Oleh: Raflidila Azhar
Pagelaran Miss Universe 2019 telah usai dan para juri sepakat bahwa “Power of Unity Crown” disematkan kepada wakil dari Negara Afrika Selatan bernama Zozibini Tunzi. Kompetisi yang dianggap sebagai simbol kecantikan dunia itu kembali memilih seorang peserta dari “Kulit Hitam” setelah sebelumnya telah dimenangkan oleh Leila Lopes yang berasal dari Negara Angola pada tahun 2011. Seperti dilansir cnnindonesia.com, Zozibini Tunzi menjadi orang kulit hitam ketiga yang memenangi kompetisi tersebut.
Ada yang menarik dari kemenangan yang diraih oleh Tunzi pada pagelaran kontes kecantikan dunia. Wacana kecantikan yang acap kali diterima oleh masyarakat selalu kental relasi nya dengan kulit putih, rambut pirang dan hal-hal lain yang berhubungan dengan ras kaukasian. Wacana kecantikan yang dikonstruksi oleh, kebanyakan, media lewat iklan-iklan produk kecantikan (walaupun ada beberapa produk kecantikan yang tetap memadukan pluralitas ras dalam iklannya) yang muncul di televisi, internet dan lain-lain melanggengkan konstruksi kecantikan itu sendiri. Wacana yang ditumbuh-kembangkan oleh iklan-iklan produk kecantikan memaksa masyarakat, secara tidak sadar, untuk mengaminkan standarisasi yang digagas oleh para perusahaan produk kecantikan tersebut lewat media yang dikonsumsi masyarakat itu sendiri, dengan tujuan menguasai pasar tentunya.
Foucault (Kamahi, 2017 : 117-133) menyebutkan bahwa kekuasaan bukan suatu struktur atau institusi, melainkan merupakan istilah untuk menyebut situasi strategis yang kompleks dalam masyrakat. Lebih lanjut, Kekuasaan menurutnya mesti dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang memiliki ruang lingkup strategis. Maka dari itu, pertanyaan relevan yang dapat diajukan adalah bagaimana kekuasaan (dalam kasus ini adalah wacana kecantikan) beroperasi di tengah masyarakat yang di dalamnya terdapat jaringan antar kelompok-kelompok yang diisi oleh beragam individu.
Wacana kecantikan yang hadir dalam masyarakat selalu direpresentasikan selaras dengan bagaimana iklan-iklan produk kecantikan menumbuhkan citra kecantikan itu sendiri. Wacana kecantikan menjadikan kecantikan memiliki arti yang sempit serta universal. Hal tersebut diakibatkan karena Masyarakat, baik laki-laki atau perempuan, dibombardir dengan wacana-wacana kecantikan yang, secara tidak sadar, membentuk persepsi tunggal tentang kecantikan itu sendiri. Lewat media sebagai corongnya, doktrin wacana kecantikan yang dikonstruksi sedemikian rupa menguasai persepsi masyarakat akan kecantikan.
Persepsi yang telah terbentuk dijadikan masyarakat sebagai tolak ukur dan parahnya, masyarakat menilai bahwa apa-apa yang menjadi biner dari wacana kecantikan “pasar” yang telah berkuasa sebagai “tidak cantik”. Hasilnya, perempuan-perempuan yang tidak sesuai dengan tolak ukur yang menguasai masyarakat akan tersingkirkan dan merasa dirinya tidak cantik. Akibatnya, perempuan-perempuan yang merasa tidak cantik tadi, akan mengejar dan terus mengejar konsep atau konstruksi wacana kecantikan yang dijadikan tolak ukur sebelumnya. Karena hal-hal tersebut, dominasi wacana kecantikan bahwa “Cantik itu bla bla bla” berkuasa atas pola pikir masyarakat tentang cantik itu sendiri.
Jika ditelisik, pada dasarnya relasi kekuasaan tentang wacana kecantikan justru tak ubahnya sebagai “indikator abstrak” yang sejatinya tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Hal itu disebabkan faktor demografi dari masing-masing negara mempengaruhi manusia yang meninggali-nya. Hanya saja, ketika Slowbalization dan kepentingan-kepentingan pengusaha kosmetik, fashion, dan lain-lain semburat berkeliaran, konstruksi wacana kecantikan tunggal dimunculkan guna menjadi wacana produktif yang dapat terus-menerus menguasai wacana-wacana kecantikan pada masyarakat dunia. Alih-alih positif, justru wacana kecantikan tunggal tersebut merusak keberagaman ras dan etnis daripada manusia itu sendiri. Pada akhirnya hanya segelintir etnis dan ras yang “sesuai” dengan wacana kecantikan “pasar” yang dapat mengklaim dirinya sebagai “tercantik sejagat”.
Kemenangan (karena Miss Universe sebagai kompetisi kecantikan sejagat Zozibini Tunzi menjadi pendobrak bahwa kecantikan bukan semata-mata didominasi oleh kalangan tertentu. Anda boleh bilang jika kecantikan itu lahir dari attitude, atau biasanya orang-orang yang “ingin dikatakan bijak” mengatakan jika kecantikan yang muncul dari dalam (Inner Beauty) lebih penting ketimbang luarannya. Tetapi kenyataannya, dominasi wacana kecantikan “Putih seperti porselen, langsing seperti pohon pinang dan lain-lain” saat ini menjadi sebuah “barang dagang” yang laris manis serta tidak akan sepi peminat. “You’re beauty, just the way you are”, dan memang sejatinya perempuan bukan barang seni yang patut dinilai dari tekstur, warna, berat bahkan bentuk dari tubuhnya. Bernilai nya ia ketika dirinya menganggap kediriannya bernilai bukan karena bagaimana orang lain menilai. Ketika proses berpikir tersebut terjadi, saya ucapkan selamat. Anda adalah perempuan yang otentik.
Penulis adalah alumni Sastra Inggris UIN Malang