Oleh: M. Lutfi Ghozali
Dulu ketika duduk di bangku MTs, ada pembagian pengajian weton yang saya nanti-nantikan jadwalnya. Pengajian weton itu membacakan kitab Ahlal Musamarah-nya Kiai Abi Fadhal Senori. Pembalah kitabnya adalah Cak Moch Ridwan Ismail yang ketika bercerita seperti bisa membius pendengarnya.
Berawal dari mengaji kitab itulah saya pertama kali berjumpa dengan kitab sejarah yang ditulis kiai pesantren. Perlu diingat waktu itu seperti ada dikotomi kesejarahan di pesantren dan bacaan yang berasal dari luar pesantren.
Dalam kitab Ahlal Musamarah-nya, kiai Abi Fadhal menguliti tuntas nasab biologis pembawa risalah Nubuwwah Islamiyyah di Nusantara, yang biasa kita sebut dengan Wali Songo. Di (pengajian) kitab itulah seakan-akan ada indoktrinasi pemahaman jika Dewan Wali Songo itu dalam lingkaran kejadian adat atau khariqul adat wujud bukan mitos.
Sebenarnya ada satu kitab sejarah karangan orang pesantren lagi yang isinya bisa dibilang mirip dengan apa yang ada di dalam kitab Ahlal Musamarah-nya Kiai Abi Fadhal. Kitab kedua yang bermuatan sejarah dari pesantren itu adalah kitab Tarikh Auliya Tarikh Wali Songo, karangan Kiai Bisri Mustofa Rembang (abahnya Gus Mus). Kenapa saya bilang mirip, karena dalam beberapa hal ada penyebutan terutama nama yang berbeda antara Kiai Abi Fadhal dan Kiai Bisri Mustofa.
Mulai nasab biologis para raja, para wali dan dialektika Islam bisa menembus kehidupan keraton dikupas habis oleh Kiai Abi Fadhal dan Kiai Bisri Mustofa secara tematik menurut nama tokohnya.
Dimensi penjelasan seperti dalam kitab karangan Kiai Abi Fadhal dan Kiai Bisri Mustofa akan sangat berbeda ketika kita membaca sejarah dari luar dunia pesantren. Penegasian terhadap tokoh-tokoh penting pada bab berkembangnya Islam di Nusantara sangat terasa. Informasi teori (yang dikultuskan) jika Islam berkembang di Nusantara karena adanya pedagang dari Gujarat, seperti masuk jauh dalam ke pori-pori kita.
Predikat pedagang untuk saat ini kita rasakan biasa saja. Tetapi dalam sistem struktur sosial orang tua kita dahulu, kelas paling terendah dalam struktur sosial adalah pedagang. Maka dari itu, pedagang tidak diperbolehkan membicarakan hal-hal yang penting apalagi agama, karena ditakutkan ada “proyek” di balik agama.
Dalam struktur sosial zaman dahulu jika seorang pedagang terlalu mabuk duniawi, mereka masuk dalam kategori Tucha, kasta paling rendah dari tingkatan 7 kasta. Tetapi jika ada pedagang kaya dan tidak mabuk duniawi, mereka masuk dalam kasta nomer 4 yaitu Sudra. Kedua-duanya sama, tidak diperbolehkan membicarakan hal-hal yang suci seperti agama.
Sampai di sini jelaskan, kenapa predikat pedagang itu sangat melekat pada teori berkembangnya agama Islam di Nusantara. Ada semacam upaya peyoratif. Berangkat dari sinilah sifat-sifat adi kodrati yang dimiliki oleh yang kaum santri disebut dengan orang sholih atau wali langsung dihukumi klenik secara bathil. Ada upaya desakralisasi di sana.
Akhirnya lahir konsekuensi yang disebabkan menganut dari pemahaman seperti ini, seperti hilangnya kebijaksanaan, kebutaan akan keilmuan, tercerabutnya metode pendidikan, strategi dakwah “tanpa darah”nya para wali dan masih banyak lagi.
Selanjutnya dunia luar menilai memperdalam kronik sejarah itu tidak penting atau buang-buang waktu. Dari sinilah sumbu pendek kesejarahan terjadi. Dunia luar menilai isi kitab yang berisi kronik seperti pada kitab Ahlal Musamarah-nya Kiai Abi Fadhal itu ahistoris, tidak ada hubungannya dengan sejarah.
Memang jika boleh jujur, harus kita akui jika bentuk karangan para guru kita pada satu generasi ada beberapa yang mengesampingkan sumber referensi. Akhirnya kita akan sulit mengkonfirmasi benar tidaknya informasi yang ada dalam buku tersebut sesuai dengan rumus utamanya.
Hal seperti itulah yang sempat saya dapatkan ketika suatu saat membahas kitab Ahlal Musamarah-nya Kiai Abi Fadhal. Seorang kawan mengatakan jika kitab itu ahistoris dan banyak yang tidak valid dalam kenyataan kesejarahan terutama mengenai nama lokasi dan nama tokohnya fiktif.
Saya sempat dalam hati kecil tidak terima, bagaimana mungkin kitab yang selama ini saya gemari dihukumi ahistoris oleh seseorang. Akhirnya berangkat dari asumsi itulah saya berusaha “metani” satu persatu nama tokoh dan nama daerah yang ditulis Kiai Abi Fadhal.
Ternyata beberapa tokoh yang saya kira dulu tidak ada bukti kehidupannya, saya temukan makamnya. Ya makam adalah salah satu bukti otentik jika seseorang pernah hidup, terutama bagi orang Islam. Beberapa kasus saya menggunakan analisis toponim, dan langkah saya seperti “dituntun”. Meskipun juga ada kasus yang sampai sekarang belum berhasil saya pecahkan.
Tapi saya yakin, tugas kesejarahan itu juga seperti puzzle, harus ada upaya berkesinambungan untuk merawat kesejarahan. Kita sebagai santri tidak diajari untuk mengkritisi secara frontal terhadap sesuatu yang mungkin pada saat itu tidak masuk akal bagi kita.
Seperti kesenjangan pemahaman kita terhadap kitab bermuatan sejarah yang ada di pesantren. Pembuktian secara ilmiah juga penting untuk terus dilakukan, agar kekeliraun dalam pemahaman sejarah (yang penuh proyeksi ini) bisa diluruskan.
Kita kesulitan untuk mengikuti rumus rasionalitas subjektif dalam membaca sejarah kita. Subjektif yang di belakangnya terdapat banyak latar belakang seperti pola pikir lokal sulit kita cari dan pahami metodenya. Jangan-jangan gembar-gembor rasionalitas subjektif sejatinya menanggalkan “kedirian” kita pada nilai-nilai lokal kita sendiri, dan menggantinya dengan subjektifitas dari alam pikiran yang berasal dari negeri antah-berantah.
Penulis adalah Santri Peminat Sejarah Islam Nusantara