Italia: Tentang Mimpi dan Sepakbola

Oleh: M. Hanif Azizi

Terhitung sejak hari ini, saya memantapkan sebuah mimpi yang sebelumnya hanya sebatas angan-angan. Menuju Italia. Itulah mimpi saya. Saya bermimpi untuk melanjutkan studi S2 saya di Italia dan mengambil prodi Manajemen Olahraga (Sport Management). Pada saat saya menulis ini, saya belum punya persiapan apapun untuk mewujudkan mimpi tersebut, masih hanya sebatas mencari informasi tentang kampus-kampus di Italia yang menyediakan program Sport Management dengan bahasa Inggris, sekaligus sedikit-sedikit saya juga mencari informasi tentang beasiswa yang sekiranya dapat membantu merealisasikan mimpi saya untuk bisa melanjutkan studi di Italia, karena dengan kemampuan ekonomi yang tidak serba berlebihan, saya juga tidak menyebut keluarga saya miskin, tentu untuk membiayai kuliah serta hidup di Italia adalah sesuatu yang sangat berat atau bahkan mungkin mustahil untuk keluarga saya.

Kenapa saya tertarik dengan prodi Sport Management dan memilih Italia sebagai negara? Kenapa saya mengambil jurusan Sport Management, padahal saya sebelumnya adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan Bahasa dan Sastra Arab dan juga tidak mempunyai latar belakang sebagai atlet apapun, kecuali akhir-akhir ini saya mungkin bisa dikategorikan sebagai atlet amatir sebuah olahraga (elektronik) yaitu gim Mobile Legend dan juga PUBG, saya juga bukan seorang pekerja profesional di bidang olahraga apapun, sehingga mungkin sulit dimengerti kenapa saya memilih prodi tersebut untuk melanjutkan studi S2 saya. Mungkin terlalu muluk bagi saya, bahwa saya melihat potensi besar dari industri olahraga di negeri tercinta ini, Indonesia. Tapi begitulah alasan saya. Khususnya sepakbola, saya sangat gemar mengikuti perkembangan sepakbola di tanah air, saya juga seorang Aremania –sebutan pendukung AREMA–. Saya melihat bahwa sepakbola di negeri ini begitu dicintai oleh masyarakat Indonesia, bahkan tidak terlalu berlebihan jika saya menyebut bahwa sepakbola adalah olahraga terpopuler di Indonesia. Namun begitu dari ‘gila’ nya masyarakat Indonesia terhadap sepakbola, saya melihat bahwa sepakbola di Indonesia tidak diurus oleh orang-orang yang berkompetensi di bidangnya, tidak semua, namun sebagian besar menurut saya seperti itu.

Sepakbola Indonesia selalu memiliki “aroma” negatif yang dapat dicium oleh siapapun, mulai dari isu pengaturan skor, mafia sepakbola dan lain-lainnya, itu dari sisi sepakbolanya. Di luar itu sepakbola juga dijadikan sebagai tunggangan politik para politisi untuk mencapai tujuannya, sekalipun saya tidak sepenuhnya tidak setuju dengan pemanfaatan tersebut. Selain itu penataan jadwal yang dibuat oleh federasi juga masih sering mengalami perubahan-perubahan mendadak disebabkan oleh berbagai faktor, seperti berbarengan dengan pertandingan Tim Nasional Indonesia, faktor tidak mendapatkan ijin dari pihak keamanan dan juga faktor-faktor kegiatan politik di Indonesia, seperti Pilkada atau Pilpres dan Pileg.

Tingkat kerusuhan antar suporter tim di Indonesia juga masih sangat sering terjadi, rivalitas antara Bobotoh (Pendukunng Persib) dan The Jak Mania (Pendukung Persija) atau rivalitas antara Bonek (Pendukung Persebaya) dan Aremania sampai saat ini masih sangat tinggi, bahkan tidak jarang sampai merenggut nyawa. Belum lagi rivalitas antar suporter di satu wilayah, Yogyakarta antara Slemania (termasuk BCS) –pendukung PSS Sleman– dan Brajamusti (Pendukung PSIM Yogyakarta). Rivalitas yang merenggut nyawa tersebut menurut saya terjadi karena banyak faktor, seperti ketidakmampuan federasi menekan rivalitas dan ketidakmampuan manajemen kedua klub untuk meredam tingginya rivalitas antar kedua suporter.

Problem-problem yang terjadi di atas menurut saya dikarenakan pengetahuan para stakeholder yang minim tentang manajemen klub sepakbola. Memang, sepekbola tanpa rivalitas tentu akan mengurangi “keseruan” dari kompetisi, sehingga rivalitas memang perlu dirawat dengan baik tetapi perlu untuk diatur sedemikian rupa agar menimbulkan rivalitas yang sehat dan tidak menimbulkan korban nyawa. Mungkin manajemen dan pengurus federasi di Indonesia perlu untuk belajar kepada klub-klub seperti AC Milan dan Inter Milan bagaimana mereka mampu merawat rivalitas dengan sehat, berbagi tribun stadion pada saat pertandingan tersebut terjadi dan bahkan sangat jarang (mungkin tidak pernah) terjadi kerusuhan antar kedua kubu suporter tersebut apalagi sampai menghilangkan nyawa manusia.
Sepakbola di Indonesia menurut saya mempunyai prospek masa depan yang sangat cerah, industri sepakbola di Indonesia mungkin akan sangat berkembang semakin baik dari tahun ke tahun dengan catatan bahwa sepakbola Indonesia dikelola dengan baik oleh orang-orang yang punya perhatian khusus terhadap sepakbola, bukan hanya dikelola oleh para politisi untuk mendongkrak popularitasnya atau dikelola oleh para pebisnis yang tidak mengerti sepakbola sama sekali, apalagi sampai dikelola oleh para mafia yang memanfaatkan pengetahuan tentang sepakbolanya untuk kepentingan “memperbuncit” perutnya sendiri atau kelompoknya sendiri. Sepakbola di masa depan harus dikelola oleh orang-orang yang mencintai sepakbola dan mempunyai pengetahuan tentang sepakbola, sehingga sepakbola Indonesia akan tumbuh dengan baik secara prestasi maupun dari segi industri.

Alasan saya kenapa memilih Italia untuk belajar tentang manajemen olahraga adalah karena AC Milan dan sedikit pengetahuan tentang budaya Italia. Benar, saya adalah seorang Milanisti yang memang sejak dulu mempunyai keinginan bahwa suatu saat nanti saya akan berdiri di salah satu tribun San Siro dan berteriak “Forza lotta vincirei, non ti lasceremo mai…….”. ya saya adalah seorang Milanisti yang ingin merasakan langsung aroma rivalitas Curva Sud dan Curva Nord Milano, sehingga Italia menjadi salah satu negara di eropa yang paling ingin saya “taklukkan”. Mungkin alasan ini adalah alasan yang tidak memberikan dukungan terhadap keinginan studi saya, tentu saya punya alasan yang mungkin dapat memberi support terhadap keinginan tersebut.

Sepakbola Italia tentu adalah primadona bagi para pecinta sepakbola dengan tahun kelahiran 80-90an, dan termasuk saya adalah salah satu orang yang jatuh cinta dengan sepakbola Italia dan juga tim nasionalnya sejak memenangi Piala Dunia 2006 dengan cattenaccio-nya. Bahkan sampai hari ini, di mana lebih banyak orang di sekitar saya mendukung Liga Spanyol dengan Barcelona dan Real Madridnya atau Liga Inggris dengan Manchester City, Liverpool, Manchester United dll. dengan kekuatan uang yang sangat kuat, saya masih tetap jatuh cinta dengan AC Milan dan Italia. Ya di saat saya menulis ini, AC Milan sedang dirundung masalah UEFA Financial Fair Play (FFP) setelah berganti kepemilikan dari Silvio Berlusconi ke Young Li dan sampai akhirnya Mr. Li tidak mampu membayarkan hutangnya kepada Elliot dan diambil alih oleh Elliot sampai sekarang. AC Milan tidak sedang berada pada periode terbaiknya seperti tahun 2000an lalu, setelah ditinggal pergi beberapa pemain pentingnya seperti Ibrahimovic dan Thiago Silva tahun 2011, sejak saat itulah Milan mengalami salah satu periode terburuknya.

Saat ini, Milan sedang membangun kembali kekuatan pondasi dari tim mereka, Elliot yang mendapatkan “durian runtuh” dari Mr. Li tidak serta merta menjual kembali AC Milan, tetapi mereka lebih memilih untuk menata ulang AC Milan dari berbagai sektor, khususnya sektor kekuatan finansial. Mereka mengontrak Ivan Gazidis sebagai CEO yang mampu membangun pondasi kuat keuangan Arsenal, dan menurut saya, Gazidis sedang berada pada jalur yang sama di saat ia mengawali karirnya di Arsenal. Tentu membangun pondasi yang kuat tidaklah mudah dan butuh waktu yang lama, dan inilah indahnya sebuah proses dan pasti akan selalu ada proses sekalipun berkebalikan dengan keinginan para penggemar Milan di seluruh dunia yang tentu ingin segera timnya kembali ke jalur sebagaimana mestinya.

Memang, membandingkan sepakbola Indonesia dengan Eropa sama saja dengan membandingkan jauhnya bumi dan langit. Di Eropa, UEFA sejak beberapa tahun silam telah menerapkan aturan Financial Fair Play (FPP) yang diberlakukan kepada seluruh klub dan federasi yang ada di naungannya. Aturan tersebut secara sederhana mengatur bahwa pengeluaran sebuah klub harus diimbangi dengan pemasukan yang sama atau boleh mengalami kerugian dengan tidak lebih dari sekian juta euro saja. Berbeda sangat terbalik dengan di Asia apalagi Indonesia yang setiap klub setiap tahunnya bisa saja “jor-jor an” berbelanja pemain, tapi pemasukan mereka juga tidak pernah jelas apakah mampu menutupi sekian besarnya pengeluaran tim. Saya ambil contoh untuk saat ini adalah Madura United yang membelanjakan pemain-pemain nomor wahid di Indonesia seperti Andik Vermansyah, Zulfiandi, Muhammad Ridho, Jamie Xavier, Beto Gonzalves dan lain-lainnya. Sekalipun di Indonesia sangat jarang sekali menggunakan sistem jual beli pemain antar klub atau transfer, namun gaji dari pemain-pemain di atas tentu menjadi nama-nama pemain top di liga Indonesia. Namun begitu masalah keuangan di Indonesia juga sangat tertutup sehingga tidak dapat diketahui berapa pengeluaran dari masing-masing klub di Indonesia. Kasus Madura United tersebut tentu layak jika saya pertanyakan apakah pemasukan klub selama setahun berbanding lurus dengan pengeluaran-pengeluaran tim selama satu tahun kompetisi?

Sekali lagi bahwa membandingkan sepakbola Indonesia dengan Eropa sangatlah jauh sejauh-jauhnya. Mungkin persamaannya hanya bola yang digunakan sama-sama berbentuk bulat, memainkan sepakbola 11 melawan 11 dalam waktu 2×45 menit. Terlalu muluk memang jika saya sekarang berupaya membandingkannya, tapi saya rasa bermimpi suatu saat bahwa sepakbola Indonesia akan berjalan sehat tidak salah juga, dan saya juga ingin masuk di antara orang-orang yang membawa perubahan sepakbola menuju arah yang lebih baik.

Masalah finansial yang melanda Milan sekarang bagi saya adalah sebuah pelajaran bagi sepakbola Italia dan Milan khususnya. Bahwa sepakbola tidak hanya melulu tentang prestasi saja, tapi sisi industri dan pondasi kekuatan finansial tim juga perlu menjadi perhatian untuk keberlanjutan sebuah tim sepakbola pada jangka panjang. Situasi sepakbola Italia yang sedikit tertinggal dari Liga Inggris dan Liga Spanyol menjadi alasan saya kenapa saya sangat ingin sekali untuk belajar manajemen olahraga di Italia, sekalipun tingkat permasalannya berbeda, namun saya menarik sebuah persamaan bahwa sepakbola Indonesia dan Italia hari ini sama-sama memiliki masalah, dan menurut saya akan lebih memberikan saya sebuah pengalaman langsung jika saya belajar di sebuah negara yang punya sejarah sepakbola mentereng di Eropa dan sekarang sedang mengalami permasalahan.

Itulah alasan saya kenapa saya tertarik dengan Sport Management dan memilih Italia sebagai destinasi pelabuhan saya belajar. Tentu saya hanya satu dari 250jt masyarakat Indonesia yang mempunyai keinginan bahwa suatu saat nanti sepakbola Indonesia akan bangkit dan mampu berbicara setidaknya di level asia, jika terlalu muluk saya katakan di level dunia. Namun bagaimanapun, saya percaya bahwa Indonesia menyimpan puluhan juta potensi anak bangsanya dalam bidang sepakbola. Setidaknya kepergian Egy Maulana Vikri dan Firza Andika menuju kompetisi sepakbola eropa menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia menyimpan berpuluh juta bakat di bidang sepakbola.

Penulis adalah Aremania dan alumni UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Sumber Foto: https://www.gmercyu.edu/academics/learn/sports-management-careers

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top