Oleh: Trio Kurniawan
Konstruksi Nalar Manusia pada Era Post-Truth dan Dampaknya
Persoalan utama yang menjadi fokus era post-truth adalah banalitas kebohongan yang merasuki pelbagai sendi kehidupan manusia, secara khusus pada bidang kebijakan publik dan politik elektoral. Penyebaran informasi hoax yang bertujuan untuk mempengaruhi persepsi publik terhadap bidang-bidang tersebut dijadikan sebagai strategi agar tujuannya dapat tercapai. Nalar manusia yang sudah dimanipulasi oleh informasi-informasi hoax tersebut selanjutnya akan menuntun setiap tindakan atau ucapan manusia itu sesuai dengan skema yang diharapkan oleh “otak” penyebaran hoax.
Konstruksi nalar manusia era post-truth ini sejatinya “unik” dalam hal mencari dan merumuskan kebenaran.Kebenaran sejati yang dimaksudkan dalam era post-truth tampaknya adalah kebenaran yang sesuai dengan emosi sosial. Artinya, sejauh sesuatu dianggap dapat menggerakkan emosi publik, sesuatu itu dapat dianggap sebagai kebenaran; tidak peduli lagi dari mana segala informasi itu berasal atau bagaimana informasi itu dimodifikasi sehingga bersifat “abu-abu” atau malahan berlawanan dengan fakta.
Menguatnya banalitas kebohongan yang mempengaruhi emosi sosial sebagai puncak dari kebenaran masyarakat era post-truth tampaknya gandeng dengan mencuatnya populisme sebagai wadah pemersatu antar kelas/golongan dalam masyarakat. Definisi yang tetap mengenai populisme agaknya cukup sulit dirumuskan. Namun, secara sederhana, populisme bisa didefinisikan sebagai posisi politis yang menempatkan “rakyat” berlawanan dengan “kaum elit”.[1] Terminologi “rakyat” ini juga masih bisa didefinisikan ke dalam banyak cakupan, misalnya berdasarkan agama, suku, status sosial-ekonomi dan lain sebagainya. Singkatnya, banalitas kebohongan yang menguat pada era post-truth seringkali menggunakan “rakyat” sebagai objeknya.
Penyebaran hoax yang bertujuan untuk mempengaruhi emosi sosial menempatkan rakyat kebanyakan sebagai objeknya. Tujuannya sederhana: masyarakat era post-truth yang secara psikologis mudah melekatkan diri kepada kelompok sosial tertentu yang berlawanan dengan kaum elit akan teguh mengikuti keyakinan mayoritas di mana mereka berdiri. Persoalan uji kesahihan informasi yang beredar tidak lagi dianggap sebagai hal yang harus dilakukan. Kebenaran mayoritas (walaupun tidak sesuai fakta) dianggap sebagai kebenaran sejati.
Hoax sebagai “senjata” utama era post-truth pada hakekatnya berkaitan dengan bahasa dan simbol sebagai media komunikasi antar manusia. Pada masa sebelum modernitas dan teknologi internet digunakan oleh manusia, penyebaran berita hoax bisa dilakukan lewat perbincangan sehari-hari ataupun lewat koran atau majalah. Pada masa ini, pola penyebaran berita hoax jauh lebih “liar” dan tak terkontrol karena penggunaan internet dan media sosial lainnya.
Komunikasi yang sejatinya dilakukan manusia agar segala bentuk pengetahuan dan kebenaran yang berguna dalam tata hidup bersama bisa disampaikan, dalam era post-truth, justru digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi persepsi publik. Komunikasi antar manusia tidak terjadi dalam disposisi yang setara, kritis, jujur dan penuh tanggung jawab. Mayoritas masyarakat berbicara dengan kepentingan tertentu yang sifatnya mengobjektifikasi lawan bicaranya.
Konstruksi nalar pada era post-truth ini juga semakin “unik” karena metodologi pengujian pengetahuan tidak lagi diperlukan. Nalar manusia ditumpulkan karena sudah dipengaruhi oleh emosi sosial. Karl Gustav Jung menyebut fenomena ini sebagai “kerasukan kolektif” atau “epidemi psikis”. Akal budi tidak lagi berupaya membanding-bandingkan pengetahuan ataupun melakukan falsifikasi a la Karl Popper. Segala macam informasi yang ramai dibicarakan di media sosial sepertinya “sudah cukup” untuk dianggap sebagai kebenaran.
Dalam perspektif epistemologi, fenomena ini tentu sangat mengerikan. Nalar manusia tunduk pada banalitas kebohongan. Pengetahuan dijadikan sarana pemenuhan kepentingan elit yang tidak memikirkan dampak buruk penyebaran hoax dalam tata hidup bersama.
Dampak penyebaran berita hoaks di masyarakat ini sungguh terasa. Perpecahan dan sikap saling curiga menghantui relasi antar kelompok masyarakat. Sebagai contoh, tindakan penyebaran berita hoaks oleh Muslim Cyber Army (MCA)[2] dan Saracen di Indonesia cukup banyak mempengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat. Pembangkitan isu kemunculan Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga pengeroyokan ulama Islam membuat masyarakat jadi saling tuduh dan menjaga jarak.
Sentimen rasialis juga semakin menguat beberapa tahun belakangan karena isu Tenaga Kerja Asing yang menyerbu Indonesia. Kelompok TKA China yang kerapkali menjadi “korban” dari isu tersebut. Akibatnya, pandangan sinis dan penuh kebencian terhadap penduduk Tionghoa sangat kuat menyebar di Internet.
Para penyebar
berita hoaks ini juga secara gencar melakukan framing terhadap fenomena-fenomena tertentu. Dalam satu kasus ulama
yang terkena beberapa tuntutan pidana sekaligus, framing yang dikerjakan oleh para penyebar hoaks di internet ini
adalah kriminalisasi ulama. Padahal, kasus pidana tersebut belum diselesaikan
sama sekali. Artinya, belum ada usaha untuk membuktikan ulama tersebut terbukti
bersalah atau tidak secara yuridis, namun sudah muncul framing kriminalisasi. Secara psikologis, kinerja aparat hukum
mungkin saja sangat terganggu karena gerakan massa cukup besar di perkotaan
ketika kasus ini mencuat. Apalagi wilayah kerja aparat hukum ketika menangani
kasus ini beririsan dengan ranah agama, ranah yang sensitif.
Singkatnya, persoalan penyebaran berita hoaks
bukanlah hal yang sederhana dan remeh.
Persoalan ini sangat serius karena berdampak pada konstruksi nalar manusia
Indonesia. Selain itu, rusaknya tata hidup bersama secara perlahan akibat
gencarnya penyebaran berita semacam itu sangat perlu dan mendesak untuk
diperbaiki.
Penulis adalah Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino Ngabang, Direktur Kelas Filsafat-Teologi Katarina Siena Pontianak.
Sumber Foto: http://www.ethicalforum.be/node/100
[1] Cas Mudde. ‘The Populist Zeitgeist’, Government and Opposition, Vol. 39(4), 2004, 542–563.
[2] Catatan: ada banyak berita-berita mengenai motif, aktivitas dan dampak dari penyebaran hoaks di Indonesia yang sudah diulas di beberapa media mainstream. Salah satu motif yang dirasa kuat mempengaruhi perilaku penyebar hoaks ini adalah motif ekonomi dan politik. – “Polisi: Berita Hoaks Muslim Cyber Army Bermotif Politik”, http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43221362, diakses pada tanggal 25 Mei 2018.