Oleh: Moh. Zalhairi
Kiai Haji Abdurrahman Wahid, semasa hidup akrab disapa Gus Dur, tak habis-habis diperbincangkan. Ia hadir di ruang akademik, komunitas, hingga banyak kesusastraan kontemporer. Akibatnya, kita merasa begitu dekat, seolah sedang bergaul, bertatap muka, bahkan bercengkrama. Singkat kata, Gus Dur belum mati. Ia masih hidup bahkan akan terus hidup di kemudian hari.
Pertanyaannya, apa yang memungkinkan hal itu terjadi? Saya kira, tidak lepas dari warisan yang ia tinggalkan. Warisan pemikiran dan segala laku hidup yang didedikasikan bagi agama, nusa, dan bangsa. Walhasil, Gus Dur menjelma menjadi puzzle yang terus dibongkar dan disusun kembali, diperdebatkan dan diapresiasi, hingga menginspirasi banyak kalangan. Gus Dur telah mewarnai ruang diskursus kita. Banyak diskusi telah diadakan, berkali-kali seminar pernah diselenggarakan, bahkan bertumpuk buku sudah ditulis. Rasanya itu belum cukup. Gus Dur belum habis.
Ahmad Suaedy dikenal dekat dengan keluarga almarhum. Bahkan ia cukup akrab dengan Presiden Republik Indonesia ke-4 ini. Pengalaman personal tersebut menginspirasi dirinya untuk membangkitkan kembali Gus Dur melalui sebuah karya berjudul Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka (2018). Sebuah penelusuran atas jejak yang ditinggalkan cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam upaya menghadapi tuntutan Aceh dan Papua merdeka. Buku ini awalnya merupakan disertasi ketika penulis menempuh program doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Seiring dengan ramainya kembali kasus Papua pasca pengepungan asrama mahasiswa di Surabaya tanggal 16 Agustus 2019 lalu, buku ini menarik untuk diperbincangkan.
Kasus Papua memang tak kunjung usai. Sama seperti Gus Dur yang tak henti-henti memenuhi jagat diskursus kita. Sejak dikatakan menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), kasus Papua belum final. Berbagai perdebatan bermunculan. Hasilnya, wacana tentang Papua merdeka terus memberi warna dalam konteks kebangsaan kita. Pertanyaan seputar sejarah integrasi Papua, arah pembangunan, hingga pendekatan kebijakan terus menyeruak. Gus Dur tentu tak dapat mengelak dari itu semua. Lebih-lebih, dirinya sempat menjabat sebagai presiden. Apalagi waktu itu, ia berada pada situasi yang sulit. Indonesia dalam transisi demokratisasi pasca Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan melalui aksi massa 1998. Dalam posisinya waktu itu, Gus Dur menempuh beberapa kebijakan, termasuk dalam kasus tuntutan Aceh dan Papua merdeka. Inilah yang coba diangkat dan diungkap oleh Ahmad Suaedy.
Sebelum masuk dalam role model yang ditempuh oleh Gus Dur seperti dipaparkan Suaedy, ada baiknya kita simak bagaimana perlakuan Orde Baru (Orba) terhadap Aceh dan Papua selama kurang lebih 32 tahun lamanya. Ini akan menjadi gambaran awal bagaimana Gus Dur mendekorasi ulang pemerintahannya yang singkat, khususnya mengenai gerakan tuntutan pemisahan diri di beberapa wilayah Indonesia. Sejak merebut kekuasaan dari Soekarno, memanfaatkan kemelut peristiwa 1965, Soeharto sebagai penguasa rezim Orba mengambil kebijakan sentralistik (state centric) dengan memanfaatkan peran aparatus represif negara. Sehingga, Orba juga dikenal sangat militeristik.
Model kebijakan yang ditempuh oleh Soeharto berimbas pada menguatnya tuntutan merdeka di beberapa wilayah Indonesia. Bukannya melakukan evaluasi kritis, Soeharto malah menempuh jalur represif terhadap gerakan tersebut, di samping terus mengeksploitasi sumber daya. Ini adalah persoalan serius, karena model kebijakan semacam itu rawan memakan korban dari rakyat. Dengan kata lain, kebijakan Orba sangat predatoris. Ia tak dapat membabat habis ilalang, tanpa mencari akar masalahnya.
Tengok saja apa yang dilakukan Orba terhadap Timor Timur, Aceh, dan Papua. Saya masih ingat sewaktu menempuh mata kuliah Pendidikan Pancasila dulu. Di tengah perkuliahan, tetiba teman saya bercerita tentang bagaimana perlakuan kejam militer terhadap salah seorang keluarganya. Ia sendiri sampai tak kuasa menahan tangis. Itu adalah satu di antara sekian perlakuan bengis yang terjadi. Apakah dengan bertindak represif dan mengabaikan akar masalah, kasus yang dialami Aceh, Timor Timur, dan Papua akan reda? Kenyataannya, Timor Timur lepas dan Papua terus bergejolak. Aceh baru bisa selesai tahun 2005 melalui perjanjian Helsinki.
Salah satu tantangan Gus Dur sewaktu ia menjabat sebagai Presiden Indonesia adalah mengubah pendekatan kebijakan pada masa Orde Baru dari state centric menjadi society centric. Jika pada model state centric negara cenderung memaksakan kehendaknya dan mengabaikan suara masyarakat, dalam model society centric justru sebaliknya. Suara dari warga sangat didorong. Pemerintah harus belajar mendengar dan membuka diri. Dengan kata lain model ini disebut juga model partisipatif. Maka, suara kelompok masyarakat sipil semacam kelompok adat akan sangat diharapkan dalam rangka mewujudkan kebijakan yang tepat arah. Termasuk kelompok masyarakat yang menghendaki merdeka sekalipun.
Dalam pengantarnya, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menyebut kelompok masyarakat yang ingin merdeka, seperti GAM dan OPM, diposisikan sebagai suara menuntut keadilan atas perlakuan negara selama ini. Mereka tidak dilabeli sebagai separatis karena leksikon itu berkonotasi negatif diidentikkan dengan pemberontakan dan musuh negara. Sayangnya, Suaedy sendiri di beberapa bagian bukunya masih menggunakan istilah yang sama. Untuk itu, Gus Dur mengubah cara pandang kita dengan menempatkan gerakan tersebut dalam konteks partisipasi warga negara.
Gerakan itu, dalam kehidupan berdemokrasi, tidak boleh diredam dengan cara represif. Ia harus dibiarkan bersuara. Di sini pemerintah harus mendengar. Sejalan dengan pernyataan Pramoedya dalam sebuah wawacara, jika gerakan seperti itu dihadapi dengan menakut-nakuti melalui mobilisasi aparatus represif negara, ditekan, dan ditindas, toh orang pada akhirnya akan bosan dengan rasa takutnya sendiri. Dan bukankah demokrasi menjadi mungkin dengan munculnya suara dari warga? Bagaimana kita mau menyebut negara ini demokratis jika kebijakan yang diterapkan bersifat memaksa?
Kristian Stokke (2018) menyebut bahwa istilah kewargaan meliputi empat hal. Di antaranya adalah keanggotaan, status legal, hak, dan partisipasi. Ke empat aspek itu menjadi satu kesatuan yang membentuk kewargaan. Ia jangan dipisah. Itulah sebabnya, Gus Dur sangat menghargai apa yang dilakukan oleh warga Papua dan Aceh yang menuntut merdeka. Gerakan itu diletakkan sebagai partisipasi warga sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
Dalam kerangka pemahaman seperti itu, Gus Dur mengedepankan cara-cara non militeristik menghadapi GAM dan OPM. Ia terlibat langsung dalam beberapa dialog yang pernah diadakan semasa dirinya menjabat presiden. Entah mengundang atau datang dan bertemu langsung dengan warga setempat, kelompok adat, dan pemuka agama, bahkan mendanai kongres Rakyat Papua ke-2 dan membiarkan bendera OPM dikibarkan. Langkah itu adalah cara Gus Dur berempati, mendengar, menghargai, dan mencari penyelesaian atas tuntutan warga.
Warisan Gus Dur di atas menjadi keniscayaan. Pendekatan top-down yang begitu dominan pada Orde Baru harus dibuang jauh-jauh. Mengapa? Jika itu tidak dilakukan maka bukan hanya Papua, wilayah lain juga berpotensi melakukan hal yang sama. Sayangnya, pemerintahan Gus Dur tidak bertahan lama. Ia dilengserkan paksa. Tapi, saya kira ia telah memberi contoh bagaimana kita harus bertindak.
Ironisnya akhir-akhir ini, suara warga kecenderungannya malah ditekan. Kalaupun mereka diajak bicara itu hanya formalitas. Ini terjadi bukan saja di pusat tapi juga di daerah. Mereka tak pernah benar-benar didengar. Justru pertemuan-pertemuan manipulatif itu dijadikan klaim pemerintah telah memenuhi prosedur dalam mengambil kebijakan. Inilah kelemahan model kebijakan prosedural seperti dikatakan Ardiyanto (2016). Dari Gus Dur kita harus belajar jika ingin persatuan bangsa tetap utuh. Pemerintah harus mengubah model kebijakan top-down yang rawan memakan korban, menggunakan cara-cara dialog damai dalam menyelesaikan kasus Papua, menghentikan kebijakan militeristik ala Orba, hentikan eksploitasi masyarakat dan lingkungan hidup di Papua, dan libatkan tokoh lokal dalam menentukan arah kebijakan pembangunan Papua dengan menghargai setinggi-tingginya nilai luhur masyarakat setempat.
Penulis adalah Aktivis Sosial dan Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta