Oleh: R.H. Authonul Muther
“Para penyair itu pertama-tama harus digantung dulu, lalu diratapi di tiang gantungan.”
– Orhan Pamuk, The Red-Haired Woman
“Oedipus, pembunuh ayahnya, suami ibunya, Oedipus penafsir teka-teki Sphinx! Apa gerangan makna rangkaian misterius ulah takdir bagi kita? Ada keyakinan primitif yang populer, terutama di Persia, bahwa seorang penganut Magi yang bijaksana hanya lahir dari hasil inses.”
– Nietzsche, Lahirnya Tragedi
Kita akan memulai dengan frasa pembukaan novel Pamuk yang dimulai dengan mengutip tiga pengarang besar dari Barat dan Timur, Nietzsche, Sophocles, dan Ferdowsi. Kutipan tentang mitologi dunia di dalam novel Pamuk ini, menjadi titik tumpu alur cerita. Pamuk mengutip aforisme Nietzsche di dalam Lahirnya Tragedi yang menjadi pembahasan paling mendasar dalam tulisan ini, “…Apa gerangan makna rangkaian misterius ulah takdir bagi kita?” (garis miring oleh saya). Dari sini, kita akan mulai menyusuri labirin takdir yang tak bisa kita pilih, anehnya, ia menuntut dan menuntun jalan hidup manusia. Realitas, rangkaian acak yang misterius? Dan apakah manusia, seperti yang dikatakan Nietzsche, kita bukan saja menerima, kita harus mencintai takdir yang tak bisa kita ubah?
Pamuk bukan pembaca yang dangkal, ia mampu melihat Nietzsche secara rigid dan mendetail. Seperti yang kita tahu, Nietzsche menyampaikan pemikirannya melalui aforisme-aforisme pendek yang, mau tak mau, menuntut kita untuk mencari lebih dari yang bisa kita baca dari tulisan-tulisan Sang Filsuf Besar. Dalam pencarian seorang Pamuk atas satu aforisme itu, dalam kelanjutan kalimat dalam Lahirnya Tragedi, “…Ada keyakinan primitif yang populer, terutama di Persia, bahwa seorang penganut Magi yang bijaksana hanya lahir dari hasil inses.” Entah, apa karena perjumpaan dengan salah satu aforisme Nietzsche itu, Pamuk menemukan karya Ferdowsi seorang penyair Persia, Shahnameh, yang mirip dengan cerita Oedipus Rex karya Sophocles. Apa pun bentuk dan hasil pembacaan yang ditemukan Pamuk atas Nietzsche, kita akan mencoba menyusuri pemikiran yang coba Pamuk tawarkan di salah satu novelnya ini, tentu, tanpa meninggalkan apa yang mendasarinya, apa yang mempengaruhinya.
Tentang Mitologi, Oedipus dan Shahnameh
Sejarah dibentuk oleh cerita dan kepercayaan yang muncul-lenyap. Cerita itu berubah mengikuti bagaimana manusia memahami apa yang memasuki kesadarannya, dan tentu, ia tak selesai. Ketika sejarah dibentuk pada momen cerita yang muncul-lenyap itulah, sejarah dibentuk oleh kehilangan. Suatu peristiwa sejarah harus menghilang, sebelum yang lain datang di sana, harus ada yang berganti dan dikorbankan, dengan demikian sejarah akan mengalami pembaharuan. Dari sini, sejarah tak akan mencapai titik akhir yang teleologis, sejarah tak punya tujuan pasti. Pamuk mungkin menduga, memang sejarah muncul-lenyap, tapi cerita manusia tetaplah cerita, cerita selalu tentang bagaimana manusia memahami apa yang memasuki kesadarannya. Itulah mengapa, cerita selalu relevan dalam perjalanan panjang umat manusia.
Cerita tetap dikabarkan karena ada hal yang relevan, maka dari itu ia dikenang dan diceritakan, seberubah apapun sejarah dan pemahaman manusia. Karena, kesadaran manusia tak mampu untuk menolak sebuah cerita yang mempunyai makna mendalam. Pemahaman akan dunia itu dan menjadi sebuah cerita, salah satunya adalah mitologi. Mitologi, harus muncul sebagai yang agung dan gigantik, mitologi hadir sebagai jawaban atas keresahan asal-usul, ia hadir untuk menjawab yang-arche. Dari situ manusia dapat memahami statusnya sebagai manusia, sekaligus ia selalu membutuhkan yang gigantik untuk menutup keresahannya. Lantas, apakah mitologi, yang manusia modern anggap hanya sebagai bualan, memang benar-benar tak masuk akal? Mitologi hanyalah omong kosong? Pamuk mungkin tak setuju, itulah mengapa buku ini hadir.
Sejarah selalu melahirkan mitos. Dimulai dari India, Mesir, Yunani Kuno, Abad Pertengahan, Modern, dan saat ini, era teknologi, semua gerak sejarah itu selalu memiliki mitos, dalam arti, selalu ada kekuatan adiluhung di sana yang harus kita percayai, jika tak mempercayainya kita akan berada pada lubang celaka dan kegelapan. Meskipun, kepercayaan dari zaman ke zaman itu bergerak tak pasti, yang gigantik belum selesai disingkap. Dari dewa-dewi, patung-patung, tuhan-tuhan, sampai ke rasio yang membawa kita pada peradaban yang memiliki kemampuan teknologi. Kita, pada abad ini, akhirnya pun memiliki mitos, diri kita percaya akan kekuatan diri kita sendiri, kita percaya pada manusia, dan pada akhirnya, kita memitoskan diri kita sendiri. Harari, menyebut momen itu sebagai Homo Deus, manusia yang menjelma kekuatan dewa. Dan proyek manusia, yang telah menghasilkan antroposentris semacam itu, menemui kegagalannya. Seperti sejarah yang telah memberi kita kabar, kita sedang membunuh diri kita sendiri: krisis ekologi, kemiskinan, overpopulasi, dst. Terdapat semacam takdir yang mengutuk sejarah umat manusia. Pencerahan Barat dengan rasio itu, kini berubah kegelapan.
Pamuk, menyadari itu. Pertama, mitos tak selalu tentang dewa-dewi, ada yang lebih dalam dari hanya sekedar legenda khayali. Pamuk mungkin tak sekedar melihat mitos Oedipus sebagai cerita suram sang anak yang menikahi ibunya sendiri. Jika kita dengan cermat membaca karya Sophocles, yakni Oedipus Rex itu, ia tak sedang meracau, ia sedang berbicara tentang perenungan filosofis tentang takdir yang tak bisa kita hindari. Diam-diam, ada suatu kehendak yang tak pernah bisa kita rengkuh di sana, anehnya, ia menuntut dan menentukan diri kita. Lantas, apakah ada suatu kutukan yang sedang menubuh dalam diri manusia dan gerak sejarah? Sebelum kita bergerak lebih jauh menulusur tentang takdir itu, kita akan mengutip secara lengkap catatan Pamuk tentang drama tragik Oedipus karya Sophocles di novel ini:
…Sebagai putra Laius, raja Kota Thebes di Yunani, Oedipus menjadi pewaris takhta. Begitu penting dirinya sehingga bahkan ketika dia masih berada di dalam kandungan ibunya, seorang peramal ditanyai tentang masa depannya. Namun, justru ramalan menakutkan yang diucapkannya… Di sini aku berhenti sejenak dan, persis seperti Tuan Mahmut, memusatkan pandangan pada hantu-hantu yang memenuhi layer TV.
Menurut ramalan yang mengerikan ini, Pangeran Oedipus ditakdirkan membunuh ayahnya, menikahi ibunya sendiri, dan merebut takhta ayahnya. Karena ketakutan dengan kemungkinan kejadian itu, Lauis memerintahkan putranya dibawa pergi begitu dilahirkan, lalu ditinggalkan di hutan agar mati.
Bayi yang ditinggalkan itu diselamatkan oleh seorang wanita dari istana kerajaan tetangga yang menemukannya di antara pepohonan. Segala sesuatu pada bayi itu menunjukkan bahwa dia keturunan bangsawan, jadi bahkan di negeri lain ini, dia dibesarkan sebagai pangeran oleh raja dan ratu yang tidak punya anak. Namun, begitu dewasa, dia mulai merasa dirinya bukan bagian negeri itu. Penasaran mengapa bisa begitu, dia pun bertanya kepada seorang peramal tentang masa depannya dan mendengar cerita mengerikan yang sama lagi: Dewa menghendaki Oedipus membunuh ayahnya dan tidur dengan ibunya sendiri. Agar terbebas dari takdir yang buruk itu, Oedipus segera melarikan diri.
Dia tiba di Thebes, tanpa mengetahui bahwa itu negeri asalnya; dan saat menyeberangi jembatan, dia terlibat pertengkaran tanpa ujung dengan seorang pria tua. Pria tua itu ternyata ayah kandungnya, Laius…
Mereka bergumul dengan sengit sampai akhirnya Oedipus menang, membunuh ayahnya dengan tebasan pedang. “Tentu saja dia tidak tahu orang yang baru saja dibunuhnya adalah ayahnya sendiri,” kataku, memandang lurus kea rah Tuan Mahmut…
Tak seorang pun melihat Oedipus membunuh ayahnya. Tak seorang pun di Thebes menuduhnya dalam pembunuhan itu…Namun, saat itu kota sedang menghadapi masalah lain: sesosok monster dengan kepala wanita, bertubuh singa, dengan sayap raksasa menghancurkan panen di mana-mana dan membunuh setiap orang lewat yang tidak mampu menjawab teka-tekinya. Jadi, ketika berhasil memecahkan teka-teki sangat sulit yang dikemukakan oleh Sphinx itu, Oedipus diangkat sebagai pahlawan karena bisa membebaskan kota dari bencana dan diangkat sebagai raja baru di Thebes. Begitulah caranya dia akhirnya mengawini ratu, ibunya sendiri, yang tidak mengetahui bahwa Oedipus anaknya.
“Oedipus menikah dengan ibunya.” Aku mengulang. “mereka punya empat anak. Aku temukan cerita itu di sebuah buku.” Aku menambahkan sehingga Tuan Mahmut tidak akan menganggap aku hanya mengarang sendiri certia seram itu.
“Bertahun-tahun kemudian, wabah melanda kota tempat Oedipus hidup Bahagia Bersama istri dan anak-anaknya. “Wabah itu membinasakan sebagian besar kota, dan semua warga yang ketakutan mengirim utusan kepada para dewa untuk mengetahui apa yang mereka kehendaki. ‘Kalau ingin terbebas dari bencana’, kata para dewa, ‘kalian harus menemukan dan mengusir pembunuh raja sebelumnya. Kalua itu bisa dilakukan, bencana akan berhenti!’”
Tanpa mengetahui bahwa pria tua yang bertengkar dengannya kemudian terbunuh di jembatan itu adalah ayahnya sekaligus raja di Thebes, Oedipus segera memerintahkan untuk menemukan si pembunuh. Bahkan, dia sendiri berusaha lebih keras daripada semua orang lain untuk menemukannya. Semakin lama mencari, semakin dekat dia dengan kebenaran bahwa dia membunuh ayahnya sendiri. Yang lebih buruk lagi adalah mengetahui dia mengawini ibunya.
“ketika menyadari telah tidur dengan ibunya, Oedipus mencungkil matanya sendiri,” kataku. “Lalu, dia meninggalkan kota menuju dunia yang lain.” (Garis miring dan cetak tebal oleh saya).
Dari Oedipus Rex karya Sophocles itu, kita tahu, adalah manusia melakukan sesuatu—dalam berbagai cara—agar suatu hal buruk terhindari, alih-alih terhindar, ia hanya nama lain dari menetapkan dan mempercepat hal buruk itu terjadi—kita tak bisa mengubah takdir yang tak bisa diubah. Dengan kata lain, kita benar-benar tak tahu konsekuensi utuh dari setiap tindak-pilihan yang sedang kita lakukan. Toh pun kita tahu, itu hanya satu kemungkinan dari ketakberhinggan kemungkinan lain. Dari situ, manusia mendapat kutukan, ia jauh dari kata kejelasan dan terang masa depan, yang-akan-datang selalu kabur dan suram. Kita menghindari X, berupaya dengan segala cara, tapi naas, X itu pun memang terjadi. Kita tak dapat mensistematiskan realitas?
Kita sejenak melepas pengaruh dewa-dewi maupun hal-hal lain adiluhung di sana, dan menyusuri ‘ketetapan’, melepas takdir dari ulah para dewa. Kita akan memulai dari: setiap subjek mempunyai pilihan eksistensialnya masing-masing, dan tentu, kita sebagai individu tak pernah tahu pilihan apa yang akan masing-masing dari mereka pilih, Yang-Lain itu pilih. Dari situ, jika sepanjang sejarah epistemologi dalam filsafat membahas apa yang kita ketahui, di sini, kita akan membahas tentang apa yang tidak kita ketahui. Suatu konsekuensi filosofis mendalam dari Oedipus Rex karya Sophocles. Di titik itu, ketidaktahuan membentuk ketetapan, jika ditarik lebih radikal, realitas disusun oleh ‘ketidaktahuan’ manusia.
Ketidaktahuan dalam diri manusia justru yang membentuk realitas. Tentu, sebelum manusia menyusuri jalan terjal untuk mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana sesuatu itu. Sejarah panjang penemuan hanya memungkinkan dalam domain ketidaktahuan dalam diri manusia. Tepat di titik seperti itu, seluruh struktur proyek ‘intelek’ manusia dibangun—meski ia akan selalu runtuh karena ada yang tidak diketahui oleh manusia di seberang sana. Dan ketidaktahuan berkaitan dengan ketetapan, perjumpaan dengan orang lain atau bahkan penemuan saintifik misal. Keduanya berasal dari suatu hal yang sebelumnya tak diketahui, ambil saja contoh perjumpaan dengan orang lain, perjumpaan itu selalu tak terencana, yang sebab itu pula ‘ketetapan’ kita dibentuk, seseorang tak terkenali yang berada di depan Anda, apakah Anda tahu ia akan di sana? Tentu saja tidak. Teman Anda, apakah Anda tahu sebelumnya akan berjumpa, berkenalan, berteman dengannya? Tentu saja tidak. Bahkan kita tidak mengetahui di rahim mana kita lahir. Dari situ kita tahu, ‘ketidaktahuan’ adalah titik tolak, menjelma ketetapan, membentuk misteri.
Realitas bekerja dalam susunan tak terkendali seperti itu, setiap manusia mempunyai ketetapan yang tak dapat direncanakannya. Kita akan menyusurinya pelan-pelan, bahwa takdir yang terkandung dalam Oedipus itu memang benar-benar menyeramkan, adalah kita, yang dibentuk oleh sesuatu yang tidak kita ketahui. Sebelum ilmuwan menjadi ilmuwan, ia tak tahu ia kan menjadi ilmuwan, toh pun bercita-cita, ia tahu, itu hanya ‘kemungkinan’. Setelah menjadi ilmuwan, sebelum ilmuwan meneliti sebuah kejadian kimiawi dalam tubuh misalnya, ia wajib tak tahu apa yang terjadi, pengamatan selalu membutuhkan ‘kesadaran kosong’ yang siap untuk diisi. Setelah mengetahui reaksi kimiawi dalam tubuh, sang ilmuwan tidak tahu hal dan konsekuensi praktis yang akan terjadi, lalu kejadian seterusnya, dan seterusnya. Dari situ kita bisa menarik suatu konsekuensi filosofis penting, bahwa untuk ‘mengetahui X’ kita harus ‘tidak mengetahui X’. Seperti hal yang klise dan remeh, tetapi ketika kita dengan serius memikirkan tentang ketidaktahuan, kita akan dihadapkan pada kebuntuan, suatu momen aporetik. Bukankah kesadaran bekerja dalam nuansa seperti itu? Untuk mengetahui Oedipus adalah yang mengawini ibunya, ia wajib tidak tahu bahwa sang ayah lah yang ia bunuh, dan ia menjemput takdir menyeramkannya. Tak hanya Oedipus, kita semua mempunyai takdir menyeramkan, meski berbeda. Tak heran, setiap zaman selalu mempunyai cerita menyeramkannya masing-masing, seperti yang kita tahu, karena ‘ketidaktahuan’ menentukan ‘ketetapan’. Pada abad-abad terdahulu siapa yang tahu, bahwa teknologi memunculkan krisis ekologi, overpopulasi, dll? Dan apakah kita dapat, dengan pasti, meramal masa depan planet ini? Kutukan apa lagi di zaman mendatang? Apa lagi yang dapat kita ketahui, dari ketidaktahuan kita?
Pertanyaan terakhir itu sangatlah penting, apa yang dapat kita ketahui dari ‘ketidaktahuan’. Sikap untuk mengatasi ketidaktahuan itu, manusia mencari suatu kemungkinan-kemungkinan, dan menyusun hitungan logis, kemungkinan mana yang akan muncul lebih besar—di matematika ia disebut ‘peluang’ atau probabilitas. Tapi dalam kehidupan konkret keseharian, kemungkinan, peluang itu nyaris tak terbatas, dan setiap kemungkinan yang dipertimbangkan akal nyaris mempunyai peluang yang sama. Dengan kata lain, kita nyaris mustahil menentukan dengan pasti masa depan kita sendiri—kita berjumpa dan dibentuk oleh sesuatu yang selalu luput kita rencanakan. Nietzsche barangkali benar, kita harus menerima takdir yang tak bisa kita ubah, kita harus menerima kengerian realitas yang menghadirkan kemungkinan tak terbatas dan ketidaktahuan yang, disadari atau tidak, selalu menjadi sahabat manusia. Nietzsche juga menantang kita, apa gerangan makna rangkaian misterius takdir yang kita telusuri di sini. Dari situ, kita menemukan ketidaktahuan yang sangat terasa dalam diri manusia. Sophocles dengan anggun menyisipkan ‘rangkaian misterius takdir’ dalam drama tragik Oedipus Rexnya itu, dan Pamuk, melukiskan takdir konsekuensi dari ‘rangkaian acak yang misterius’ itu dengan kebaruan sana-sini, tak heran The Herald menyebut karya ini sebagai kisah Oedipus versi modern.
Selain Oedipus, cerita tentang takdir menyeramkan juga datang dari seorang pengarang Persia Klasik sekitar tahun 940-1020 M, yakni Abdul-Qasim Ferdowsi, karyanya berjudul Shahnameh, (The Book of Kings, Buku Raja-Raja). Sebelum Dante Alighieri membuat puisi terpanjang dalam sejarah penulisan, yakni dalam magnum opusnya Komedi Ilahiah (La Divina Comedia)—yang bercerita tentang perjalanannya di Neraka, Purgatorio (tempat di antara Neraka dan Surga), dan Surga—Ferdowsi lebih dulu membuat puisi sebanyak 50.000 bait dalam karyanya Shahnameh itu yang, merupakan salah satu puisi terpanjang di dunia selain karya Dante. Pamuk mengutip cerita itu, tapi berbeda dengan Oedipus, kali ini tentang ayah (yang bernama Rostam) yang membunuh anaknya sendiri (bernama Sohrab), melalui gengsi imperium yang selalu melancarkan peperangan. Tentu saja, mirip dengan cerita Oedipus, terdapat ‘ketidaktahuan’ dalam diri sang anak dan sang ayah.
Bagi Ferdowsi, hidup adalah puisi, suatu hentakan realitas terhadap kesadaran yang membuat manusia mampu mendapat pemenuhan makna keberadaannya. Realitas yang tak dapat ditentukan dalam gerak kausal, membuat puisi menjadi hal yang paling purba untuk menyampaikan kejadian-kejadian, bahkan sampai saat ini. Apa yang Ferdowsi pahami tentang dunia, dituangkan ke dalam sajak-sajak yang padat dan kita tak dapat membacanya dalam sekali pandang. Kita akan melihat ‘ketetapan’ paling pasti dalam diri manusia melalui sajak Ferdowsi dalam Shahnameh, “Seperti itu lah jalan yang harus kau tinggalkan. Seluruh manusia harus mati, dan bersedih hati atas kematian adalah kesia-siaan (Such is the passing that you must leave. All men must die, and it is vain to grieve).”
Dibanding dengan ketetapan-ketetapan lain, kematian adalah suatu ketetapan yang tak bisa digugat, kemungkinan yang paling pasti, semua manusia harus mati. Kata ‘harus’, adalah suatu yang bersifat mutlak dan pasti terjadi. Suatu ketetapan yang tak bisa ditolak oleh semua manusia, alam semesta selalu menghendaki semuanya harus bergerak, tak ada yang diam, bahwa yang organik harus berubah bentuk ke materi lain—yang terindra semuanya fana, diam dan tetap adalah kemustahilan pertama. Tapi ada hal lain dari bait itu, bahwa alam semesta pada suatu masa dan zaman tertentu, menuntut manusia harus ‘tiada’, itu tampak pada kalimat “seluruh manusia harus mati.” Dan syair lain dari Ferdowsi menggetarkan sekaligus relevan untuk kematian manusia, “Aku menjadi sangat gugup karena tak berada di sekitar tempat kehidupanku (I get very nervous about not being around the office).” Ferdowsi tampaknya ingin mengatakan: siapa yang tak gigil-gugup dengan kematian, ia jauh dari kebenaran. Subagio Sastrowardoyo pun dengan anggun menyampaikan ini dalam puisinya berjudul Salam Kepada Heidegger:
Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.
Kata-kata tersembul dari alam lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam arus
mimpi. Biarlah terungkap sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.
Masih adakah tersisa pengalaman
yang harus terdengar dalam bunyi?
Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara
Pun pada akhirnya, Oedipus pun akan pasti mati, begitu pula Sohrab, begitu pula kita semua. Kita akan menjeda tulisan ini dengan merenungi kematian, perenungan yang sungguh melelahkan, mengerikan, dan penuh kejutan-kejutan tak terduga. Kita sedang memasuki ruang-ruang ketidaktahuan mutlak bagaimana ‘rasanya’ hilangnya kesadaran, tiadanya mode eksistensi. Kita akan kembali sekali lagi, bahwa takdir, ketetapan dalam diri manusia, selalu dibentuk oleh ‘ketidaktahuan’. Rangkaian misterius yang diungkapkan Nietzsche itu tetap misteri, dengan itu kita hanya bisa berharap. Mitologi tak selamanya salah, Pamuk benar, manusia modern kehilangan identitasnya sebagai manusia yang menghuni bumi sebagai rumahnya sendiri. Ia menggali sumur hingga kering, meski tahu, ia selalu membutuhkan air, ia terus menebang pohon, meski tahu, ia selalu membutuhkan oksigen. Nahas, manusia dikutuk untuk tidak-tahu. Kita kutip Ferdowsi untuk merenungi kengerian manusia dan menjadi ‘akhir’ tulisan ini tentang takdir, mengenai ketetapan—saya sendiri sudah tak kuat merenungi kengerian, abyssalitas semacam itu berlama-lama, karena kebenaran harus dibayar dengan darah, paling kecil dengan air mata:
“Kehidupan kita berlalu seperti angin, dan mengapa kebijaksanaan manusia harus bersedih hati untuk mengetahui bahwa mereka harus mati? Sang Yudas sedang berbunga mekar, wajah cantik yang bercahaya meredup, dan kegelapan mengambil tempatnya. (Our lives pass from us like the wind, and why Should wise men grieve to know that they must die? The Judas blossom fades, the lovely face Of light is dimmed, and darkness takes its place).” – Ferdowsi, Shahnameh.
Penulis adalah pegiat filsafat di Lingkar Studi Filsafat Discourse Malang
Sumber foto: https://thebookishtales.wordpress.com/2018/05/29/the-red-haired-woman-by-orhan-pamuk-review/