Oleh: Romo Vincentius Kirjito, Pr.
Merapi Timur dalam tulisan ini adalah Kecamatan Kemalang, Karangnongko dan Jatinom bagian barat. Semuanya di Kabupaten Klaten dan kebetulan letaknya paling tinggi. Menelusuri jalan aspal halus dari Pabrik Gula Gondang, Klaten ke arah utara menuju Gunung Merapi, hamparan pertanian padi mendominasi pandangan. Air berlimpah, menyembul dari permukaan tanah di mana-mana. Setelah melewati Kecamatan Karangnongko, tidak akan melihat hamparan sawah, dan tidak dijumpai lagi air mengalir di selokan, irigasi, apalagi sungai. Alam Merapi timur, mulai ketinggian sekitar 500 mdpl, tidak memberi air yang mengalir di mana-mana seperti di lereng Merapi barat (Magelang) maupun selatan (Sleman).
Menurut Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Merapi tua di sisi timur, sudah terbentuk 60.000 tahun yang lalu, dari endapan lava. Maka tak mampu menyimpan lama guyuran air hujan tiap musimnya. Resapan air hujan keluar lagi, menyembul menjadi mata air di bawah, pada ketinggian di bawah 500 mdpl, seperti di Kecamatan Kebonarum. Itulah sebabnya mengapa sejak ratusan tahun lalu masyarakat di lereng Merapi timur pada ketinggian di atas 500 mdpl itu mengandalkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari.
Tak Pernah Kekeringan
Meskipun musim kemarau, aneka macam rumput dan tumbuh-tumbuhanan tetap tampak hijau segar. “Kecamatan Kemalang sulit air, tetapi tidak pernah kekeringan,” ungkap camat Kemalang menyambut mahasiswa Atmajaya Yogyakarta, yang live in dan mau mencarikan air tanah, empat tahun lalu. Nampaknya, mahasiswa membawa persepsi bahwa dalam tanah pasti ada air, seperti di Yogyakarta.
Tumbuh-tumbuhan di Merapi timur itu hidup dari air yang tidak kasat mata dalam bentuk cair, melainkan dalam wujud kelembaban udara dan tanah yang kaya humus (https://www.koranbernas.id/gunung-air-merapi/). Kemungkinan malah justru merupakan air yang amat bersih dan berkualitas untuk kehidupan hewan, tumbuh-tumbuhan, termasuk manusia. Air seperti itulah yang kaya oksigen (O2).
Bagi para aktivis lingkungan hidup, semestinya tertarik menggunakan alat ukur oksigen udara, guna mengetahui dengan akurat seberapa banyak kandungannya. Masyarakat awam hanya bisa merasakan betapa segarnya menghirup udara di Merapi timur . Itulah sebabnya, walau sulit air (tanah) namun tetap padat penduduknya, dan umumnya lebih sehat, kuat bekerja keras di ladang, di pasar, di tambang pasir yang meraja lela di sana sepuluh tahu terakhir ini.
Deles Indah
Di beberapa tempat masih terpasang rambu “Deles Indah”. Sekitar tahun 1980-1990 an, Deles adalah daerah wisata di Klaten, seperti Kaliurang Sleman. Ada bumi perkemahan, beberapa hotel dan tempat penginapan. Meskipun sangat dekat dengan puncak Merapi, namun tetap aman. Sebab, hingga tahun 2006, erupsi Merapi selalu mengarah ke Magelang atau Sleman. Masyarakat sangat yakin, Merapi tidak akan mengancam karena ada “biyung bibi” di Gunung Bibi sebagai “penjaga”, yang jauh lebih tua dari Merapi.
Entah sejak kapan Deles Indah itu terabaikan dan tidak lagi menarik untuk wisata. Sangat mungkin sejak jalan aspal menuju Deles Indah itu makin rusak diterjang roda-roda truk pengangkut pasir dari penambangan galian C illegal dan tak terkendali oleh Pemkab Klaten dan Jawa Tengah.
Kekayaan alam dan Budaya
Kesuburan alam Merapi timur dengan segala budidaya pertanian, peternakan hewan dan aneka kerajinan masih terjaga lestari sampai sekarang. Itu berkat udara sejuk dari genangan air yang tidak kasat mata.
Berbagai kerajinan tangan, entah makanan, perkakas pertanian, kurungan ayam, burung, hingga kerajinan membuat gamelan, seni Kuda Lumping, seni Wang Kulit, Wayang Wong, ada di Merapi timur. Pengrawit gendhing Jawa, pesinden, penembang Jawa hampir tak terhitung jumlahnya. Bahkan masih ada komunitas Wayang Orang, yang aktif berlatih, berkreasi dan pentas setiap perayaan hari kemerdekaan.
Jadi, Merapi timur yang sulit air tanah itu memiliki kekayaan alam dan budaya, melebihi Klaten bawah yang berlimpah air umbul. Sayangnya, Merapi timur sangat miskin perhatian dari para pemangku layanan publik formal, alias Pemkab Klaten.
Budaya Hujan
Bila musim hujan tiba, masyarakat bersyukur, dan siap memanen air paling jernih dan bersih dari langit yang bersih juga. Kotoran genting di mana hujan jatuh, tidaklah sekotor tanah. Karena tidak ada orang membuang sampah dan kotoran di atap rumah
Biaya untuk mendapatkan air langit memang mahal untuk membuat bak tandon hujan. Namun, sekali jadi untuk selamanya. Memang kasihan bagi warga miskin yang hanya mampu membuat bak tandon kapasitas sekitar 25.000 liter. Pasti sudah habis sebelum musim hujan datang lagi. Terpaksa mereka membeli air tanah dari umbul, yang diangkut dengan mobil tangki, dengan biaya angkut ratusan ribu rupiah per 5.000 liter.
Lima tahun terakhir ini ada terobosan inovatif mengolah air hujan menjadi air minum yang berkualitas. Tidak hanya sekadar membuat tidak haus, melainkan memengaruhi perbaikan kesehatan secara signifikan. Air hujan diteliti dengan alat-alat ukur saintifik, kemudian diproses secara elektrolisis sebagai salah satu cara terbaik untuk mengatasi keasaman air hujan dan pencemar air (infektan).
Masyarakat Dukuh Bunder, Desa Bandungan, menjadi pelopor. Mereka diundang Harian Kompas untuk Pameran Budaya Air Hujan di Bentara Budaya Jakarta, 31 Maret–2 April 2015. Pameran dibuka dan diresmikan oleh Ibu Sinta Nuriyah, istri Presiden ke 4 RI, Abdurachman Wahid (Gus Dur).
Mereka membuktikan sendiri bahwa air hujan paling aman, paling bagus untuk air minum. Mereka mengalami titik balik budaya hujan. Dulu, mereka malu jujur mengatakan minum air hujan. Sekarang, bangga dan bercerita kepada siapaun bahwa minum air hujan lebih sehat. Seperti yang diungkapkan oleh Gunawan kepada wartawan “Air Hujan untuk manusia, air galon untuk sapinya.” (Kompas 5 April 2015). Yang dimaksud “galon” adalah mobil tangki pengangkut air per 5000 liter, dari mata air umbul.
Membela Budaya Hujan
Budaya Hujan adalah budaya mandiri sumber air. Tanpa persaingan atau berebut dengan makhluk hidup lainnya seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Budaya tanpa harus konflik dengan siapapun. Budaya dengan kebebasan penuh untuk memanennya. Tidak memerlukan izin. Tidak ada peraturan yang membatasi boleh dan tidaknya, harus seberapa banyak memanen dan menyimpannya. Budaya Hujan menyimpan sedemikian banyak nilai dan kearifan.
Namun, perasaan “terpaksa” selalu menggelayuti masyarakat, terutama generasi mudanya. Mereka tidak percaya diri dengan mengonsumsi air hujan. Serbuan masif budaya air minum kemasan sedemikian dahsyat menerabas ke desa hujan itu. Siapa yang akan membela kebudayan yang sudah hidup ratusan tahun itu dari ancaman kepunahannya?
Harga diri masyarakat hujan harus makin ditegakkan. Penelitian eksperimental dan pembuktian empirik, mutlak dilakukan masyarakat sendiri. Masyarakat hujan harus bangkit dan percaya diri akan sumber airnya yang datang dari atas, dari langit. Karena semua orang terlanjur tidak peduli terhadap air hujan. Karena orang-orang modern berpendidikan sarjana pun meremehkan air hujan. Karena Badan Meteorologi pun hanya sebatas mengatakan awas, waspada, hujan deras berpotensi menimbulkan bencana banjir, tanah longsor, pohon tumbang, dan sebagainya.
Di banyak kota, seperti Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Solo, Muntilan, Nusa Dua Bali, Denpasar, Toraja, sudah tumbuh “komunitas budaya hujan”. Mereka sudah merasakan dan membuktikan sendiri, dan mulai menggerakkan “titik balik evolusi budaya air hujan”.Dulu tidak peduli, sekarang bahagia dan bangga, karena menjadi sehat berkat hujan. Tentu saja setelah melakukan penelitian eksperimental sendiri, tanpa harus menunggu bergelar sarjana. “Kesuwen,” kata mereka. ***
(Artikel ini juga dimuat di Koran Bernas versi cetak edisi No. 21/2018 tanggal 28 Juli – 8 Agustus 2018)
Penulis adalah Rohaniwan, dan sekaligus peneliti eksperimental air hujan.