Oleh: Hanif Nanda Zakaria
Anda pernah mendengar Angry Birds? Permainan versi gawai ini pernah begitu populer. Cara mainnya sederhana. Dengan ketapel, Anda hanya perlu mengarahkan burung ke arah sasaran yaitu babi berwarna hijau.
Begitu populernya permainan itu hingga Rovio, pengembang permainan Angry Birds, membuat film yang diadaptasi dari permainan tersebut. Angry Birds Movie 1 rilis di tahun 2016, lalu dilanjutkan Angry Birds Movie 2 pada tahun 2019 ini.
Angry Birds Movie 1 bercerita tentang perseteruan antara burung dan babi hijau. Babi hijau mengincar telur-telur burung. Hal demikian, mau tak mau, membuat para burung memutar otak agar telur-telur yang dicuri oleh babi hijau bisa diambil lagi. Di akhir film, para burung berhasil mengambil telur-telur mereka dan mampu melanjutkan hidup mereka dengan tenang.
Sedangkan di film kedua, Angry Birds Movie 2 menyuguhkan kerjasama. Kerjasama antara dua kubu yang sebelumnya berseteru. Benar, burung dan babi hijau menjalin kerjasama.
Pasalnya, ada teror yang diarahkan dan menimpa pulau para babi hijau. Tak lama, teror yang sama menghantam pulau para burung. Demi mencari siapa pelakunya, burung dan babi hijau melakukan genjatan senjata, hingga ditemukannya pelaku teror tersebut.
Singkat cerita, mereka mengerahkan beragam sumber daya mereka. Para burung mencari sumber daya burung yang kompeten. Para babi hijau memberi dukungan lewat teknologi mereka. Mereka menyatukan semua itu dalam satu misi yang sama. Semacam film intelijen namun versi lucu dan menggemaskan.
Setelah mengintai sekian lama, mereka masuk ke kediaman pelaku teror. Ternyata pelaku teror tinggal di pulau yang amat dingin. Sang pelaku teror adalah elang berwarna ungu. Ia melancarkan teror karena iri dengan pulau burung dan babi hijau yang tropis. Ia bosan hidup di pulau yang dingin.
Sebelum teror terakhir dari elang ungu, datanglah burung elang dari pulau burung. Ia ingin menggagalkan teror terakhir itu. Ternyata, elang itu sudah mengenal si elang ungu. Ia tidak lain adalah tunangan dari elang ungu. Si elang ungu yang tahu kedatangan elang itu, awalnya keukeuh akan sikapnya. Ia ingin memberi teror pamungkas ke pulau burung dan babi hijau.
Pangkal dari konflik antar burung elang itu adalah kekecewaan. Kekecewaan elang ungu terhadap elang yang jadi tunangannya. Ia kecewa karena pada hari pernikahan, elang tak hadir dan meninggalkan elang ungu dalam kesendirian. Dibalut kekecawaan dan putus asa, elang ungu memutuskan hidup sendiri dan mengasingkan diri. Ia memilih hidup di pulau yang dingin.
Tak ingin pulau burung dan babi hijau hancur, si elang menyatakan permintaan maaf pada elang ungu. Ia menyesali perbuatannya yang telah lalu. Ia ingin agar elang ungu berdamai dengannya dan memulai hidup yang baru.
Dari cerita diatas, nampaknya rasa kecewa jadi eksploitasi kekinian. Ia jadi komoditas yang menyeruak ke permukaan. Ia ingin tampil lagi untuk kesekian kalinya.
Anda pasti melihat Didi Kempot viral lagi belakangan ini. Ia tampil dengan tembang-tembangnya yang khas. Tema tembang-tembangnya tak jauh dari duka lara dan nestapa. Duka lara karena ditinggal sang kekasih, nestapa karena cinta yang tak terbalas. Atau perpisahan dengan kekasih di sebuah tempat.
Rasa kecewa sedang menampakkan tajinya. Ia menyeruak karena terakumulasi sekian lama. Ia sedang menemukan momentumnya. Momentum untuk menyatakan pada dunia bahwa rasa kecewa benar ada.
Kiranya rasa kecewa jadi komoditas kekinian untuk dieksploitasi. Ia bisa jadi buku, cerita bahkan film. Atau lagu agar bisa dinyanyikan seantero jagad dunia. Nah, kira-kira rasa kecewa Anda akan mewujud menjadi apa?
Penulis adalah Penyuka Kopi
Sumber Foto: https://www.blibli.com/friends/blog/5-fakta-penting-film-angry-birds/