Oleh: Trio Kurniawan
Teori Kritis Jürgen Habermas
Jürgen Habermas merupakan salah seorang filosof kontemporer terbesar yang karya-karyanya banyak bergerak di bidang teori-teori sosial dan komunikasi. Buah pemikirannya banyak mempengaruhi ilmu pengetahuan dan kehidupan praktis manusia dewasa ini. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gagasan-gagasan kiri’, terutama karena ia sendiri dibesarkan dalam Mazhab Frankfurt.
Dalam bukunya, Knowledge and Human Interests[1], Habermas mengatakan bahwa pengetahuan yang sejati merupakan pengetahuan yang mengarah pada societas (masyarakat). Pengetahuan tidak akan ada gunanya jika tidak berguna bagi masyarakat dan pembudayaan manusia. Habermas mengkritisi Karl Marx yang mereduksi refleksi filosofis (pengetahuan) kepada perkara kerja. Marx mengkerdilkan proses refleksi pengetahuan manusia pada tataran tindakan instrumental (instrumental action).[2]
Pengetahuan, bagi Habermas, merupakan soal kepentingan. Tidak ada pengetahuan tanpa adanya kepentingan. Hal ini ia tegaskan sebagai bentuk kritiknya atas Positivisme Logis yang mempengaruhi cara pikir masyarakat modern. Positivisme Logis meyakini bahwa tidak ada peran manusia sebagai subjek penahu dalam produk pengetahuan. Pengetahuan haruslah bersifat netral dan objektif murni.
Habermas tentu saja menolak disposisi pengetahuan semacam itu. Manusia sebagai subjek yang memproduksi kebenaran pengetahuan tentu tidak dapat dipisahkan dari kebenaran pengetahuan itu sendiri. Artinya, pengetahuan sebagai produk akal budi manusia selalu beririsan dengan intensi dari manusia itu sendiri. Ketika sebuah pengetahuan dihasilkan dalam relasi antara subjek dan objek, sungguh sangat tidak masuk akal ketika ada konsep yang mengatakan bahwa pengetahuan tersebut bebas dari subjek. Dengan kata lain, selalu ada kepentingan di balik setiap pengetahuan yang diproduksi oleh akal budi manusia.[3]
Pengetahuan, bagi Habermas, hanya menjadi nyata dalam bahasa. Itu sebabnya ia menekankan peran penting bahasa dalam proses rasionalisasi masyarakat. Rasionalisasi masyarakat ini, oleh Habermas, disebut dengan tindakan omunikatif. Dalam tindakan komunikatif, antar subjek dalam ruang publik saling berkomunikasi, melakukan diskursus dan merumuskan konsensus. Ia meyakini bahwa segala macam tindakan sosial (konflik, kompetisi) merupakan turunan dari tindakan yang terarah pada pencapaian akan pemahaman.[4]
Masyarakat yang ideal dalam pandangan Habermas adalah masyarakat yang di dalamnya setiap orang mampu mengedepankan sebuah perbincangan yang rasional dan bebas dari determinasi penguasa. Masyarakat semacam ini disebut sebagai masyarakat yang emansipatoris. Di dalamnya setiap orang bebas mengeluarkan argumen atau gagasan yang rasional. Tujuan akhir dari diskursus adalah apa yang disebut dengan persetujuan (agreement)/ konsensus. Konsensus tercipta ketika masing-masing subjek telah berbagi pengetahuan dan terhubung satu dengan yang lainnya lewat konsensus tersebut.
Jürgen Habermas menyadari bahwa pengetahuan sangat mungkin ditunggangi oleh kepentingan ideologis pribadi tertentu. Itu sebabnya ia mendesak pentingnya kritik ideologi. Tahapan atas kritik ideologi itu meliputi: deskripsi dan interpretasi atas situasi tertentu, melakukan penalaran terhadap hasil deskripsi dan interpretasi, melakukan diskursus untuk menyusun agenda agar situasi berubah (terutama jika ternyata ada ideologi subjektif yang terlacak) dan evaluasi atas situasi egaliter baru yang terwujud.[5]
Singkatnya, dalam ruang publik (masyarakat) pengetahuan dirumuskan dalam diskursus dan mendapat legitimasinya lewat konsensus. Ruang publik Habermasian ini merupakan ruang publik yang egaliter dan emansipatoris. Semua berada dalam tataran yang sama dan berhak untuk menyuarakan nalar kritisnya demi kebaikan bersama. Segala macam pengetahuan baru mendapat ruang dalam masyarakat yang demokratis-deliberatif semacam ini, namun dengan syarat utama, yaitu harus lulus dari kritik ideologi yang dilakukan secara bersama-sama agar diperoleh pengetahuan sejati.
Analisis Kebudayaan pada Masyarakat Post-Truth: Perspektif Mary Douglas
Masyarakat post-truth adalah kelompok masyarakat yang berkembang ketika internet (cyberworld) merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat. Internet menyentuh hampir keseluruhan bidang yang dulunya dikelola secara konvensional. Internet juga berhasil menjadikan masyarakat dunia yang dulu terpisah secara geografis hingga etnis menjadi satu masyarakat global. Dalam masyarakat global tersebut, kebudayaan dan ideologi melebur jadi satu. Bahkan dalam beberapa pembicaraan, internet sudah menjadi semacam “nadi” dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.
Penyebaran berita hoaks merupakan salah satu fenomen yang muncul dari keberadaan internet. Faktanya, penyebaran berita hoaks sudah terjadi sejak internet belum lahir. Kasus Watergate era Presiden Nixon menjadi bukti penggunaan hoaks sebelum internet yang dampaknya sangat besar terhadap sistem sosial-politik Amerika hingga hari ini. Namun, tak bisa dilupakan juga bahwa justru pada masa inilah (ketika internet merajai kehidupan manusia) hoaks berkembang dengan sangat pesat.
Pertanyaan untuk memulai analisis ini sebenarnya sederhana: mengapa internet menjadi media yang sangat mudah untuk menggerakkan penyebaran hoaks? Dari pertanyaan dasar itu, muncul beragam pertanyaan lainnya, seperti sistem “bermasyarakat” macam apa yang digunakan dalam dunia internet sehingga memudahkan penyebaran hoaks? Apakah dalam dunia internet masyarakatnya memiliki identitas dan aturan main yang jelas?
Ketika percampuran budaya dan ideologi terjadi di dunia akibat penggunaan internet, manusia hari ini sangat sulit untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu. Internet menjadikan manusia tidak lagi dengan mudah terikat pada suatu identitas, terlebih jika ada gagasan lain yang lebih menarik dibandingkan dengan identitas kelompok yang ia ikuti sebelumnya. Manusia cenderung memilih untuk menjadi pribadi yang bebas dibandingkan harus terikat pada kelompok. Dengan kata lain, dunia internet menawarkan suatu group yang lemah (low).
Bagaimana dengan grid dari masyarakat internet? Grid pada masyarakat internet juga rendah karena “aturan main” yang ada pada internet tidak jelas. Di Indonesia sendiri aturan penggunaan internet memang diatur dalam UU ITE. Namun, UU tersebut sering dilanggar dan sangat sulit untuk melacak pelanggarannya karena terlalu massive dan “kelincahan” para pengguna internet untuk lolos dari jeratan UU ITE. Singkatnya, grid dalam dunia internet juga lemah (low).
Masyarakat internet adalah masyarakat low grid – low group yang berkarakter individual dan market oriented. Karena itu, bisa dimengerti alasan informasi hoaks dapat menyebar dengan pesat dalam masyarakat internet. Dari segi identitas, para penyebar berita hoaks tidak merasa ada kepentingan mendesak untuk menjaga integritas bangsa ketika mereka menyebarkan informasi tersebut. Dari sisi aturan. UU ITE pun tidak 100% mampu meng-cover persoalan di internet. Para penyebar hoaks hanya peduli pada persoalan uang: berapa keuntungan finansial yang mereka peroleh dari penyebaran berita tersebut.
Penyebaran hoaks juga menjadi tidak terkontrol karena masyarakat meyakini bahwa kebohongan tidak lagi bisa diadili secara “hitam-putih”. Kebohongan yang dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai polusi justru menjadi relatif dalam tata masyarakat modern karena adanya kepentingan politik dan ekonomi.
Penulis adalah Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino Ngabang, Direktur Kelas Filsafat-Teologi Katarina Siena Pontianak.
Sumber Foto: http://www.ethicalforum.be/node/100
[1] Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interests. trans. Jeremy J. Saphiro (London: Beacon Press, 1971).
[2] Ibid., 43-44.
[3] Penulis menguraikan dengan cukup relasi subjek-objek dalam epistemologi Michael Polanyi yang sejalan dengan prinsip Jurgen Habermas ini; – Trio Kurniawan, Konsep Pengetahuan Personal Menurut Michael Polanyi [skripsi diterbitkan], (Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2016).
[4] Bdk. Jurgen Habermas, Communication and the Evolution of Society, trans. Thomas McCarthy, (Boston: Beacon Press, 1979), 1.
[5] Bdk. Keith Morrison, Jrgen Habermas dalam Joy A. Palmer (Ed.), 50 Pemikir Paling Berpengaruh dalam Dunia Pendidikan Modern (Yogyakarta: Laksana, 2010), 349.