Oleh: Syaikhu Aliya Rahman
Tokoh intelektual NU satu ini, namanya mungkin terdengar asing di telinga warga Nahdliyin dan circle aktivis milenial saat ini. Tidak heran, pria flamboyan yang dijuluki “oposan dua zaman” tersebut hingga kini nyawanya lenyap bersama sejarah dan gagasannya dalam memperjuangkan iktikad besarnya untuk terus menggaungkan adanya reformasi politik yang ia anggap kacau dan korup saat itu. Dialah Subchan Zaenuri Echsan. Lebih familiar dipanggil Subchan ZE. Tokoh muda NU, inspirator suburnya gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Sosok figur politik yang tajam, pemberontak dan berani melawan dua rezim yang berkuasa di masa hidupnya.
Namanya sempat dielu-elukan hingga digadang-gadang menjadi penyambung lidah rakyat yang membahayakan rezim. Single Fighter yang konsisten memberi pressure keras kepada penguasa untuk tidak melupakan pembangunan sumber daya di sektor ekonomi, me-restart praktik pemerintahan yang lebih demokratis, dan pemberantasan korupsi yang semakin menjalar menjelang runtuhnya Orde Lama.
Suaranya tidak lenyap dan terus lantang mengkritik pemerintah yang menurutnya menyalahi demokrasi hingga memicu munculnya keretakan hubungan dengan Soeharto dan kroni-kroninya, loh, kok bisa? Populis sekali. padahal Kita tahu dulu mereka sempat berdansa bersama dalam mensukseskan cita-cita Orba yang dianggapnya akan menjadi orde revolusioner dan berperan sebagai antithesis Orde lama yang menurutnya telah gagal mewujudkan poin-poin di atas.
Namun semesta berkata lain, perjuangan Subchan terhenti, setelah ia dikabarkan meninggal dalam insiden kecelakan lalu lintas di Km. 70-100 di luar kota Makkah, Arab Saudi pada 21 Januari 1973, pada usia 43 tahun. ketika ia sedang menunaikan ibadah Haji. Desas-desus kematian Sang Maestro sampai sekarang masih tabu, dan meninggalkan banyak spekulasi miring bagi sebagian sahabat dekat dan aktivis kala itu.
Ini menjadi penting, karena di samping ada yang beranggapan Subchan mati karena murni kecelakaan, tapi tidak sedikit juga yang meyakini terdapat motif tersembunyi di balik kecelakaan misterius mantan Ketua IV PBNU tersebut.
Setelah membaca beberapa sumber tentang Subchan, muncul beberapa pertanyaan penting yang terus mengganjal di jidat saya, Apakah benar subchan dibunuh?, peristiwa politik apa yang membuntuti kematiannya?, dan apakah ada motif De-Subchanisasi yang dilakukan oleh rezim Orba?.
Memang, kematian Subchan menjadi misteri hingga saat ini, kasus tersebut mandeg dan berangsur-angsur hilang terkubur oleh debu sejarah tanpa ada proses penyelidikan lebih lanjut. Di tulisan ini, saya mencoba mengulas kembali peristiwa-peristiwa politik sebelum Subchan meninggal, sebab itu sempat menjadi sebuah kecurigaan yang mendasar dari kalangan aktivis di masa itu.
Bercerai Dengan Soeharto
Dua tahun sebelum Subchan wafat tepatnya pasca Pemilu 1971, ia sempat melontarkan komentar pedas di forum Muktamar NU, yang berbunyi; “Pemilu pertama di era Orde Baru itu bukan general election tapi election for general!” Pemilu 1971 bukan pemilihan umum, tapi pemilihan untuk memilih jenderal!. pesan sarkastis level dewa tersebut memang bukan tanpa alasan, sebenarnya jarak antara keduanya makin lebar setelah Subchan terus-terusan membombardir kritikan dan mencoba membongkar motif Soeharto yang menurutnya tidak mencerminkan adanya kontestasi perpolitikan secara demokratis di Pemilu 1971.
Kala itu Subchan menjadi “Panglima Partai NU” dalam pemilu pertama di era Orde Baru. Pak Harto menjadi “Komandan tak bermain” Golkar dan militer yang mengatur segalanya dari balik layar. Pada pemilu 1971, partai-partai yang menjadi kontestan pemilu tidak menghadapi Golkar, tetapi militer. Babinsa, Koramil dan seterusnya, mereka menggunakan tekanan dan ancaman fisik untuk memuluskan jalan bagi kemenangan Golkar.
Kontra Dalam Prioritas Pembangunan
Jelas Subchan punya jasa besar pada naiknya Lord Harto sebagai Presiden menggantikan Bung Karno. Karena itu awalnya banyak masyarakat berasumsi hubungan antara keduanya akan langgeng. Tapi “Bulan Madu” itu tidak bertahan lama hingga berujung talak. Kira-kira tahun 1968, “kongsi” kedua tokoh yang masing-masing dipandang mewakili kalangan sipil dan militer pecah. Antara lain hal itu disebabkan perbedaan prioritas pembangunan di era kepemimpinan Jenderal Soeharto. Subchan menghendaki bidang politik yang lebih dahulu dibangun, politik yang sehat, hingga terbentuknya Negara yang demokratis. Bila sudah demikian, politik mampu melakukan kontrol terhadap jalannya pembangunan ekonomi. Namun Pak Harto memilih sebaliknya. Ia ingin ekonomi dinomorsatukan. Kalau rakyat sudah kenyang dan makmur, baru nanti politiknya dibangun.
Saat itu tahun 1973 Subchan menjadi tokoh politik dari kalangan sipil yang sering menonjol di publik. Ia punya banyak pendukung, baik di lingkungan NU maupun di luarnya. Pertemuannya demikian luas melampaui batas suku, agama, golongan, dan ras.
Kritiknya pada pemerintahan Jenderal Soeharto saat itu keras dan tajam. Dan ia tak malu-malu serta takut melontarkan cuitannya dengan gamblang. Ia memang konfrontatif terhadap penguasa. Salah satunya lewat “Buku Putih MPR” yang terbit setelah pelantikan anggota DPR/MPR hasil Pemilu 1971. Berisi semacam penilaian kritis lembaga tertinggi Negara terhadap penyelenggaraan Negara yang dinilai tidak lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Pemerintah juga dianggap tidak menegakkan demokrasi dan rule of low. Banyak politisi Golkar berspekulasi terbitnya “Buku Putih” dianggap tidak lepas dari “tangan” Subchan. Ia bahkan dianggap “otak” di belakang penerbitan buku putih itu. Dan penerbitan buku tersebut dipandang salah satu tonggak perlawanannya terhadap kekuasaan yang otoriter.
Kecelakaan Itu Sabotase?
Sebenarnya, di tulisan ini saya tidak mau berasumsi ria, saya tidak bisa membayangkan betapa terpukulnya orang-orang yang berjuang bersama Subchan mendengar kabar itu. Tidak terkecuali Aswani Latief. Mantan Ketua PP IPNU itu menceritakan secara gamblang, mengapa para aktivis saat itu menduga keras ada ketidakberesan dalam kecelakaan yang merenggut nyawa Subchan?.
Bahkan Asnawi pribadi sempat menduga kuat itu semua adalah sabotase!. Sabotase untuk “menghilangkan” peluang berkembangnya Subchan menjadi tokoh yang semakin penting di pentas nasional (De-Subchanisasi). Saat itu Pak Harto tengah mengkonsolidasi kekuasaanya yang ditopang militer. Kehadiran Subchan kemungkinan besar mengusik pihak-pihak tertentu karena sikapnya yang kritis. Ia seakan “menjadi kerikil penghambat” yang harus dilempar jauh-jauh.
Hubungan Subchan Dengan Amir Machmud
Saat musim haji di mana Subchan mengalami kecelakaan, Jenderal Amir Machmud juga berada di Tanah Suci. Ia datang ke sana sebagai jamaah haji. Dan masyarakat Indonesia mengetahui bahwa sebelumnya antara Subchan dan Amir terbentang lebar sebuah konfrontasi politik tajam dan keras, terutama menyangkut Pemilu 1971.
Hanya itulah yang diketahui publik selama ini. Adakah hubungan kausalitas antara kehadiran Amir dengan kecelakaan Subchan? Bagi Asnawi, tidaklah arif dan tepat bila ada yang memvonis bahwa kecelakaan yang menimpa Subchan adalah sebuah rekayasa dari lawan politiknya sebelum ada penyelidikan lebih lanjut yang jujur dan objektif tentunya.
Munculnya dugaan dan isu salah satu tokoh penting angkatan 66 itu dibunuh, terus hidup hingga saat ini. Sulit dihindarkan selama tak ada penyelidikan objektif guna menguak misteri itu. Saya tidak yakin kasus itu terpecahkan dan selesai, apalagi sekarang kita hidup di zaman banyak pemuda bercita-cita menjadi player PUBG, pastinya bodo amat dengan peristiwa tragis yang telah berlalu puluhan tahun itu?.
Penulis adalah traveler dan maniak fIlm
Sumber Foto: https://www.nu.or.id/post/read/77250/subhan-ze-orang-luar-di-lingkaran-nu
Referensi:
- Arief Mudatsir Mandan (editor), Subchan Z.E: Sang Maestro, Politisi Intelektual dari Kalangan NU Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2001.
- Adakah Misteri Dibalik Meninggalnya Subchan ZE. Risalah NU Edisi 44.
- Miftahul Farid, Reformasi Politik dan Pembangunan Ekonomi (Pokok-Pokok Pemikiran Subchan ZE. Yogyakarta: Institut Repository UIN Sunan Kalijaga, 2011.
- Aan Anshari, Kemenangan Faksi Militan; Jejak Kelam Elit Nahdlatul Ulama’ Akhir September-Oktober 1965 (Vol 14, No 1). Banjarmasin: Khazanah Jurnal Studi Islam dan Humaniora UIN Antasari, 2016.
- Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila. Yogyakarta: LKiS, 2010.