Oleh: Mayor Minor
“Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hak anda untuk mengatakannya”,
– Evelyn Beatrice Hall,1906.
Negeri ini terlihat sedih dan letih jika kita teropong dari sudut pandang toleransi. Masih berserakan perilaku-perilaku penentang toleransi entah itu sengaja atau tak sengaja. Bahkan mungkin saja mereka si pelaku tak pernah tahu apa itu toleransi. Sebagaimana yang pernah dirangkum oleh Voltaire: “Pikirkan dirimu sendiri dan biarkan orang lain menikmati keistimewaan untuk melakukannya juga”.
Keberagaman mengharuskan kita untuk berjalan “lelaku” di jalan toleransi. Dulu di negeri kita pernah ada pemimpin jenaka yang dengan segala ketinggian ilmunya mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia dengan kecintaannya akan keberagaman. Yaa…. Gusdur, banyak dari kita mengenalnya. Beliau memberi tahu kita akan kebutuhan pokok bangsa besar ini adalah toleransi. Di zaman sekarang ini toleransi lebih esensial lagi dengan semakin majunya teknologi, perubahan pola-pola sosial, karena itu semua tak lepas dari keberagaman.
Mungkin toleransi tampak aneh ketika harus diperluas menuju ranah religi. Ranah di mana yang ada seharusnya hanya kedamaian dan kepasrahan kepada-Nya. Dan akhirnya dengan berjalannya waktu toleransi harus merasuk ke ranah religi juga. Itu semua untuk mengimbangi sifat manusia yang keduniawian dan penuh ego.
Manusia yang manusiawi. Memanusiakan manusia adalah kata yang sering keluar dari mulut kita. Kata yang memungkinkan perdamaian, kata yang akan mengganti budaya perang menjadi budaya damai. Memanusiakan manusia adalah bentuk apresiasi kita untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Mari kita terus mencoba menjadi manusia yang seutuhnya dengan tetap menjaga toleransi di negeri ini.
Tak terasa malam semakin larut kawan. Mari kita tutup celoteh tuan kopi ini, dengan sebuah esai dari ON LIBERTY,1859:
“Cara seorang itu sendiri menunjukkan eksistensinya adalah yang terbaik, bukan karena cara itu yang terbaik dalam dirinya sendiri. Manusia tidak seperti domba dan bahkan domba yang tidak dapat dibedakan pun tetap tidak sama. Seorang pria tidak dapat memperoleh sepasang mantel atau sepasang sepatu bot yang pas dengannya, kecuali sepasang mantel dan sepasang sepatu bot itu entah dibuat untuk ukurannya, atau dia memiliki gudang yang lengkap dan bisa mencarinya di sana, dan lebih mudah baginya untuk menyesuaikan dengan kehidupan daripada dengan sebuah mantel…..?”
Siapkan mantelmu!
Penulis adalah Pemerhati Satwa dan Buku. Hanya memperhatikan!
toleransi hanya dimiliki oleh insan yang tidak egois, lebih tepat iya yang meletakkan ego pada titik rendah dan serendah rendahnya, karena dengan demikian kesadaran untuk bertoleransi akan muncul secara alami tanpa harus diajarkan, beda dengan kebencian yang butuh waktu untuk berulang ulang bahkan turun temurun sampai menjadi dogma, jangan lupa sruput lagi kopinya 🙂