Oleh: Trio Kurniawan
Rekonstruksi Nalar Manusia pada Era Post-Truth
“Internetisasi” segala macam aspek kehidupan manusia pada saat ini memiliki dampak yang cukup serius pada cara manusia dalam menerima kebenaran. Sebelum dunia dikepung oleh kekuatan internet, informasi mengenai pengetahuan merupakan hal yang sangat mahal dan sulit untuk ditemukan. Itulah sebabnya manusia pada masa sebelum internet berlomba-lomba mencari kebenaran pengetahuan tersebut dengan cara saling menguji dan mengkritisi. Manusia pada masa sebelum internet mengejar kebenaran pengetahuan sebagai sesuatu yang “mahal”.
Setelah internet hadir, bukan manusia yang mengejar informasi mengenai pengetahuan melainkan informasi tersebut yang “datang” kepada manusia. Penemuan informasi dan pengetahuan baru menjadi begitu instan dan mudah. Akibatnya, manusia cenderung abai dalam memilah-milah informasi tersebut. Nalar kritis manusia “dimandulkan” oleh segala macam kemudahan yang ditawarkan oleh internet. Apakah suatu informasi itu hoax ataupun benar tidak lagi menjadi perhatian manusia. Hal yang dipedulikan manusia berkaitan dengan informasi tersebut adalah seberapa jauh informasi tersebut viral dan dibicarakan oleh banyak orang.
Nalar kritis manusia harus ditegakkan lagi pada masa ini, terlebih ketika hoax berhasil memporak-porandakan banyak sendi kehidupan manusia. Rekonstruksi nalar manusia pada era post-truth pada dasarnya berkaitan dengan penggunaan lagi nalar kritis manusia untuk merumuskan kebenaran sejati. Nalar kritis ini dibangun dengan kemampuan manusia untuk bertanya dan memetakan informasi-informasi yang beredar di internet.
Rekonstruksi nalar kritis manusia ini juga berkaitan dengan cara manusia melihat internet, media sosial ataupun media massa online. Banyak orang merumuskan internet sebagai suatu realitas, atau di banyak kajian digunakan istilah hyper-reality. Akibatnya, banyak orang merasa bahwa media sosial online merupakan komunitas global di mana manusia berinteraksi dan juga saling membentuk persepsi. Meledaknya “bom isu” di media sosial terhadap satu persoalan akan membentuk persepsi publik dalam kesehariannya di luar internet karena manusia yang berselancar di media tersebut meyakini bahwa itulah yang benar terjadi.
Internet dan media sosial atau media online bukanlah realitas. Dalam perspektif Heideggerian,[1] semua hal tersebut hanyalah sarana yang membantu pekerjaan dan kehidupan manusia. Internet adalah teknologi yang sifatnya hanyalah “perpanjangan tangan” manusia. Tentu sangat lucu ketika hal yang sebatas “perpanjangan tangan” ini kemudian dianggap sebagai realitas.
Konsekuensinya, internet sebagai media paling “bombastis” untuk menyebarkan hoax ataupun informasi lainnya haruslah diletakkan sebagai salah satu sumber kebenaran pengetahuan. Informasi yang viral di internet bukanlah satu-satunya kebenaran. Karena itu informasi tersebut harus diuji kesahihannya.
Teori Kritis yang dirumuskan oleh Jürgen Habermas merupakan salah satu teori yang tepat digunakan dalam konteks ini. Bagaimana metodologinya? Informasi yang beredar di internet pertama-tama harus dideskripsikan dan diinterpretasikan dengan benar terlebih dahulu. Mendeskripsikan informasi di internet artinya mengenal batasan-batasan informasi tersebut. Menginterpretasi informasi artinya menangkap makna atau pesan yang ingin disampaikan oleh informasi yang bersangkutan.
Selanjutnya, manusia harus mempelajari informasi tersebut, melihat konteksnya dan menemukan inti dari informasi yang dideskripsikan. Inilah inti dari proses kedua yaitu penalaran. Pada tahapan ketiga, hasil penalaran tersebut harus dibandingkan atau didikursuskan dengan fakta-fakta lain yang mungkin diperoleh dari manusia-manusia lainnya. Manusia harus mengkritisi setiap data atau informasi yang diperoleh sehingga ditemukan keasliannya.
Pada tahapan terakhir, manusia kemudian merumuskan hal yang menjadi pengetahuan bersama mengenai fenomena yang diinformasikan. Dalam tahap inilah konsensus mengenai pengetahuan yang sejati dirumuskan. Peran serta subjek/manusia lain dalam metodologi kritis ini adalah untuk menguji sejauh mana informasi dapat dipercaya dan dirumuskan sebagai kebenaran sejati.
Penutup
Rekonstruksi nalar manusia pada era post-truth bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini berkaitan dengan kesadaran dan penyadaran bersama. “Racun” kemudahan yang ditawarkan oleh internet tampaknya sudah begitu kuat merasuki kehidupan manusia pada masa ini. Keduanya hampir sulit dipisahkan. Hal ini tampak dengan jelas lewat analisis kebudayaan yang dilakukan dengan menggunakan gagasan Mary Douglas.
Rekonstruksi nalar yang ditegaskan dalam artikel ini tidak bermaksud untuk menjauhi modernitas dan kemajuan yang ditawarkan oleh teknologi. Tulisan ini pada dasarnya merupakan bentuk penyadaran yang sangat mendesak diperlukan, terlebih karena banalitas kebohongan yang berkembang di masyarakat sampai hari ini. Rekonstruksi nalar ini menjadi tugas setiap orang yang peduli terhadap kebenaran sejati. Setiap orang diajak untuk mampu melihat internet dan media sosial lainnya sebagai teknologi yang sifatnya membantu kehidupan manusia. Pada akhirnya, informasi yang keluar dari teknologi semacam itu juga harus dikritisi dan “ditelanjangi” sehingga manusia bisa menikmati kebenaran yang sejati.
Penulis adalah Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino Ngabang, Direktur Kelas Filsafat-Teologi Katarina Siena Pontianak.
Sumber Foto: http://www.ethicalforum.be/node/100
[1] Bacaan lebih jauh mengenai konsep Heidegger mengenai teknologi bisa diperdalam lewat buku yang ia tulis yaitu Being and Time (1927) dan kumpulan pengajarannya The Question Concerning Technology (1954).