Oleh: R.H. Authonul Muther
“Malam itu engkus bermimpi, ia duduk di kursi di sebuah taman bunga. Ia berbaju biru, kepalanya memakai karangan penuh bunga. Dari jauh terdengar sayup-sayup memanggil, “Hai Si Sipilis bermahkota vagina!” Tiba-tiba ia terbangun, ia melihat sekeliling, ternyata masih di kamar, di atas ranjang. Di sampingnya, pacarnya masih mendengkur kelelahan.”
–
Dari Ranjang Ke Ranjang
Aceng Kuswara, atau akrab dipanggil Engkus, adalah suatu contoh gamblang sifat instingtif purba dalam diri manusia. Ia mendobrak nilai kesepakatan sosial, bahkan si Engkus itu, menanggalkan otoritas moral agama. Dari sini, seksualitas menjadi titik sentral, ia menjadi sesuatu yang menjadi titik penting dalam diri manusia—setabu apa pun itu. Jika novelet Dari Ranjang Ke Ranjang karya Fathul H. Panatapraja berangkat dari realitas konkret, seperti yang dia katakan sendiri dalam pengatar noveletnya ini, maka Engkus meninggalkan persoalan besar, seksualitas menjadi lebih enigmatis daripada sebelumnya.
Sastra harus mampu mengangkat kehidupan riil manusia, seks berada di dalam dimensi tak terhindarkan kehidupan riil seperti itu. Maka, sastra harus mampu mengungkit dimensi seksualitas ke permukaan, sastrawan harus mampu mengambil resiko. Fathul menceburkan diri ke dalam resiko itu, seperti yang ia katakan, “seks sebagai panglima.” Saya harus berkata lebih jauh, “sastra harus mampu menjadi pemimpin panglima.” Saya teringat Goenawan Mohamad, dalam bukunya “Seks, Sastra, Kita.” Ia membagi tiga jenis tipologi sastra yang berurusan dengan seks. Pertama, karya yang berusaha mempersoalkan seks tapi tak berani menggambarkannya. Kedua, karya yang mempersoalkan dan menggambarkan seks, meneriakkannya dengan lantang, sekaligus menggambarkan erotisme ‘berlebihan’. Ketiga, karya yang menjelaskan dan menggambarkan seks secara wajar sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Jika mengikuti tipologi Goenawan Mohamad, meski penuh dengan dilema, karya Fathul ini berada dalam yang ketiga, meskipun perjalanan seks dan alur ceritanya, sedikit sekali mengandung misteri dan kejutan; ia berteriak lantang dan tokohnya hiper-erotik, tetapi alur yang disampaikan landai—karya ini berteriak dalam ruangan yang kedap suara. Meski demikian, karya ini mampu meninggalkan persoalan besar yang tak terhindarkan: persoalan seks dan sastra, hingga persoalan enigma seksualitas dalam diri manusia. Karya ini berbobot, meski membutuhkan polesan sana-sini dengan sentuhan alur dan tikungan cerita yang mengejutkan, yang penuh misteri, sekaligus tak terburu-buru. Dengan kata lain, karya ini harus bermetamorfosis dari novelet menjadi novel.
Sekilas Tentang Enigma Seksualitas Engkus
Meski klasik, Freud mungkin tetap relevan jika berbicara tentang seksualitas, tentang libido yang sifatnya instingtif itu. Hasrat seksualitas, selalu mengarah pada energi yang menyenangkan dan harus dilepaskan, di situ, kegelapan dan kehidupan manusia berada di dalam yang-erotik. Dari hasrat seksual, manusia menjadi mungkin untuk hidup dan meneruskan kehidupan biologis—dengan segala dimensi psikis yang melingkupinya. Dari sini kita memulai berbicara tentang Engkus yang, tokoh utama dalam novelet karya Fathul H. Panatapraja (FHP), tak mampu, bahkan tak ada sistem ‘penekanan’ hasrat untuk hasrat libido yang ia miliki: agama yang menjadi sistem moral, dalam diri Engkus tak relevan, ia tak membutuhkan operasi sistem kesadaran moral. Mungkinkah, sistem moral agama, seperti yang dikatakan Freud, hanyalah contoh gangguan jiwa (neurotik) yang Engkus bisa sembuh dari itu?
Freud terkenal dengan tripartite dalam diri manusia, id, superego dan ego yang terkenal itu. Id, merupakan bagian insting primitif manusia yang chaos, tak terdikte, agresif, dorongan-dorongan seksual yang meluap-luap, dan wilayah memori-memori yang terpendam. Id bekerja dalam ‘prinsip kesenangan’ (pleasure principle) yang imun terhadap pengaruh luar, selogis apa pun pengaruh itu. Superego, merupakan sebuah konvensi moralitas dalam kebudayaan tertentu, “kamu harus begini tidak boleh begitu”. Suatu sistem yang mengekang hasrat seksualitas yang bergejolak di dalam alam bawah sadar. Ego, adalah jembatan, suatu penghubung antara id dan superego. Ego, beroperasi dalam suatu sense of realism, sebagai jembatan antara insting primitif libidinal dengan aspirasi moral dari superego. Tripartit ini, bekerja dalam hubungan timbal balik, yang tak terpisahkan.
Kita di sini akan berfokus lebih khusus pada superego yang terjadi dalam diri Engkus. Superego merefleksikan terjadinya internalisasi nilai moral, terjadi dalam nilai-nilai yang diajarkan orang tua pada anak. Superego mendamba kesempurnaan, bersifat menertibkan dan mengorganisasi hal-hal yang tak terkontrol seperti hasrat libidinal di struktur id, hukuman untuk pelanggaran nilai-nilai itu adalah dalam bentuk perasaan bersalah. Pembentukan superego terjadi pada masa phallic, sekitar 3-5 tahun, relasi yang bersifat membimbing dan mempengaruhi. Orang tua menginginkan untuk apa dan menjadi apa kelak sang anak, dari sini, internalisasi nilai-nilai itu berjalan. Inilah jalan pertama untuk menganalisis Engkus yang autobirahi ketika menjalin hubungan dengan perempuan, mengapa superego menjadi penting.
Seperti dialog pada awal novelet karya FHP, “Beh, kelak anak kita jadi apa ya?”, “Sudahlah Mak, tak elok kita merancang kehendak Tuhan. Biarlah Engkus tumbuh dengan Bahagia. Tak perlu kita bebani dia dengan mimpi-mimpi.” (cetak tebal oleh saya). Dialog ini menjadi penting, yakni ketika usia si Engkus 3-5 tahun atau pada masa ia TK. Karena nilai internalisasi itu tak berjalan, superego tak terbentuk ‘secara utuh’, superego tak sempurna. Engkus dibiarkan begitu saja menurut jalan hidup yang ia pilih, sebuah kepercayaan mutlak. Masa penting masa kanak-kanak yang mungkin, kelak berpengaruh kuat pada usia dewasa si Engkus.
Engkus ereksi pertama kali di dekapan adik sepupunya, Uni. Sebelumnya, Engkus, di rumah Mang Acep terpaksa menonton film porno, pengalaman dan ingatan itu tak main-main, sebuah rangsang libidinal yang dapat meledak suatu saat. Seperti anak TK lainnya, keesokan harinya, ia hanya bermain, kali ini dengan si Uni, dekapan maut, celananya basah ketika usia sebocah itu. Kejadian seperti itu tak diperhitungkan oleh Freud, kejadian tak terduga yang membawa pada pengalaman psikis manusia. Kejutan tak terduga peristiwa keseharian semacam itu sangat menentukan struktur psikis dalam pemikiran Freud. Keseharian itu, mau tak mau, memasuki ruang refleksi ontologis yang memungkinkan pengalaman unik kepribadian subjek, perkembangan itu sudah jauh setelah Freud, Jacques Lacan dan Maurice Merleau-Ponty salah satu contoh yang dapat diberi tempat untuk refleksi psikoanalisis-ontologis tersebut, di sini kita tak akan menyinggung panjang lebar hal itu.
Apakah superego dapat berkembang? Ya serentak dengan pengalaman nilai-nilai moral yang berkembang dalam struktur sosial. Meski demikian, dalam kasus si Engkus, masa kanak-kanak itu, superego yang tak utuh itu ditambah ledakan libidinal ketika anak-anak, membuat nilai-nilai moral itu tak begitu relevan.
Salah satu problem penting di novelet ini, adalah ketika Engkus mondok di salah satu pesantren. Seperti yang kita tahu, pesantren sangatlah ketat dalam pemberian nilai-nilai moral. Anehnya, Engkus juga turut bagian dalam tahfidzul Qur’an, menghafal ayat kitab suci. Di dalam religiusitas tersebut, terdapat dunia berbalik di belakangnya, ia melakukan hubungan seksual dengan satu kekasih dan kekasih yang lainnya. Meski saya sangsi, FHP, menjelaskan Engkus sudah melakukan persetubuhan dengan 72 perempuan. Permasalahan yang pelik, kini seksualitas, dalam novelet FHP, menjadi enigma megah yang harus didudukkan sebagai persoalan.
Mengapa sistem moral di pesantren yang terkenal ketat itu, dalam diri Engkus sia-sia? Freud mungkin sedikit bisa menjawab, ia menekankan bahwa, ego atau kesadaran manusia, sebagian besar dibentuk dalam ketaksadaran, yakni pada masa awal kehidupan manusia. Seperti yang kita tahu, pengalaman erotik masa kecil dan superego yang tak sempurna itu menentukan mengapa, Engkus selalu ‘auto-birahi’—meski analisis ini tidak absolut. Dengan kata lain, id tak terkontrol karena lemahnya sistem superego. Dari sini, psikoanalisis dapat merombak ulang kejadian yang tak lazim pada masa dewasa dan kembali pada masa awal anak-anak. Sayangnya, dalam novelet ini, FHP tak memberikan penjelasan rigid atas masa awal kehidupan si Engkus, data yang kita dapatkan sangatlah sedikit, pelacakan lebih jauh hanya menjadi dugaan-dugaan yang tak tepat. Meski demikian, dari proses dialog singkat antara ibu dan ayah Engkus di permulaan novelet ini mampu membuka gerbang yang cukup substansial. Selepas itu, novelet ini hanya menceritakan hubungan seksual dengan banyak perempuan dalam perjalanan hidup Engkus.
Dalam Three Essays on the Theory of Sexuality, Freud menegaskan bahwa seksualitas akan selamanya ditandai dengan auto-erotisisme yang diakibatkan oleh aktifitas pragenital libido. Tapi yang perlu ditekankan, Freud dalam esai ini, dengan tegas membedakan antara seksualitas dan genital, seksualitas tak hanya berkaitan dengan alat kelamin, tapi lebih luas daripada itu, termasuk fungsi mendapatkan prinsip kesenangan dari tubuh. Kunci itu berada pada masa pragenital yang menentukan auto-erotik kehidupan manusia, Engkus memasuki wilayah gelap itu, yang tragik, ia tak bisa memilih ‘peristiwa’ apapun pada masa anak-anak. Setidaknya pintu persoalan megah enigma seksualitas itu sedikit terbuka, pembacaan panjang dibutuhkan untuk menelusuri labirin gelap yang sedikit cahaya—Freud membawa lentera di labirin itu.
Menguak sisi gelap Engkus tak sederhana, tulisan ini mengambil resiko, psikoanalisis selalu rawan bahkan fatal dalam karya sastra. Tapi jalan terjal itu tak bisa dihindari, bahkan mungkin satu-satunya cara untuk menganalisis buku kecil ini. Dari sini, kita semua adalah Engkus yang memiliki jalan berbeda, meski jumlah tubuh sebagai ‘objek’ seksual tak sama. Kita semua erotik, meski minus hiper seperti Engkus. Tanpa yang erotik, masih bertahan hidupkah manusia? Tanpa eros dan libido itu, masih adakah inovasi-inovasi manusia? Barangkali dunia akan berhenti. Dari sini, barangkali yang dikatakan Fathul benar, seks sebagai panglima menjadi relevan, ia harus tak tabu, karena ia hal yang mendasar. Anehnya, apakah sejarah akan terus mengutuk yang ‘primordial’ sebagai tabu dan tak senonoh?
Penulis adalah pegiat filsafat di Lingkar Studi Filsafat Discourse Malang
Daftar Rujukan
Goenawan Mohamad. 1941. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan.
Hanskung. 2016. Ateisme Sigmund Freud. Yogyakarta: Labirin.
Paul Laurent. 2000. Freud and Nietzsche. London: Continuum.
Sigmund Freud. 1920. Beyond the Pleasure Principle. SE.
Sigmund Freud. 2011. Three Essays on the Theory of Sexuality. Martino Books
Sigmund Freud. 2016. A General Introduction to Psychoanalysis. Yogyakarta: Indoliterasi.