik ini, tubuh atau badan yang sering kita anggap mewakili kata tunjuk “aku” sejatinya berbeda dengan “aku” sendiri (yang jarang terpahami). Ketika menunjuk kesosokan diri, kita tentu paham bahwa diri ini bukan “ku” yang sebenarnya. Fisik ini bukan “ku” kan ? Dia hanya bagian dari kesejatian keseluruhan “ku”. Semua organ-organ dalam fisik manusia bukan lah “ku”. Karena “ku” bisa bekerja dan berfungsi sekali pun tanpa organ-organ tersebut.
Kita sering mendapatkan pemahaman mengenai ajaran-ajaran agama dari guru-guru ngaji di kampung. Terkait ritual dan dampaknya, pola dan akibatnya, upaya dan resikonya, serta ganjaran-ganjaran yang dijanjikan nanti setelah kehidupan ini berakhir. Kelak, di situlah saatnya “ku” dituntut mempertanggungjawabkan segalanya. Andaikata manusia berbuat keburukan, maka Allah SWT akan memerintah malaikat untuk menyiksa manusia tersebut. Yang sejatinya disiksa adalah “ku” nya manusia itu. Bukan dianya, fisiknya, atau organ-organnya.
Di sini kita berulang kali gagal memahami. Sebaliknya, jika manusia berbuat kebaikan, baginya pahala. Dan yang mendapatkan kenikmatan pahala tersebut tak lain ialah “ku” nya dia itu. “ku” ini lah yang dulu telah mengalami perjanjian (diambil janji oleh Allah SWT) di fase alam arwah, sebelum akhirnya dibungkus dengan fisik, yang kemudian mengalami proses berkehidupan seperti ketampakan-ketampakan kita sekarang ini.
Hal ini dapat kita selami melalui ketika Allah SWT mengingatkan kita dengan ayat:
ألست بربكم
“Bukankah sebelumnya kalian telah iman dan mengakui bahwa aku (Allah SWT) ini adalah Tuhanmu ?”
Melalui potongan ayat tersebut, “ku” kita sontak menjawab:
قالو بلى شهدنا
Mereka (ku) berkata, “tentu. Kami (ku) telah bersaksi sungguh atas hal itu”.
Kesaksian “ku” kita atas imannya bahwa Allah SWT adalah Tuhan telah terjadi di alam arwah (dulu), jauh sebelum fase kehidupan ini.
Kata شهدنا (pernyataan atas sebuah persaksian) inilah yang pada dasarnya menjadi inti dari ajaran ketauhidan, dengan tuntunan gerbang peng-Esaan — yang menjadi rukun pertama seseorang dalam menjalankan kemusliman dirinya, melalui kalimat syahadat:
أشهد أن لا إله إلا الله وأشهدأن محمدا رسو ل الله
Alam tidak hanya satu. Tapi bukan lantas berarti “ku” kita berbeda-beda bergantung menyesuaikan alamnya. “ku” kita yang telah bersaksi di alam arwah dulu tetaplah “ku” yang sampai hari ini. Yang sampai kita yang bisa menjalankan amanat di kehidupan ini.
Melalui dialog dalam ayat di atas tadi, harusnya kita mengembalikan ingatan bahwa alam arwah (sebelum alam kita hari ini) adalah alam sumpah. Sedangkan alam kehidupan, di mana kita yang sedang dihidupkan hari ini, sejatinya merupakan alam pembuktian. Di mana “ku” harus membuktikan atas apa yang telah dipersaksikan dulu di alam arwah. Barulah setelah ruh dipisahkan dari jasad nanti, alam-alam selanjutnya bergiliran menanti. Dan di alam setelah kehidupan ini (alam akhirat) “ku” dituntut mempertanggungjawabkan pembuktian sumpahnya yang telah diikrari di alam arwah tadi.
Kenapa Allah SWT (dalam Al-Qur’an) mengingatkan proses laju “ku” kita tersebut dalam ayatnya seperti yang kita baca di atas ? Dan kenapa kita diwajibkan mempelajari, memahami, merenungi ayat dari setiap ayat-ayatNya ?
Adalah agar kelak, kita (manusia) tidak bisa mengelak ketauhidan. Kita tidak akan lagi punya alasan mengingkari bahwa kita ini hamba yang sejatinya ber-Tuhan. Kita tidak mungkin bisa mengaku lupa dan lalai atas ini. Karena Allah SWT pun sudah mengingatkan melalui kalamNya, jika kita mau membaca dan memahami.
أن يقولوا يوم القيامة إنا كنا عن هذا غافلين
١٧٢ :الأعراف
Ya ! Kehidupan dunia ini memang permainan. Tapi sumpah yang diucapkan “ku” dulu nyatanya bukan sumpah main-main.
Penulis adalah Penyair, tinggal di Lamongan