Oleh: Moh. Zalhairi
Animal Farm, novel fenomenal yang ditulis oleh George Orwell ini sangat menarik dibaca. Perlu diketahui bahwa buku ini diresensi dari terjemahan Bakdi Soemanto (2015). Jauh sebelum itu, Mahbub Djunaidi sebenarnya telah menerjemahkan buku yang sama dengan judul Binatangisme. Yang membuat buku tersebut menarik adalah gaya penulisannya satir. Ia merupakan novel alegori yang ditulis pada tahun 1945, pasca Perang Dunia II. Menurut berbagai sumber, Orwell menulisnya sebagai bentuk sindiran sekaligus kritik terhadap Uni Soviet. Pasca Revolusi Oktober tahun 1917, kondisi penduduk setempat dianggap tidak lebih baik dibandingkan saat berada di bawah tirani Tsar. Sebab, Soviet waktu itu membangun kediktatoran di bawah Lenin lalu dilanjutkan oleh Stalin. Buku ini bahkan semakin menarik karena kedekatan kisah di dalamnya dengan kemelut kekuasaan di berbagai belahan dunia di mana penyalah gunaan kekuasaan sering bahkan terus saja berulang. Idealisme yang disuarakan oleh mereka sebelum memangku jabatan akhirnya luntur manakala empuknya kursi kekuasaan dengan beragam pernak-pernik di sekitarnya telah berhasil diduduki. Lantas, mimpi indah tentang kehidupan mendatang yang terlanjur dijanjikan pun ikut terlupakan. Kekuasaan ternyata tidak hanya menggiurkan namun juga begitu memabukkan.
Orwell memulai kisahnya dengan kemelut yang terjadi antara golongan manusia dan golongan binatang. Pada suatu malam Pak Jones sebagai pemilik sebuah peternakan baru saja memasuki rumah setelah menyambangi ternaknya. Tidak lama setelah itu, para binatang ternak yang terdiri dari berbagai jenis, datang berkumpul di satu tempat di area kandang. Seekor babi putih bernama Major dengan penuh kharisma naik ke sebuah panggung. Di depannya, binatang lain telah berkumpul. Di antara binatang tersebut, dialah yang paling tua. Sehingga, ia begitu dihormati. Kedatangan mereka berkumpul di sana bukan tanpa sebab. Hal itu diakibatkan oleh mimpi aneh Pak Major malam sebelumnya. Malam itu, ia ingin berpidato untuk menyampaikan mimpi yang dia alami.
Singkat cerita, Pak Major pun memulai pidatonya. Pertama-tama ia menyampaikan bahwa umurnya sudah tidak panjang lagi karena merasa telah termakan usia. Pidato heroik itu dilanjutkan dengan pesan bahwa apa yang mereka alami selama ini di Peternakan Manor milik Pak Jones adalah sebuah bentuk penjajahan, penindasan, dan perbudakan. Mereka kelaparan bukan karena kurangnya makanan dari alam. Mereka bekerja keras bukan untuk mereka sendiri melainkan untuk kemakmuran Pak Jones, sang pemilik peternakan semata. Bahkan binatang-binatang disembelih untuk dijual demi uang. Mereka mengalami hari-hari yang sebenarnya mengerikan. Pendek kata, mereka tidak mendapat kehidupan tentram, makmur, dan kedamaian.
Mendengar tuturan demikian, para binatang yang hadir malam itu terbawa amarah dan sekeliling peternakan riuh oleh teriakan-teriakan perlawanan. Pak Major akhirnya menutup pidato dengan menceritakan mimpi malam sebelumnya yang belum sempat ia utarakan. Ia berkata bahwa dalam mimpi itu tergambar masa depan suram dan berada di ambang kepunahan. Sang Major pun menyanyikan lagu perjuangan Binatang Inggris untuk menggelorakan semangat perlawanan terhadap manusia yang mereka tuduh telah berbuat keji terhadap golongan binatang.
Pasaca kejadian malam itu, para binatang bersiap melakukan pemberontakan. Dua ekor babi bernama Snowball dan Napoleon bertugas mengorganisasi massa dan memimpin massa melawan pemilik mereka. Akhirnya hari itu datang, pemberontakan terjadi, dan Pak Jones berhasil disingkirkan. Kandang tersebut berhasil mereka kuasai dan dijalankan sesuai dengan keinginan mereka. Namum siapa sangka, di sinilah kemelut besar berikutnya terjadi. Snowball dan Napoleon yang sejak awal sering berbeda pendapat akhirnya berselisih soal rencana pembangunan kandang kedepan. Napoleon yang licik dan oportunis menyingkirkan Snowball dan berhasil memonopoli kekuasaan. Dari sinilah nasib para binatang di Peternakan Manor yang berganti nama menjadi Peternakan Binatang kembali mengalami penindasan pasca pemberontakan. Napoleon membangun kekuasaannya dengan jalan militer memanfaatkan anjing-anjing penjaga dan rajin bersolek memanfaatkan politik kebudayaan. Ia menjadikan Muriel, si kambing putih dan Squearel, babi kecil gemuk, berperan sebagai propagandis. Napoleon pun berhasil menguasai dan menipu para binatang sekian lamanya.
Mula-mula, Napoleon masih terikat pesan dan jargon pemberontakan namun lama kelamaan, ia mulai tidak konsisten. Para binatang dipaksa bekerja keras dan lembur demi mimpi kebahagiaan yang dipropagandakan Napoleon. Mereka kekurangan makanan dan tidak punya waktu luang menikmati hidup. Mimpi kehidupan yang dijanjikan Napoleon tak kunjung datang. Snowball yang dianggap ancaman dipinggirkan dengan isu-isu yang tidak benar. Bahkan belakangan diketahui bahwa jargon ‘berkaki dua jahat dan berkaki empat baik’ yang selama ini menjadi simbol perjuangan dikhianati oleh Napoleon. Ia dipergoki tengah berpesta dengan golongan manusia untuk melakukan persekongkolan. Cerita dalam buku itu ditutup dengan kata yang cukup tajam dari Orwell. Ia berkisah bahwa para binatang yang memergoki Napoleon waktu itu berucap jika mereka tidak bisa lagi membedakan mana babi dan mana manusia. Babi dan manusia berperilaku sama saja.
***
Tulisan Orwell dalam buku ini lebih merupakan sebuah kritik. Kisah di dalamnya berakhir tragis menggambarkan kekejaman dan kelicikan pemimpin golongan binatang. Tidak ada kemunculan sosok yang benar-benar heroik dan berperan sebagai pemimpin yang diidolakan. Animal Farm tidak mewakili ide tentang seperti apa dan bagaimana kekuasaan yang ingin diwujudkan Orwell. Meskipun demikian, buku Animal Farm tersebut tetap merupakan sumbangan yang berharga seputar diskursus politik dan kekuasaan. Apalagi menurut saya kisah dalam buku itu, terlepas dari pengalaman pribadi penulis sendiri, begitu lekat dan akrab dengan peristiwa di negara kita. Kita disajikan tontonan di mana orang saling jegal demi kekuasaan. Banyak orang bergelimpangan kehilangan nyawa hanya karena dianggap sebagai ancaman. Lalu setiap hari citra-citra diproduksi sebatas sebagai imagologi demi membangun citra para politisi. Sebaliknya, kelaparan tak jua hilang. Justru jurang kesenjangan semakin curam. Hutang semakin ditumpuk. Aset negara terus digadaikan. Persoalan kemanusiaan tak lagi menjadi prioritas utama. Yang ada adalah nasionalisme chauvinis yang tidak lebih baik dari sikap bar-bar. Singkat kata, wellcome to Animal Farm.
Penulis adalah Aktivis Sosial dan Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta