Oleh: Alif Naqti
Suatu ketika, dini hari, beberapa tahun yang lalu, tetangga saya berteriak dan gaduh minta pertolongan. Seorang sepuh hampir meregang nyawa karena perbuatan konyol yang tidak dia sengaja. Awalnya, dia terbangun dari tidur karena batuk-batuk tengah malam. Tanpa berpikir panjang bahkan tak sempat menghidupkan lampu, dia langsung menggerapai dan menenggak apapun yang didapati. Karena terasa aneh, dia lalu menghidupkan lampu dan baru menyadari kesalahannya. Ternyata dia baru saja menenggak satu saset Autan yang disangkanya Komix. Untungnya, dia sempat dilarikan ke Puskemas dan berhasil diselamatkan, kemudian bisa langsung kembali ke rumahnya sendiri, bukan ke rahmatullah.
Orang yang sedang kepedasan akan berusaha meminum apapun yang ada di dekatnya. Orang kehausan di tepi pantai akan langsung meminum air laut jika dia belum mengerti karakter air laut dan efek yang dihasilkan setelah meminumnya. Adagium tersebut identik dengan cerita di atas. Seperti realitas umat akhir-akhir ini, banyak orang Islam baru menyadari betapa jauhnya mereka dari ritus dan ilmu agama. Orang-orang yang telah lama melupakan lembaga pendidikan agama itu kini getol mengingatkan tentang ilmu agama bahkan kepada orang yang ahli agama.
Cara hidup yang telanjur serba instan juga teraktualisasikan bagaimana mereka mengemas pengajian-pengajian. Ustaz-ustaz instan didatangkan, ilmunya juga instan, jama’ah pun membuat kesimpulan yang instan, akhirnya tidak juga menghasilkan pemahaman yang matang. Ajang pertobatan yang mereka sebut hijrah tidak benar-benar membawa mereka pada arah lebih baik. Hanya menghasilkan keyakinan bahwa mereka telah lebih baik dari yang lain. Mereka lupa bahwa lebih baik menjadi baik daripada merasa lebih baik. Saking terobsesi hijrah, mereka akan mencari sosok-sosok yang sedang populer untuk diustazkan, terutama sosok yang juga baru hijrah. Siapa pun yang menyebut dirinya ustaz, tidak peduli sejauh mana kedalaman keilmuannya, asal media-able akan langsung mereka undang mengisi majelis-majelis pengajian.
Datanglah oknum yang mengerti ‘kebutuhan pasar’. Kupluk hijrah, kupluk gunung, bahkan kupluk makelar villa dia kenakan agar layak menyandang julukan ustaz milenial. Dia datang sebagai orang pede meski dengan pengetahuan pas-pasan, pernah mondok pun belum tentu. Apapun yang disampaikan sang ustaz, para jama’ah pasti manggut-manggut, bahkan ketika dia berani mengoreksi aqidah Nabi. Sang ustaz terus dielu-elukan, dimediakan habis-habisan. Hasilnya? Fatamorgana. Kebenaran yang mereka yakini di depan mata tidak pernah dapat mereka teguk. Karena tetap haus ilmu, mereka terus mencarinya meski dengan cara yang salah. Berlari tapi tak pernah sampai. Sikap rendah hati dan adab baik yang seharusnya menjadi puncak pencapaian ilmu tak kunjung mereka rengkuh.
Ustaz macam itulah yang sempat membuat saya iri, seorang ustaz yang bacaan Qur’annya sama—amburadulnya—dengan saya bisa menjadi langganan TV nasional. Di depan jama’ahnya, dia masih tetap bisa khusyuk membacakan Al-Qur an meski keliru bahkan menurut ukuran siswa Madrasah Ibtidaiyah. Saya semakin ngelu membayangkan banyaknya ustaz dengan kualitas ‘seadanya’ bisa langgeng dari mimbar ke mimbar di sebuah negeri yang jumlah pesantrennya tak terhitung. Lain lagi dengan ustaz yang tidak bisa men-tashrif tetapi gemar menceramahi negara dan kemana-mana bangga dengan jubahnya. Belum lagi ustaz yang bahkan terang-terangan mengaku tidak bisa membaca kitab, berpidato hanya dengan modal kemampuan misuh-misuh.
Alhamdulillah, rasa iri saya tak berlangsung lama. Sebagai santri yang gagal, kiai pun tak jadi, saya bersyukur sebab tidak memiliki tingkat kepedean maksimal seperti yang mereka miliki. Jelek-jelek begini, saya pernah belajar kitab Hidayatus Shibyan dan Buku Tajwid Zarkasyi, meskipun hanya warna covernya yang paling saya hafal sampai sekarang. Sebab itu saya meyakini bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan luas, minimal ‘pernah tahu’, maka ia pasti selalu mengerti batas. Orang yang pernah belajar secaran runut dan mengerti sampai mana dia belajar, pasti dapat mengukur kualitas dirinya: dia layak berdebat tentang apa, membincang apa, mengajari dan menasehati siapa.
Lalu kenapa ustaz-ustaz semacam itu selalu ada? Ya untuk ngumpulin jama’ah yang semacam itu pula. Jadi, jangan bertanya kenapa masih banyak orang yang mengundang. Sebab mereka pasti akan betah se-majelis dengan orang yang frekuensinya sama. Mungkin juga sama dengan frekuensi TV nasional yang biasa mengundangnya. Lebih baik biarkan mereka berkumpul seperti biasa agar menjadi pelajaran bahwa orang-orang yang tidak tahu akan ketidaktahuan dirinya itu nyata adanya. Yang pasti, hukum lama yang salah satu pasalnya berbunyi “wong pinter kalah karo wong nekad, wong nekad kalah karo wong bejo” harus diamandemen menjadi “wong alim kalah karo wong pede, wong pede kalah karo wong gak nduwe isin!”.
Kesadaran mereka terhadap situasi gelap dan betapa hausnya mereka akan ilmu tetap patut dihargai. Justru kitalah yang seharusnya bertugas membawakan mereka cahaya, agar mereka tidak salah pilih mana yang harus mereka tenggak saat batuk, Autan atau Komix.
Penulis adalah Penikmat Sastra, Staff DPRD Jawa Timur, dan Pengurus GP Ansor Jawa Timur
Kita memang sedang dalam krisis. Orang gendeng berani berfatwa. Standar kebenaran mereka adalah banyaknya jumlah penggemar.