Oleh: Dika Sri Pandanari
Buku Sarinah disusun oleh Soekarno pada tahun 1947 untuk mengkaji peran perempuan dalam perjuangan Republik Indonesia. Perjuangan yang dimaksud tidak hanya pada tahap revolusi memperjuangankan kemerdekaan namun juga dalam revolusi pembangunan bangsa. Dalam “Kursus Perempuan” yang diadakan di Yogyakarta sebelum Sarinah disusun, Soekarno berfokus pada pembahasan tantangan perempuan dalam masyarakat. Materi kursus tersebut kemudian dirangkum dalam satu buku bertajuk Sarinah. Nama Sarinah dipilih Soekarno untuk menghormati ibu mban-nya semasa kecil dan sekaligus untuk menggambarkan perkenalannya dengan Marhaen sebelum ia bertemu petani bernama Marhaen di Jawa Barat.
Garis besar dari sekian ide dalam Sarinah adalah posisi perempuan dan laki-laki dalam konteks perjuangan bangsa yang tidak lepas dari aspek psikis, biologis, dan historis perempuan. Sarinah tidak dikaji untuk memperkuat feminisme atau memperjuangkan penyamarataan posisi perempuan dengan laki-laki melainkan untuk mendiskusikan sistem ideal mengenai peran perempuan dan laki-laki agar dapat secara maksimal berguna membangun bangsanya. Soekarno memulai pendasaran Sarinahsebagaimana pernyataan Aristoteles dalam Politica bahwa suatu bangsa disusun oleh keluarga, sementara keluarga disusun oleh laki – laki, perempuan, keturunan (dan budak). Terlepas dari keberadaan budak dalam tradisi Yunani kuno, dapat disepakati bahwa susunan dasar suatu bangsa adalah keluarga di mana atomnya terdiri dari laki – laki dan perempuan. Walaupun konteks permasalahan tahun 1940 – an berbeda dengan hari ini, namun diskursus dalam Sarinah masih dibahas karena berdasar pada akar permasalahan yang sama yang terjadi baik dahulu dan saat ini.
Soal Tradisi, Laki – Laki, dan Perempuan
Dalam Sarinah, Soekarno membedakan pengunaan istilah wanita dan perempuan. Kata perempuan dan laki-laki digunakan sebagai pembeda kedudukan seseorang atas hak dan kewajibannya dalam masyarakat yang terdiversifikasi melalui kondisi fisiknya. Sementara itu penyebutan wanita dan pria menunjukkan status seseorang berdasakan keadaan seks-nya. Seks dimengerti sebagai kekhasan natura (kodrat)-nya seperti hormon, sarana reproduksi dan berbagai ciri – ciri fisik lain yang tidak dapat berubah secara alamiah.
Dalam Sarinah, Soekarno menekankan adanya dualisme keberadaan manusia. Hal yang tunggal dapat tersusun oleh dua hal lain yang berbeda atau berlawanan dan memiliki potensi untuk saling melengkapi, sebuah kontradiksi yang memiliki kemampuan membentuk harmoni. Dapat dikatakan, dalam Sarinah, Soekarno mengusung ide dualisme yang ketat sebagaimana sistem masyarakat serta kepercayaan dalam kebudayaan kuno yang dibagi dalam sifat maskulin dan feminin seperti Aesir dan Venir pada masyarakat Viking, Lingga dan Yoni pada masyarakat Hindus, Yang dan Yin pada masyarakat Tiongkok, serta Ahura dan Mazda pada masyarakat Babilonia. Dalam SarinahSoekarno memberi contoh keseimbangan sifat maskulin dan feminin dalam hubungan laki-laki dan perempuan seperti: tesis dan antithesis, terang dan gelap, baik dan buruk, positif dan negatif, adhesi dan kohesi, aksi dan reaksi, siang dan malam, api dan air, matahari dan bulan, mars dan venus, barat dan timur. dan masih banyak lainnya. Melalui sifat inilah, Soekarno menarik kesimpulan bahwa hubungan terkecil antar manusia juga harus dipahami sebagaimana hukum dualisme ini bekerja. Seperti jagat (cosmos), perbedaan memunculkan keseimbangan bila dipahami dan ditempatkan sesuai porsinya, namun perbedaan akan menghasilkan chaos bila tidak berjalan sesuai dengan kondisi yang kodrati.
Soekarno melihat potensi kebudayaan di Indonesia sebagai kekayaan dan sekaligus tantangan. Indonesia kaya akan tradisi dan nilai budaya warisan yang mampu menata tata hidup manusia. Pada tahap ini seks menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan nilai sebagaimana proposisi gender secara perlahan terbentuk. Namun nilai artifisial dari suatu budaya yang terbakukan dapat berpotensi membatasi kemampuan manusia alih-alih mengembangkannya. Soekarno dalam Sarinah mengambil contoh tradisi pernikahan dan perkawinan. Dalam kedua tradisi ini, kesepakatan diambil untuk memperoleh kehidupan keluarga yang dianggap paling baik. Istilah baik, merujuk pada perolehan manfaat bagi golongan masyarakat yang lebih berkuasa pada suatu daerah tertentu. Di beberapa daerah, pernikahan hanya dapat dilangsungkan ketika pihak laki – laki meminta kesepakatan untuk menikahi pihak perempuan, dan demikian sebaliknya dalam tradisi yang berbeda. Syarat pernikahan juga sering memberatkan pihak yang akan menikah, misalnya karena mahar. Dalam tradisi yang menitik beratkan sistem matriarki, perempuan dapat menikahi laki – laki apabila ia memberikan mahar atau tebusan materi kepada keluarga calon pasangannya, hal berlaku sama dalam sistem patriarki.
Tradisi perkawinan juga memiliki pembagian tugas yang didasarkan atas kemampuan yang terstigmatisasi. Stigma dapat berubah dan berkembang, contohnya stigma terhadap perempuan yang kini dianggap negatif adalah konco wingking, kemampuan macak, manak, masak; yang dalam kebudayaan Jerman disebut Kirche – Kuche – Kleider – Kinder. Namun pada masanya, pandangan ini dianggap baik karena pihak penentu nilai melihatnya baik.
Pergantian subyek penilai berganti seiring waktu. Pada masyarakat purba, keluarga atau kelompok masyarakat yang disatukan dengan ikatan darah mengalami evolusi dalam pembagian peran berdasarkan seks. Kadang perempuan diuntungkan, kadang laki-laki yang diuntungkan. Siklus ini diperkuat dengan perlawanan satu sekse melawan sekse lainnya. Sejarah pembentukan keluarga dipahami sebagai perang kuasa laki-laki dan perempuan sehingga Soekarno ingin menghentikan eternal war tersebut dalam masyarakat. Apabila satu kelompok masih berusaha menguasai yang lain maka cita-cita pembangunan suatu bangsa yang besar tidak akan pernah terwujud. Bagi Soekarno, laki-laki maupun perempuan harus memiliki peran yang seimbang dalam keluarga sebagaimana harmonisasi alam terhadap manusia. Jauh di belahan Utara, masyarakat Mongol memiliki kepercayaan yang serupa berkat pengalaman hidup pemimpin besar mereka, Genghis Khan, yang dituliskan dalam The Secret History of Mongols. Temujin atau Genghis Khan muda tumbuh besar di wilayah ayahnya di pegunungan Black Heart namun selalu terselamatkan oleh sungai dan tanah ibunya di sekitar sungai Onon. Catatan kehidupan Genghis Khan menyebabkan masyarakat Mongol percaya bahwa langit adalah bapak yang berkuasa dan menginspirasi manusia sebagai Tian, sementara bumi merupakan Dalai Ege yang merestui dan memastikan berlangsungnya kehidupan manusia. Keduanya memiliki porsi yang sepadan dalam menjunjung kebesaran nama anak cucu Genghis Khan. Hal yang sama dicita-citakan oleh Soekarno di mana kerja sama antara laki-laki dan perempuan dapat melahirkan pembebasan bagi bangsanya.
Permasalahan dan Gerakan Perempuan
Soekarno mengenalkan konsep scheur dan dewi tolol sebagai dua masalah besar perempuan. Scheur diartikan sebagai retakan yang diderita oleh perempuan dalam dirinya, sementara dewi tolol merupakan pembodohan perempuan karena pemujaan dan perlindungan berlebih. Scheur menurut Soekarno lahir pada masa Revolusi Industri di mana perempuan mulai keluar dari rumah untuk bekerja di pabrik atau kantor. Perempuan mulai memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan sendiri dan pada saat yang bersamaan, perusahaan memiliki kesempatan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih murah dibanding laki-laki. Perempuan kemudian dieksploitasi oleh perusahaan di mana ia dinilai tidak memiliki tanggungan keluarga karena biaya hidupnya ditanggung oleh ayah atau suaminya sehingga tidak ada beban tambahan yang harus dibayarkan perusahaan bagi mereka. Hal serupa juga terjadi di Indonesia di mana upah pekerja perempuan tidak ditentukan berdasar kuantitas kerja melainkan dari stigma atas gendernya.
Scheur semakin nyata ketika perempuan menyadari bahwa pekerjaannya mengurangi kesempatan untuk bersama keluarga. Menurut Soekarno perempuan akan merindukan peran hidup berkeluarga, baik sebagai anak gadis, ibu, atau istri. Dalam masyarakat purba, pembagian tugas dilakukan berdasarkan kemampuan masing-masing. Laki-laki yang tangguh akan berburu mammoth dan perempuan tinggal di pemukiman untuk melahirkan, menjaga anak, dan meramu makanan. Domestifikasi ini berlangsung alamiah di mana perempuan tangguh-pun tidak dapat meninggalkan bayi mereka sehingga mereka mengusahakan makanan dari bercocok tanam di lahan terdekat.
Pembagian peran ini kemudian melahirkan kebudayaan masyarakat agrikultur dan menetap. Pembagian tanggung jawab keluarga dalam masyarakat Nordik atau Viking juga berlangsung serupa, ialah bahwa perempuan harus bertanggung jawab atas semua hal di dalam rumah sementara laki-laki bertanggung jawab atas semua hal di luar rumah. Perempuan Viking juga dilarang mendatangi Things (pengadilan rakyat) namun berkuasa dalam menentukan pendapat anggota laki-laki di keluarganya, serta mendapat hak perwakilan bicara atas nama mereka sendiri oleh kaum laki-laki. Contoh lain, pada tahun 1206, Genghis Khan membuat undang-undang yang memberi klaim pada ibu, para istri dan putri-putrinya untuk turut mengatur rumah tangga negara dalam bentuk pengorganisasian sumber daya dan tentara, penataan perdagangan di jalur sutra, serta urusan kerjasama pemerintahan. Pembagian peran yang serupa dapat ditemui pada beberapa catatan sejarah bangsa-bangsa lain seperti Jawa, India dan Tiongkok. Keterkaitan kegiatan domestik selama berabad-abad menyebabkan perempuan tidak dapat melepaskan kecenderungan untuk kembali ke rumahnya. Bila hal tersebut tidak terpenuhi maka terdapat keretakan atau kehilangan di dalam diri perempuan.
Di samping scheur, dewi tolol muncul karena kegagalan masyarakat memposisikan perempuan. Dalam penyembahan dewa – dewi Hindi atau Yunani, semua dewi dan dewa dianggap sebagai makluk yang memiliki keutamaan jauh di atas manusia biasa. Dewi sebagai perwujudan perempuan agung dipuja karena keunggulan sifat feminin yang dimilikinya, contoh: kecantikan, kebijaksanaan, kesabaran, kesuburan, keindahan, keandaian, dan kelestarian. Sebagaimana dewi, perempuan juga dipuji karena keindahannya, kemampuannya menata rumah tangga, dan kemampuannya melahirkan keturunan yang membuat perempuan di-dewi-kan berdasarkan fungsinya dalam masyarakat.
Soekarno selanjutnya menjelaskan bahwa pendewian ini dapat berubah dari bentuk pengunggulan menjadi pembodohan karena perempuan dipuji berdasarkan pengkondisian atas dirinya dan fungsinya dalam mempercantik rumah tangga semata. Masyarakat kemudian memiliki standar estetik yang seakan harus dipenuhi oleh perempuan agar ia tidak diabaikan oleh lingkungannya. Pada titik ini intelektualitas dan psikis perempuan tidak diperhitungkan sehingga tolak ukur kecantikan hanya berdasarkan lekuk tubuh atau kemampuan berdandan. Masalah dewi tolol ini menimbulkan masalah lainnya seperti tingkat konsumtif yang besar dan ketidakmampuan perempuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Permasalah ini menuntut jawaban mula-mula dari kaum perempuan sendiri. Soekarno menjabarkan bahwa mula-mula terdapat gerakan perempuan di Eropa yang berusaha menyatukan ibu-ibu dan gadis kelas menengah ke atas untuk melakukan suatu kegiatan. Para perempuan ini berkumpul dan melakukan kegiatan yang mereka sukai secara bersamaan, semacam kelompok hobi yang dapat menandingi club para pria. Kegiatan yang dilakukan adalah seputar berdiskusi, menjahit, melukis, membaca puisi, hingga berdebat mengenai buku yang hendak mereka susun. Bentuk perkumpulan yang sama juga dilaksanakan di Indonesia sehingga merangsang munculnya Kongres Perempuan tahun 1928. Gerakan ini disebut Soekarno sebagai gerakan perempuan pertama.
Selanjutnya gerakan yang kedua terjadi secara simultan di Amerika Serikat dan Eropa dalam usaha para perempuan untuk memperoleh hak politik seperti berpendapat, bersuara, dan berperan dalam parlemen. Gerakan perempuan kedua ini melibatkan kaum buruh, intelektual, dan sebagian kaum menengah ke atas yang peduli atas hak-hak demokrasi perempuan. Terdapat perkembangan interest dari gerakan perempuan pertama dan kedua di mana tantangan yang dijawab sudah lebih besar dari sekedar permasalahan domestik. Perempuan menyatukan suara melalui lumbung, dapur, pabrik, hingga gedung parlemen dan melakukan korespondensi dengan berbagai kelompok perempuan lain di luar negeri. Pada 8 Maret 1909 buruh dan petani perempuan di Rusia melakukan demonstrasi menuntut monarki Tzar Nikolai II yang telah lalai dalam menyusun peraturan kerja. Demonstrasi ini berlangsung masif sehingga satu dekade setelahnya hari tersebut disahkan sebagai hari perempuan nasional oleh Rusia dan pada tahun 1977 disahkan sebagai perayaan internasional oleh PBB.
Gerakan ketiga dijelaskan oleh Soekarno sebagai keikutsertaan kaum perempuan dalam gerakan bersama dengan kaum laki-laki. Dalam gerakan ini yang permasalahan yang dihadapi tidak lagi seputar suara untuk perempuan atau keamanan kerja untuk perempuan namun juga mengikutsertakan perjuangan pembebasan untuk laki-laki dan anak-anak. Pada saat penyusunan Sarinah, gerakan perempuan ketiga sedang berjalan. Pada gerakan yang ketiga Soekarno meletakkan harapan bahwa perempuan bersedia turut andil dalam gerakan revolusi Indonesia yang tidak hanya memperjuangkan hak perempuan namun juga kebebasan, harga diri, dan tanah air bangsanya.
Setelah mengutarakan beberapa permasalahan dan ide, di bab akhir Sarinah Soekarno menekankan pentingnya kesesuaian tugas perempuan dan laki-laki dalam mewujudkan revolusi Indonesia. Sebagaimana pernyataan Baba O’lah yang dikutip Soekarno dalam Sarinah, “Laki-laki dan perempuan adalah dua sayap burung, di mana burung tersebut tidak dapat terbang bila salah satu sayapnya tidak ada”. Oleh karena itu Soekarno menggarisbawahi perlunya kerjasama laki-laki dan perempuan yang disesuaikan dengan porsi dan kemampuan individu dalam memenangkan revolusi Indonesia yang berlangsung pada tahun 1908 hingga 1949.
“Djikalau tidak dengan mereka (perempuan), kemenangan tak mungkin kita capai “, kutipan Soekarno atas Lenin dalam Sarinah.
Penulis adalah Aktivis Sosial dan Pegiat Filsafat
Sumber Foto: https://i2.wp.com/www.gapuranews.com/wp-content/uploads/2014/05/buku-sarinah-peluncuran001.jpg