Oleh: Renee Sari Wulan
Udara terasa sejuk berangin ketika aku menapak keluar mobil di pelataran vihara sore itu. Di penghujung september 2018. Bergegas aku mengedarkan pandangan mencari tempat diskusi karena waktu sudah menunjukkan lewat pukul 16.00 WIB, aku telah terlambat satu jam dari jadwal diskusi yang kulihat di poster acara. Mobil yang mengantarku berhenti di sisi pendopo yang menjadi tempat perhelatan wayang kulit. Di barat pendopo kulihat ada bangunan kecil bertuliskan “KANTIN”. Suara hati mendorongku bergerak ke sana, apalagi kulihat mas Cindil (Gunawan Maryanto), seorang teman dari Teater Garasi, melambai padaku dari kejauhan. Aku bergegas menghampirinya, kami bersalaman, bertukar sapa sejenak, lalu kudengar seruan di sisi kananku menyapaku, dia adalah Sita, aktor Teater Garasi juga. Kami berpelukan. Ini adalah perjumpaanku selanjutnya dengan mereka berdua setelah kami bertemu awal september yang lalu di acara “Asian Dramaturg Network Yogya”. Mas Cindil dan Sita mengarahkanku memasuki “KANTIN’ yang rupanya menjadi tempat diskusi yang kucari. Segera aku masuk dan mencari kursi kosong di sana. Aku mendapatkan kursi kosong di deretan belakang dan mulai menyimak diskusi. Yang tengah berbicara saat itu adalah Kyai M. Faizi dari Sumenep. Secara reflek aku menengok ke sisi kananku, kujumpai sederetan buku yang dipajang, untuk dijual. Sambil telingaku berusaha terus menangkap pembicaraan Kyai Faizi, mataku jelalatan ke deretan buku-buku itu. Di deretan paling dekat denganku kujumpai 3 buku Kyai Faizi, dua buku tentang catatan perjalanan buah pengalaman di bus dan terminal-terminal yang ia kunjungi, satu buku tentang tafsir puisi. Segera kubeli dua buku catatan perjalanan tersebut, ditambah sebuah buku catatan keseharian juga, dari Novie Chamelia.
Kembali kusimak diskusi.
Dari hal-hal yang beliau utarakan dalam diskusi maupun dari buku karangan beliau yang sempat sekilas kubaca, aku langsung gandrung dengan Kyai Faizi. Di diskusi ia menjelaskan dengan lugas persoalan tanah di Madura berikut penyikapan orang Madura sendiri atas tanah sebagai budaya maupun aset ekonomi-politik. Ia menyatakan bahwa berbicara tentang tanah adalah berbicara tentang perspektif. Perspektif kosmologi akan melihat tanah sebagai lokus, pertemuan hidup dan mati. Tanah memiliki karakter ekologi, manusia memiliki kekuatan untuk menafsir sebagai subjek.
Bagi orang Madura narasi tanah dibicarakan dalam tiga hal besar: tanah waris (tana sangkol), tradisi/ritual turun tanah atau berpijak pada tanah bagi bayi memasuki usia tujuh bulan (toron tana), dan ruwatan tanah/bumi memohon keselamatan-kesejahteraan hidup dan keberhasilan panen sekaligus rasa syukur atas keberkahan berupa tanah yang subur (rokat tana atau rokat bume).
Pada perjalanan selanjutnya, terutama diperkuat dengan hadirnya jembatan Suramadu, yang awalnya dimaksudkan untuk mengangkat perekonomian di Madura, alhasil yang lebih banyak terjadi adalah justru semakin banyaknya kelas menengah di Madura yang membelanjakan hartanya di luar Madura, dan hadirnya korporasi dengan ketamakannya yang semakin kencang lajunya, melahap bumi Madura dengan segala isinya. Dampak lain dari jembatan Suramadu adalah semakin membanjirnya pendatang, namun perputaran uang masih lebih banyak terjadi di luar Madura.
Sebelum jembatan Suramadu, pada masa Orba muncul kasus nipah, di mana masyarakat Madura berhadapan dengan negara dan korporasi sekaligus. Pembicara kedua, Kyai Dardiri Zubairi (Sumenep), menyatakan bahwa ke depan masyarakat akan lebih banyak berhadapan dengan korporasi. Apalagi jenis bebatuan di Madura serupa dengan Kendeng. Maka ancaman serius bagi Madura jika pembongkaran batu yang dilakukan secara besar-besaran dibiarkan bebas terjadi tanpa ada pengaturan resmi dari Pemda melalui Perda: tahun 2030 Madura akan kering kerontang kehabisan air tanah.
Karenanya mitos perlu dirawat untuk merawat mitologi. Masyarakat adat menjadi filternya. Dalam buku Teologi Tanah disebutkan bahwa agama bisa dijadikan basis perlawanan untuk mempertahankan ruang dan tanah. Kapitalisme membutuhkan ruang, yang menyebabkan tanah masyarakat semakin minim.
Diskusi ditutup dengan pembacaan puisi oleh Kyai Faizi :
…………..
“bukit kapur itu sepertimu,
yang diamanahkan untuk dirawat”
Keluar dari ruang diskusi, aku merasa mendapat kabar gembira bahwa Madura pun bergeliat, bukan ruang hampa yang tak bergeming dengan kompleksitas dan dinamika manusia hari ini. Madura memiliki “orang-orang asyik” yang siap memperjuangkan tanah-bumi pijakannya, dengan gelora yang tinggi.
Lalu bagaimanakah tafsir tanah dan kompleksitas itu di ruang seni pertunjukan?
Sambil menunggu waktu pertunjukan, aku menyempatkan berkeliling mengitari kompleks vihara. Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong) Pamekasan dibangun sekitar awal abad 20, merupakan satu dari tiga kelenteng di Madura. Patung-patung di sana merupakan peninggalan kerajaan Majapahit dengan patung Budha dalam aliran Mahayana, yang banyak penganutnya di dataran Cina. Kompleks vihara ini memiliki keunikan karena memberi ruang juga bagi tempat peribadatan umat lain, yaitu pura dan musala. Waktu di sana aku hanya melihat musala saja yang terletak di samping kanan vihara. Keterbukaan semacam ini sungguh menyejukkan, tak heran jika mereka pun terbuka dengan penyelenggaraan Remo Teater Madura di dalam areal kompleks vihara tersebut. Semangat ini bertaut dengan semangat seniman dan pelaku seni – budaya Madura yang bergerak mengawal – membaca – mengkritisi berbagai perkembangan di ruang sosial Madura, dengan segala kompleksitas dan dinamikanya dari waktu ke waktu.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB, panitia mengarahkan kami menuju tanah lapang di luar area kompleks vihara, untuk melihat pertunjukan pertama. Ini adalah pertunjukan teater karya Wail Irsyad bertajuk Tabak. Ia mengambil gagasan dari tanaman tembakau yang akrab dengannya waktu ia kecil. Wail telah lama meninggalkan Madura, ia hijrah ke Bandung. Karena itu ia dipilih panitia Remo Teater untuk mementaskan karya hasil pembacaannya atas Madura kini, dengan ia sebagai diaspora Madura.
Aku bergegas menuju tanah lapang di luar pintu gerbang vihara. Diiringi gelap, karena tak ada lampu jalan, hanya lampu yang disiapkan beberapa untuk kebutuhan pementasan. Kulihat orang telah berkerumun mengelilingi suatu tempat agak ke tengah lapangan. Tanah yang kuinjak adalah tanah-tanah berbongkah, bukan dataran yang rata, sehingga aku harus berhati-hati melangkah sekaligus bergegas agar masih mendapatkan posisi menonton yang nyaman. Objek yang dilihat penonton adalah seorang laki-laki yang tengah berproses dengan tubuhnya. Ia bergerak, menggeliat, membungkuk, kadang berjalan lalu tersungkur. Ia berjalan menghampiri bilah semacam anyaman bambu dengan ukuran hampir sama dengan tubuhnya. Ia angkat lalu ia seret bilah itu. Bergerak menuju vihara. Di belakangnya empat laki-laki menyorotkan cahaya ke arahnya, dan turut bergerak mengikutinya. Mereka berjalan memasuki kompleks vihara, berhenti di halaman samping pendopo. Empat laki-laki bergerak menghampiri laki-laki yang membawa bilah anyaman bambu. Mereka menarik laki-laki itu, mengangkat, lalu menghempaskannya lagi di atas bilahan kayu. Saling tarik dalam ketegangan. Lalu mereka membiarkan laki-laki itu berjalan sendiri memasuki ruang pameran. Di dalam laki-laki tadi menghampiri gundukan tanah dengan tanaman (tembakau?) di atasnya. Ia duduk bersila seperti bersemedi, lalu bergerak diiringi vokal seorang lai-laki di sisi kanannya. Kadang ia letakkan tanah dan tanaman itu di atas kepalanya sambil terus bergerak. Empat pemuda yang mengikutinya berdiri berjajar diagonal di depannya, sambil mengeluarkan suara. Formasi berubah, dengan suara tetap berbunyi. Kemudian lampu padam. Penonton berpindah ke ruang pertunjukan di samping ruang pameran.
Pertunjukan kedua bertajuk Tera’Ta’Adhamar, produksi Kikana Arts Production Sampang. Didukung oleh empat penari laki-laki dan dua penari perempuan. Mereka berkostum putih dan sesekali ada ungkapan monolog. Karya ini ingin berbagi gagasan tentang ‘keinginan’.
Pertunjukan ketiga adalah pertunjukan penutup. Karya terbaru Hari Ghulur sekembali ia mengikuti program American Dance Festival (ADF). Didukung enam penari (empat perempuan, dua laki-laki) memakai kostum hitam dengan potongan model berbeda. Sesuai dengan judulnya, White Stone (Batu Putih) Hari ingin berungkap tentang manusia Madura yang seperti batu putih, keras namun mudah dibentuk. Batu putih sendiri merupakan hasil sumber daya alam di Madura yaitu bukit kapur, biasa digunakan masyarakat di Madura untuk mendirikan rumah atau bangunan lainnya. Selebihnya karya ini merupakan implementasi kegairahan dia menerapkan hal-hal yang ia dapatkan di ADF ke dalam kerja studio : bergerak dengan emosi, impulsif, penerapan teknik Gaga, dan pengembangan gerak dari pencak silat Pamur.
Di karya Wail saya mendapat pesan bahwa tanah yang kita pijak tak selamanya stabil. Ketidakstabilan yang membuat kita berputar, bersiasat, menelusuri. Demikian pula manusianya. Tak ada jaminan bahwa keduanya akan stabil selamanya. Di situlah pertarungan terjadi, karena manusia lebih mengingnkan kestabilan. Sayangnya, kembali pada konteks tanah dan korporasi, kestabilan itu (baca: harmoni, keseimbangan) sering didapat dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, misalnya dengan mengikuti keinginan pemodal yang merugikan masyarakat. Ketika Wail meletakkan tanah dan tembakau di kepalanya, saya menangkap pesan bahwa di sisi lain, manusia rela menggantikan tanah, agar tembakau tetap tumbuh.
Hal ini bersambung dengan karya kedua yang bicara tentang harapan/keinginan. Akhir dari karya ini adalah ketika seorang laki-laki berdiri membawa cahaya. Agak berbeda dengan apa yang ingin disampaikan kreator, bahwa yang menjadi cahaya manusia dalam meraih keinginannya adalah ketulusan hati, bagi saya cahaya itu secara kuat melambangkan keinginan. Keinginanlah yang membuat manusia bergerak (hidup). Hal ini ternyatakan dengan gamblang dalam kata-kata menjelang akhir pertunjukan : “keinginanmu laksana cahaya, yang berpendar seperti kunang-kunang”. Tanah pun memiliki keinginan.
Di forum kreator yang diadakan seusai pertunjukan, Rahman sebagai kreator mengungkapkan bahwa ia telah lama meninggalkan panggungg kontemporer, lebih banyak melakukan pentas-pentas tari tradisi berdasarkan pesanan. Namun, melihat karyanya malam itu, bagi saya istimewa karena di sana saya menjumpai tubuh-tubuh yang bergerak natural dan kuat. Hal ini terjadi pada penari laki-laki. Saya tidak melihat kegamangan mereka dalam bergerak, pilihan kosa-geraknya pun bagus. Mereka menginterpretasikan itu dengan tubuhnya, dan berhasil untuk tidak berjarak (antara tubuh yang bergerak dengan kosa-gerak yang memotivasinya). Tubuh mereka hadir sebagai proses pencarian yang benar-benar mereka lakukan. Jika dianalogikan dengan kata-kata kira-kira seperti ini: motivasi gerak adalah tongkat kayu; yang terjadi adalah bisa dua kemungkinan. Pertama tubuh yang bergerak agar bisa menjadi tongkat kayu (tubuh sedang menuju wujud tongkat kayu, namun belum sampai). Kedua, tubuh yang telah menjadi tongkat kayu dengan tafsir masing-masing (tubuh sudah sampai/menemukan wujud tongkat kayu itu sesuai penafsirannya). Kemungkinan pertama terjadi pada penari perempuan, kemungkinan kedua terjadi pada penari laki-laki.
Selain tubuh yang belum sampai, hal lain yang terjadi pada penari perempuan adalah masih terbebani karakter kosa-gerak tradisi.
Berikutnya adalah karya ketiga, White Stone.
Dalam catatan koreografinya Hari Ghulur menyatakan bahwa karya ini hasil kerja studio yang ia jadikan laboratorium tari sekembali ia dari American Dance Festival dua bulan lalu. Kerja laboratorium ini mengujicobakan olah gerak dengan emosi dan impresi. Selain itu ia menjadikan pencak silat Pamur, salah satu gaya pencak silat Madura dari Pamekasan, yang ia pelajari waktu SD, sebagai basis gerak dalam karya ini yang ia kombinasikan dengan teknik Gaga: sebuah teknik yang mendorong tubuh melakukan pencapaian maksimal atas gerak, dengan cara menghidupkan engine (energi, daya kekuatan/power, rasa/feel) tubuh. Menurut Hari, pencak silat merupakan basis pengendalian diri dan perlindungan bagi masyarakat Madura, karena pada umumnya mereka memiliki kultur merantau (ongga’). Spirit yang ia ambil di karya ini adalah menghindar, menyerang, dan bertahan.
White Stone atau batu putih di karya ini adalah tanda orang Madura dalam perspektif Hari, yang keras namun “mudah dibentuk”. Baginya, masyarakat Madura memiliki watak pekerja keras dan terbuka. Hal ini dipengaruhi oleh kultur kerja di persawahan yang gersang dan cara hidup kolektif.
Di panggung ada enam penari (dua laki-laki, empat perempuan) berkostum hitam dengan karakter masing-masing. Terlihat ragam gerak silat yang berbaur dengan olah gerak lain, dihadirkan dengan intensitas kuat dipadu kecepatan. Hal ini mendominasi hampir seluruh koreografi. Yang menarik adalah dalam karya ini silat hadir dalam konteksnya sendiri sebagai bentuk ‘pertahanan dan serangan (perlindungan)’, maupun dalam konteks tari/gerak sebagai ekspresi di ruang koreografi kontemporer. Silat melebur dalam ekspresi tari dengan penggalan-penggalan atau potongan-potongan ragam geraknya yang menyatu dengan gerak lain mewujud sebagai ekspresi baru. Bentuk serangan dan kebertahanan diri hadir dalam ‘ruang yang lain’, mengarah pada ekspresi atau ungkapan tertentu yang berbeda dengan konteks silat di luar bingkai karya koreografi kontemporer. Di tangan Hari, kehadiran ragam gerak silat mulus berkelindan dengan elemen-elemen yang lain di karya ini. Paduan itu tampil cantik. Hari berhasil melakukan transformasi tubuh pada penarinya.
Jika Hari mengangkat batu putih sebagai bahan perbincangan koreografinya, saya melihat ini sebagai pilihan yang tepat dalam kaitannya dengan ‘keras’ sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Madura. Terik matahari, batu putih, tanah merah, garam, kulit legam adalah lanskap hidup orang Madura. Sebagai bukan orang Madura, saya merasakan itu sebagai ketidaknyamanan, dan ketidaknyamanan itu saya rasakan pula di panggung Hari. Kini, ketika sebagian besar masyarakat / rakyat negeri ini harus berhadapan dengan kuasa modal dan keserakahan, bagaimana peninggalan leluhur seperti silat, mampu ‘berbicara’ atau berperan? Di White Stone saya melihat silat pun terpenggal dalam ketakberdayaan. Silat sebagai bagian dari “tubuh Madura” turut terkoyak. Pertanyaannya, apakah perlu dilahirkan ‘silat’ baru?
Seluruh perhelatan ini merupakan bagian dari Remo Teater Madura. Ini adalah festival seni pertunjukan dan forum pertemuan (gagasan) antar seniman Madura, baik yang tinggal di Madura maupun di luar Madura (diaspora). Forum ini bertujuan membangun infrastruktur pengetahuan kesenian dengan menggali potensi lokal sebagai basis penciptaan seni, sekaligus membangun jaringan antar komunitas dan warga dalam rangka mewujudkan kerja-kerja kolektif dan organik.
Penulis adalah Seniman dan Peneliti Tari.
Sumber Foto: https://geotimes.co.id/opini/relasi-tanah-dengan-keberlangsungan-kehidupan-manusia/
Galeri Pribadi Penulis dan Akun Facebook Sawung Dance: