Dunia Digital dalam Seni

Oleh: Syarif Shadow

Dalam bukunya yang masyhur, yang terbit tahun 1994, Nicolas Negroponte, teknoevangelis  itu menulis bahwa pada awalnya pertemuan seni dan teknologi digital sama‐sama saling melemahkan satu sama lain.  Seperti merica Jalapino dalam saus Prancis.  Namun di pertemuan berikutnya seni dan teknologi digital seperti menjadi kawan akrab, kawan diskusi yang asyik. Pertemuan itu kemudian selalu memunculkan form seni baru yang barangkali tidak ditemukan di masa sebelumnya.  Teknologi digital juga seolah menggugah apa yang lampau menjadi hadir kembali, misalnya saja cara berkarya ala Duchamp yang membubuhkan kumis pada cetakan Monalisa. Teknis ini kini menjadi sehari‐hari bahkan bisa jadi telah menjadi standar gurauan anak remaja di sosial media macam Facebook, Twitter atau Whatsapp. Kita dengan mudahnya menemukan citraaan‐citraan yang telah “dimutilasi” dan disusun sedemikian rupa hingga menjadi citra baru. Citraan yang kita kenal dengan sebutan meme. Seni digital memang memiliki karakter mudah melakukan mutasi dan pengubahan digital hingga tingkat yang paling sempurna. Bahkan saking mudahnya melakukan mutasi dan rekayasa digital, secara praktis teknologi digital ini telah dipakai untuk pelbagai keperluan termasuk keperluan pencitraan dalam sebuah proses kampanye pemilihan mulai dari tingkat desa hingga pilihan anggota dewan dan presiden. 

Teknologi digital dalam seni memang tak hanya melahirkan itu saja, teknologi digital dalam seni juga melahirkan proyek menggambar dengan kode yang dipraktikkan oleh Casey Reas dan Ben Fray dan Juga Joshua Davis serta masih banyak nama lagi. Casey Reas dan Ben Fray  melahirkan software opensource yaitu Processing yang diklaim sebagai software untuk seniman, obsesi awalnya adalah menggambar dengan code. Sedangkan Joshua Davis membuat hasil olahan citra digitalnya itu tidak bisa dicetak. Joshua Davis bahkan dengan terang menyatakan bahwa siapa yang mencoba mencetak file hasil olahannya pasti akan bermasalah dengan printer, karena printer tersebut tidak bisa membaca pecahan garis yang sangat jamak. Apa yang dilakukan oleh Joshua Davis adalah upaya agar karya yang dihasilkannya tidak berakhir dalam bentuk karya cetak, namun ia tetap mempertahankan agar hasil karyanya itu tetap dipajang dalam bentuk display digitalnya. Joshua Davis bersama Brendan Hall juga menciptakan Library HYPE Frameworks yang dilakukan dengan menggunakan bahasa actionscript untuk program Adobe Flash. Library ini dibagikan secara open source untuk pengguna berbasis actionscript.  

Sedangkan di wilayah digital painting  barangkali bisa dikatakan sebagai aliran tersendiri dan memiliki perkembangan yang mandiri pula. Obsesi perupaan dalam digital painting ini barangkali bisa dipersamakan dengan obsesi seni di awal modern yang menitikberatkan pada pokok kemiripan atas obyek yang dipindahkan ke dalam kanvas digital. Obsesi ini juga didukung oleh pengembang perangkat lunak macam Adobe Photoshop atau Corel Painter juga Gimp (untuk open source). Ketiga software ini jika kita membukanya, syarat dengan pelbagai fitur yang memang dikhususkan untuk melukis naturalis. Kendati di kemudian hari juga mulai bermunculan plug‐in, atau library untuk jenis kuas maupun kanvas yang beragam mengikuti teknis kuasan Van Gogh, Monet, bahkan Seurat. Kumpulan library ini biasanya disebut dengan Artist Pack. Dari perkembangan jenis ini kita bisa mengenal beberapa nama seperti Matt Dixon, Lynda Bergvist serta Melani Delon. Ketiga digital artis ini barangkali bisa dipakai sebagai contoh seniman yang secara intens menggunakan digital painting sebagai pokok medianya. Kendati sama‐sama menggunakan Adobe Photoshop atau Corel Painter, mereka juga melahirkan kecenderungan gaya yang tersendiri. Matt Dixon misalnya dianggap sebagai digital painter yang paling sering menunjukkan hasil karyanya yang terkesan “oil painting”. Sedangkan Lynda lebih banyak melukis style fairy teknis perupaannyapun mendukung tema pokok yang digambarkannya. Melani lebih banyak menggarap detail‐detail rumit, mulai hiasan rambut, draperi baju hingga ukiran pada benda yang digambarnya dengan amat rinci. Sementara dipenggunaan perangkat lunak 3D. Max Edwin Wahyudi, salah satu seniman digital Indonesia juga banyak menghasilkan karya‐karya realistik yaitu wajah artis Korea Song Hye Kyo. Max Edwin Wahyudi berhasil memukau dengan photorealistic renderingnya. Di pelbagai forum dunia 3D, tutorialnya kerap dijadikan rujukan rutin artis 3D di berbagai belahan dunia.

Apa yang membedakan perkebangan seni rupa dulu dan sekarang? Tentu saja jawaban naifnya adalah medianya. Namun sesungguhnya yang menarik adalah perbedaan masa perkembanganya. Dalam dunia rupa lama perkembangannya dari fase ke fase aliran. Perubahan pandangan ini diikuti atau bisa juga disebut mengikuti perkembangan pemikiran yang terjadi pada masanya. Misalnya saja realisme yang memutus perupaan mitologi dan penggambaran tema‐tema biblikal. Menurut mereka    lukisan (seni) masa itu dianggap lampau dan menjauh dari kehidupan yang sedang berlangsung dan ditinggali. Demikian juga perkembangan corak lukis impresionis, kubis, ekspresionis serta abstrak. Sedangkan perkembangan dunia digital  boleh dibilang hampir bersamaa alias satu zaman. Apa yang dilakukan Ben Fry, Linda Bergvist, Joshua Davis  atau Max Edwin Wahyudi relatif bersamaan. Kebersamaan waktu ini tentu saja karena perkembangan dunia digital yang semakin marak dan mudah dijangkau. Di masa sebelumnya sesungguhnya upaya itu juga telah ada misalnya kemunculan foto Ratu Elizabeth, yang hadir bersama sama beberapa artis yang telah meninggal dalam satu frame foto. Di tahun   1986 Saneno Yuliman pernah menulis perihal seni komputer yang diselenggarakan oleh Pusilkom‐UI (Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia) yang diikuti oleh salah satu staf pengajar FSRD ITB Djoni Djuhari. Sanento dengan rinci menyebutkan soal kesan yang dihasilkan oleh komputer berupa kesan olesan cat serta guratan pastel. Kenyataanya teknis melukis sketchpad itu sudah ditemukan di Amerika sekitar tahun 1963 oleh Ivan Sutherland. Di tahun 1986 saya kira soal efek tangga juga masih belum dapat diatasi, artinya tulisan O, S dan W tampak buruk karena pixel saat itu masih masih menggunakan satu bit tiap pixelnya. Karena itu bisa dibayangka hasilnya jika dibandingan dengan saat ini.  Saat in jenis still image  bisa dikatakan telah selesai, karena itu hasil seni yang berbasis still image perupaannya sangat bagus. Sedangkan moving image sampai saat ini   masih terus berkembang baik dari sisi format maupun displaynya. Di bidang moving image terutama dalam bidang 3D animasi, kini mulai marak jenis rendering artis pack, sejenis artist pack dalam digital painting. Jenis ini hingga kini masih terus dikembangkan terutama oleh Pixar. Beberapa waktu lalu Pixar merilis moving image dalam style rendering sapuan cat air.

Dunia seni digital juga merambah bidang seni interaktif di bidang ini ada nama Golan Levin, Aaron Koblin, Miltos Manetas, Arpana Rao. Levin banyak bereksperimen dan membuat karya karya interaktif baik yang berbasis sensor    kamera maupun sensor suara. Bahkan beberapa seniman juga memanfaatkan media sosial sebagai bagian dalam karyanya, yang memungkinkan semua orang dapat berinteraksi tanpa dibatasi oleh ruang fisik. Karya macam ini barangkali juga tidak bisa ditemukan di masa yang lampau.Tidak hanya berhenti disitu saja, teknologi digital juga melahirkan apa yang disebut dengan Machine Vision Algorithm, yaitu sebuah mesin yang berbasis algoritma, mesin ini memiliki kemampuan memilih karya yang dianggap paling kreatif. Mesin itu dilengkapi dengan 62 ribu data gambar, kemudian mesin itu bekerja untuk memilih karya yang dianggap paling kreatif. Prosesnya melakukan sejenis pensortiran, berdasarkan kemiripan. Hasilnya karya Scream Edvard Munch oleh mesin tersebut dianggap karya paling kreatif , karena dianggap tidak ada yang memiliki kemiripan dengan karya lain di masa‐masa sebelumnya. Hasil percobaan ini baru dirilis sekitar tanggal 10 Juni yang lalu oleh Ahmed Elgamal dan Babak Shaleh, mahasiswa Universitas Rutgers, New Jersey. Mesin ini menunjukan bahwa dunia seni tidak hanya diperkaya oleh media yang hanya dapat digunakan untuk membuat karya, namun teknologi digital juga memberikan kemungkinan bagi cara “kurasi” atau penilaian karya yang relatif baru.

Penulis adalah Kurator Seni Rupa dan Creative Media Developer

Sumber Foto: https://www.edvardmunch.org/the-scream.jsp

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top