Oleh: Nila Zuhriah
“One is not born, but rather becomes, women”
Sebuah penggalan dari buku Le Deuxième Sexe atau The Second Sex karya Simone De Beauvoir. Penggalan tersebut menampakkan keyakinan Beauvoir bahwa perempuan sebenarnya tidak dilahirkan, melainkan dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi seorang perempuan. Penggalan ini juga menunjukkan bahwa posisi perempuan tidak lebih dari sekadar makhluk sekunder, Beauvoir menyebutnya sebagai Liyan/The Other. Perempuan dalam hidupnya tidak memiliki hak atas tubuhnya, terpenjara dan terdefinisi oleh pemikiran-pemikiran laki-laki.
Definisi perempuan idaman bagi sebagian besar orang adalah mereka yang mau menggadaikan kebebasannya demi sebuah institusi bernama ‘pernikahan’ yang menawarkan kenyamanan dan kebahagiaan. Kemudian, perempuan diharuskan membayar balik dengan suatu komitmen bernama ‘kesetiaan’. Saat perempuan melahirkan, bayinya akan menjadi siksaan besar yang menjadikan perempuan tidak lebih dari sekadar objek, terdefinisi dan terpenjara. Begitu kurang lebih penjelasan Beauvoir mengenai domestifikasi perempuan.
Terkesan sedikit melebih-lebihkan ya, tapi mari kita renungkan kembali.
Perempuan saat di rumah ditugaskan membuat kopi, namun saat ‘membuat kopi’ menjadi sebuah profesi mengapa malah didominasi oleh laki-laki? Kenapa hayo?
Muncul jawaban, hal tersebut dikarenakan kodrat perempuan adalah melayani suami dan mengurus keperluan rumah tangga, sedangkan kodrat laki-laki sebagai suami adalah mencari nafkah. Baik, sayangnya kita tidak berdebat perihal kodrat, melainkan perihal keadilan pembagian kerja sehingga dapat menciptakan lingkungan yang saling membahagiakan.
Domestifikasi perempuan menjadi salah satu faktor penyebab melanggengnya kekerasan seksual. Perempuan yang pekerjaannya hanya di danah domestik dan tidak menghasilkan materi ditempatkan sebagai makhluk kedua atau the other, yang keberadaannya didominasi oleh laki-laki. Hanya karena laki-laki bekerja dan menghasilkan materi. Kondisi tersebut menciptakan relasi kuasa dan kemudian berlanjut menjadi praktik kekerasan.
Persoalan lain, beberapa perempuan yang berhasil masuk ke dalam profesi ‘membuat kopi’ mengalami hal yang tidak menyenangkan; body shaming hingga cat calling.
Fakta tersebut membuktikan pendapat Beauvoir bahwa perempuan memang tidak dilahirkan, perempuan eksistensinya didefinisikan oleh budaya patriarki, perempuan dibanding-bandingkan dan diadu domba dengan perempuan lain.
“Coba bermake up seperti si A, dia lebih baik”
Atau
“Kamu paham teori feminis, tapi kok kamu suka selfie dan suka pakai make up”
Atau
“Kamu perempuan, nggak baik ngopi sampai malam begini”
Pasti sering to kalian mendengar ujaran di atas atau malah kalian yang sering melontarkan ujaran tersebut. Namun, pernahkah kalian bertanya, apakah ujaran-ujaran di atas dibutuhkan perempuan? Izinkan saya sebagai perempuan menjawabnya. Perempuan tidak membutuhkan ujaran-ujaran di atas, perempuan adalah makhluk utuh yang bebas menentukan pilihan hidupnya, tentunya dengan sadar dan bertanggung jawab atas segala resiko. Ujaran di atas menunjukkan bahwa perempuan tidak lebih dari sekadar objek yang keberadaannya patut didefinisikan, dikomentari, dilihat dan dihakimi sekenanya.
Tidak hanya sering mendapatkan ujaran buruk, ada sekat yang begitu nyata di warung kopi antara laki-laki dan perempuan, menu yang dipesan misalnya.
Perempuan identik dengan minuman yang manis-manis, namun saat seorang perempuan memesan kopi arabika atau robusta, bahkan sampai paham macam-macam kopi dan cara pengolahannya, malah dianggap ‘gahar’.
Saya rasa kita tidak sedang hidup di jaman kuno, perempuan berdiskusi di warung kopi sudah menjadi hal yang biasa, menggenggam kopi di tangan kanan dan menggenggam buku di tangan kiri. Keberadaan perempuan di warung kopi saya yakini merupakan metafora atas kesetaraan laki-laki dan perempuan. Namun nyatanya keyakinan saya salah, bila ditelisik lebih dalam, masih terdapat banyak sekali penindasan-penindasan maupun pendeskriminasian yang masif.
Sudahlah, mau sampai kapan kita terjebak dalam pemikiran kuno semacam patriarki. Mari hidup sebagai manusia yang memanusiakan siapa saja, laki-laki maupun perempuan.
Sepertinya cukup, saya tidak akan menutup tulisan ini dengan kesimpulan-kesimpulan melainkan pertanyaan-pertanyaan (namanya juga refleksi).
Sanggupkan kita menganggap keberadaan perempuan bukan hanya karena keperempuanannya, melainkan karena kemanusiaannya?
Sanggupkah kita berhenti mendefinisikan perempuan dan mengganggap perempuan sebagai makhluk yang utuh?
Sanggupkah kita menjadi manusia?
“I am too intelligent, too demanding, and too resourceful for anyone to be able to take charge of me entirely. No one knows me or loves me completely. I have only myself” – Simone De Beauvoir
Penulis adalah pegiat Student Crisis Center (SCC) Malang