Oleh: Achmad Ubaidillah
Saya ingin memulai pembahasan mengenai “Sastra Pesantren dan Tradisi Berpuisi Kaum Santri” ini dengan mengetengahkan sebuah kredo penting yang turut berkontribusi terhadap penelaahan sastra:
“Tidak ada karya sastra yang lahir dari ketiadaan. Mustahil pula sastra tanpa fakta. Sastra tidak diturunkan malaikat dari langit.”
Begitulah Sapardi Djoko Damono, sastrawan Indonesia berhujah. Hujah ini tentu saja penting sebagai jawaban atas polemik yang tidak berkesudahan ehwal sastra yang dipandang tidak lebih dari sekadar dusta dan kebohongan, atau malah sebaliknya, sastra justeru mengandung kebenaran faktual di dalamnya.
Mengenai hal ini, kedudukan penulis dan pembaca menjadi begitu besar dalam menentukan kekhasan dan langgam sebuah karya. Faktor subjektif penulis dan pembaca tentu saja tidak dapat diabaikan, sebab di dalam diri mereka berkumpul segala rujukan sosial, kultural, politik dan sebagainya yang memungkinkan sastra memperoleh konteksnya. Dalam konteks inilah, sebagai penulis dan pembaca, saya ingin senantiasa mengambil pilihan sadar bahwa sastra tidak dapat dijauhkan dirinya dari dunia realitas yang justeru telah banyak berkontribusi terhadap lahirnya karya-karya penting dan monumental sekaligus memperkaya khazanah kesusastraan.
Di sinilah, seni sastra bukan sekadar daya artistik imajinatif yang terpisah dari realitas kehidupan masyarakat sebagaimana George Lukacs pernah mengungkapkannya.
Oleh karena itu, judul “Sastra Pesantren dan Tradisi Puisi Kaum Santri” sengaja saya pilih untuk menegaskan posisi pesantren sebagai potensi atau bagian dari khazanah sastra Indonesia modern. Ini juga menguatkan keberadaan genre sastra pesantren yang memang telah ada, tumbuh dan berkembang di dunia pesantren dan di dalam khazanah kesusasteraan Indonesia sebab salah satu khazanah pesantren yang sangat hidup hingga sekarang memanglah sastra, khususnya puisi. Di pesantren, santri membaca atau menyanyikan puisi setiap hari. Tak ada hari tanpa santri membaca puisi, sendiri-sendiri atau bersama-sama. Mereka membaca atau menyanyikan puisi Abu Nawas, Sayyidina Ali, Imam Syafii, Imam Bushiri, prosa Barzanji, dan lain-lain. Mereka membaca doa-doa, yang hampir semuanya berbentuk puisi. Bahkan tauhid dan tata bahasa Arab pun mereka pelajari melalui puisi, sambil menyanyikannya pula.
Tentu saja, hubungan sastra dengan pesantren adalah hubungan sastra dengan Islam, dan itu bisa ditarik jauh ke wahyu pertama. Kita tahu, wahyu pertama adalah perintah untuk membaca dan menulis. Adalah menarik bahwa perintah membaca disampaikan dalam bentuk kalimat perintah (iqra’, ‘bacalah’), sedangkan perintah menulis disampaikan dalam bentuk metafor, yaitu pena (qalam, ‘pena’). Hal yang tidak kalah menarik adalah rima ayat demi ayat, yang terdengar merdu dan sangat musikal, sebagaimana juga terdapat dalam pantun kita misalnya.
Metafor dan rima merupakan dua unsur sangat penting dalam puisi. Maka, jika wahyu pertama menggunakan metafor dan rima, pesan wahyu itu jelas: hendaklah engkau membaca dan menulis dengan citarasa sastra yang tinggi! Dengan kata lain, wahyu pertama itu tidak hanya mengandung dua hal, yaitu perintah membaca dan menulis, melainkan juga perintah untuk menumbuhkan dan memanfaatkan citarasa (seni) sastra dalam membaca dan menulis itu sendiri. Dan, al-Qur’an memberikan contoh bagaimana citarasa sastra memperindah dirinya di hampir sepanjang ayat-ayatnya. Inilah kiranya latar historis dan normatif tumbuhnya sastra di dunia Islam, yang kemudian ditransmisi ke Indonesia melalui pesantren. Tidaklah mengherankan kalau belakangan ini istilah “sastra pesantren” kian sering digunakan. Istilah itu sendiri menunjuk pada setidaknya tiga pengertian: (1) sastra yang hidup di pesantren, seperti antara lain disebutkan di atas; (2) sastra yang ditulis oleh orang-orang (kiai, santri, alumni) pesantren; (3) sastra yang bertemakan pesantren.
Oleh karena itu jika ada seseorang maupun kelompok di dalam Islam yang memandang sastra sebagai hal baru yang mengada-ada maka mereka sesungguhnya sedang berlepas diri dari kenyataan sejarah bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad yang hidup di tengah masyarakat Quraisy yang dikenal pandai dan mahir dalam tradisi bersyair. Puisi memang kebanggaan bangsa Timur Tengah waktu itu. Hampir semua masyarakat memberikan tempat istimewa bagi puisi [sastra]. Al-Qur’an sendiri diwahyukan juga untuk menggugat kesombongan penyair yang banyak mengolok-olok penyebaran Islam yang dilakukan Rasulullah. Oleh sebab itu, Islam memiliki tradisi sastra yang kuat dan dasar yang mewarnai corak ragam seni dan sastra Islam antara lain bertumpu pada al-Qur’an, hadis, falsafah, dan estetika di dalam Islam. Lalu apa yang membedakan sastra Islam dengan sastra lainnya? Bukankah semua sastra memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu paling tidak harus memiliki empat unsur yang membentuknya. Pertama, majaz (figuratif). Kedua, tasbih (image atau citraan). Tiga, tamsil (simbol perumpamaan) dan istiarah (metafora).
Perbedaan mendasar antara sastra Islam dan sastra lainnya dapat dikatakan terletak pada kedekatan sastra Islam pada dunia tasawuf. Sastra Islam setidaknya berkembang karena tasawuf. Sejak berabad lamanya, sastra telah digunakan oleh para sufi sebagai media dalam kegiatan keruhanian mereka. Perbedaan inilah yang nampak relevan untuk menjadi ciri khas sastra Islam, meskipun tidak menutup kemungkinan ada banyak perbedaan lainnya. Dari sinilah kemudian muncul sastra sufi, yaitu sastra Islam yang berisi artikulasi-artikulasi pengalaman sufi.
Dari orang-orang inilah sastra sufi berkembang ke berbagai tempat, terutama tempat-tempat yang penduduknya beragama Islam termasuk ke Nusantara dan lebih spesifik lagi ke dunia pesantren yang secara historis memang didirikan oleh para kiai dan masyaikh yang juga tidak hanya dikenal sebagai kiai yang menguasai ilmu fikih dan disiplin ilmu lainnya melainkan juga kuat dikenal sebagai ulama tasawuf yang aktif menghidupkan dan melantunkan selawat dan zikir serta aktif dalam pergulatan kehidupan yang memerlukan peran mereka sebagai aktor perubahan sosial. Sastra sufi semacam ini sesungguhnya di Indonesia sudah dimulai sejak munculnya zaman Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniry, dan Syamsuddin al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa yang banyak menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam.
Ini menunjukkan bahwa, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Acep Zam Zam Noer, bahwa puncak-puncak puisi Islam klasik sebagian besar bertalian dengan tasawuf, hal ini terutama karena ditulis oleh para penyair sufi atau yang berkecenderungan sufistik dan punya hubungan erat dengan tasawuf sebagaimana telah disebut. Munculnya tokoh-tokoh tasawuf dalam panggung sejarah peradaban dan kebudayaan Islam juga telah menunjukkan bahwa tasawuf dan kesusastraan—khususnya puisi—hampir tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pengalaman-pengalaman kerohanian mereka begitu kerap diungkapkan dalam wujud puisi yang indah dan tinggi nilainya. Begitu pula pesan-pesan dan gagasan-gagasan mereka tentang Tuhan, manusia, moralitas, kemasyarakatan dan sebagainya. Eratnya hubungan tasawuf dengan puisi konon berpangkal pada kenyataan, bahwa pada puncaknya pengalaman mistik bersinggungan dengan pengalaman estetik.
Berbicara mengenai sastra pesantren dalam beragam bentuknya terutama puisi merupakan buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis-ulang hikayat, hingga membuat karya-karya baru, baik lisan maupun tulisan, tentu bukan sekedar soal kehadiran suara komunitas pesantren dalam produksi sastra. Tapi juga sebuah perbincangan tentang subyektifitas kreatif kalangan pesantren dalam berkebudayaan.
Dalam sejarahnya sastra pesantren ditulis menggunakan huruf Pego, dengan beragam bahasa Nusantara. Kandungannya bermacam-macam, mulai dari cerita roman, ada yang mengandung sejarah dan realitas sosial, hingga cerita-cerita yang dipenuhi tema-tema moralitas dan kepahlawanan. Meski beragam, tapi mengandung atau melukiskan kenyataan sosial, bahkan terkesan realis, yang melibatkan tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya. Tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan.
Sastra pesantren adalah istilah untuk menyebut karya sastra yang hidup dan diciptakan kalangan pesantren, atau karya sastra yang bermuatan misi dakwah. Apabila pembatasan ini benar, maka sastra pesantren sesungguhnya sudah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia, sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia. Metamorfosis sastra pesantren juga menjadikan genre sastra ini punya masa depan luas yang akan tetap relevan dengan selera zaman. Ini terlihat dari kehadiran sastrawan-sastrawan terkemuka berlatar belakang pesantren yang menunjukkan perhatian yang besar pada pengobaran semangat keagamaan dan nilai-nilai transendental dalam karya-karyanya.
Sebagai sebuah sub-kultur yang tua dan unik di Indonesia, tidaklah mengherankan jika pesantren, selain menghasilkan para ulama, juga banyak melahirkan sastrawan, karena pesantren memiliki tradisi kontemplasi dalam kesehariannya dan dekat dengan kehidupan yang berbau tasawuf. Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, yang umumnya mengambil tempat di desa-desa terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kota. Pihak luar sering melihat keunikan pesantren sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi, sebagaimana di masa lalu, lembaga ini berperan dalam menentang penetrasi kolonialisme.
Selanjutnya hal yang tidak kalah menarik untuk dielaborasi terkait dengan pembahasan mengenai Sastra, Islam, Pesantren dan Sufisme adalah kuatnya tema-tema mahabbah atau cinta dan juga kerinduan dalam banyak judul maupun isi sastrawinya. Hal ini tidak lepas dari penjelasan bahwa dalam khazanah ilmu pengetahuan, pemahaman tentang Tuhan mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Setiap cabang ilmu mempunyai premis dan cara pandang berbeda, sehingga gambaran tentang Tuhan juga ditampilkan berbeda-beda. Misalnya saja, dalam tradisi ilmu kalam [teologi Islam], Tuhan lebih diposisikan sebagai sang pencipta [al-Khaliq] sementara realitas yang lain disebut ciptaaannya [makhluq]. Dalam tradisi ilmu fikih, Tuhan lebih dihayati sebagai Sang Hakim, sehingga relasi terhadap manusia adalah relasi perintah, larangan, dan hukuman. dalam kajian filsafat, gambaran tentang Tuhan lain dengan konsep kalam, fikih, maupun tasawuf. Dalam filsafat Tuhan digambarkan sebagai being qua being, the absolute being, supreme intellect, kebenaran tertinggi [ultimate truth], zat yang wajib wujudnya, sumber segala wujud dan lain sebagainya sesuai dengan pengamalan masing-masing. Lain lagi tasawuf yang menggambarkan Tuhan sebagai Sang Kekasih, yang kepadanya puncak rindu dan cinta manusia diarahkan dan salah satu cara ahli tasawuf dalam menghampiri Tuhan, yakni puisi.
Mengenai hal ini, Annemarie Schimmel yang telah banyak melakukan penelitian terhadap kajian sufistik di dunia Islam, khususnya terhadap seorang sufi masyhur bernama Rumi, yang terhimpun dalam bukunya “Akulah Angin, Engkaulah Api”
Kita perlu menelusuri puisi sufistik Islam, tentu agar tidak hanya kita kaji, namun juga kita resapi sebagaimana yang dilakukan para penyair. Adapun puisi semacam ini mulai masyhur ketika Rabiah al-Adawiyah memberikan kita pengetahuan dan keindahan spiritual bernama mahabbah. Rabiah al-Adawiyah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang dijuluki sebagai The Mother of the Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Mahabbah telah dimaknai sebagai bentuk cinta yang paling agung dan terpuji, yakni mencintai Allah, serta mencintai segala sesuatu yang Allah cintai. Kecintaan inilah sebagai azas dan pangkal kebahagiaan. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan:
“Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq) dan kepuasan hati (ridla)”.
Di samping itu, kita juga mengenal syair Burdah sebagai syair pujian dan ungkapan cinta yang dalam terhadap Rasulullah (s.a.w.), sang uswah hasanah. Syair yang ditulis oleh Muhammad al-Bushiri ini berisikan tema-tema ketasawufan (sufistik) yang begitu kuat rasa mahabbah kepada Allah s.w.t. dan Rasulullah s.a.w. Syair ini merupakan syair-syair yang sangat erat dengan kehidupan pesantren.
Pesan-pesan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, manusia, moralitas, kemasyarakatan yang erat hubungannya dengan tasawuf sebagaimana telah disinggung di atas, menjadi semakin relevan dan menemukan ruang dan tempatnya dalam konteks kekinian. Konteks kekinian tentu tidak hanya terkait dengan banyak fenomena sosial-keagamaan, melainkan dikontekstualisasikan dalam menjawab problem-problem kontemporer. Salah satu hal yang terus mengemuka adalah perihal kemunculan gagasan-gagasan dan tindakan ektremisme agama yang tidak jarang berujung pada aksi-aksi terorisme mengatasnamakan agama. Di sinilah urgensi spirit mahabbah yang menjadi salah satu kekhasan dalam tradisi sastra di dunia pesantren sekaligus diharapkan menjadi jawaban untuk pendidikan dan pendidikan semula masyarakat mengenai pentingnya menyemai dan menyebar semangat mahabbah dan rindu kepada Allah Sang Maha Pencipta Maha Rahman dan Rahim, serta kepada umat manusia dan alam semesta.
Dalam konteks inilah, terakhir, saya ingin mengetengahkan beberapa puisi di dalam buku Antologi Puisi Sabda Rindu yang telah saya tulis yakni berjudul ‘Maha Cinta Engkau’, ‘Memuji Tuhan Kita’, ‘Melalui Puisi’, ‘Zikir Cinta’, ‘Rahim Cinta’, ‘Engkaulah Cinta’, ‘Wahai Sang Maha Cinta’, ‘Lafaz Cinta’:
“Tuhanku, Engkaulah Maha Pujangga. Lewat firman-Mu yang maha indah, tertulis dalam setiap ayat. Lewat sajak-Mu yang maha karya, tertulis di alam semesta. Tuhanku, Maha Suci Engkau. Maha Cinta Engkau’ (Maha Cinta Engkau)
“Wahai angin yang berdesir. Wahai pepohonan yang terdiam. Wahai matahari yang bersinar. Aku memang tak dapat mendengarmu berujar. Aku memang tak mampu mendengarmu berucap. Tapi aku yakin engkau sedang bertasbih kini. Engkau sedang berzikir saat ini. Memuji TUHAN kita. Mensyukuri limpahan kasih sayang-Nya untuk kita” (Memuji Tuhan Kita)
“Melalui puisi aku ingin mengajakmu ke telaga indah. Menyaksikan cahaya mendaki bukit pagi. Mendengarkan suara burung bernyanyi. Melalui puisi, aku ingin mengajakmu menyaksikan langit malam bertabur bintang. Melalui puisi aku juga ingin bercerita tentang cerita cerita gembira, tentang kisah kisah samsara” (Melalui Puisi)
“Pergilah engkau ke sana! Ke taman indah penuh bunga warna warna. Berdiamlah engkau di sana! Menyaksikan mereka tersenyum. Tenanglah engkau di sana! Melihat bunga bahagia. Mendengar angin bernyanyi. Menyaksikan ilalang menari. Tersenyumlah engkau di sana! Melafalkan zikir cinta untuk Sang Maha Cinta” (Zikir Cinta)
“Jika kau merasa terlahir dari rahim cinta. Jangan biarkan keangkuhan kebencian menjadi candu, menjadi tirani dan hati kaubiarkan menyerah pada amarah. Jika kau merasa terlahir dari rahim cinta. Tersenyumlah dengan senang menikmati perbedaan. Lihatlah bunga yang indah dan anggun warna warni. Ingatlah keindahan akhlak Rasulullah Muhammad. Perangainya begitu indah mengharumkan sejarah.” (Rahim Cinta)
“Aku akan mempersilahkanmu hadir di sini di ruang ini. Ruang yang amat luas dihuni berjuta jiwa. Ruang tempat manusia dengan jalan keimanan berbeda, dengan warna suku tiada sama. Aku akan mempersilahkanmu selalu hadir di sini wahai cinta, engkaulah cinta!” (Engkaulah Cinta)
“Wahai Sang Maha Cinta. Kami bersyukur masih diberi pagi siang dan malam. Beri kami kekuatan untuk menyemai cinta dan damai bukan menebar amarah dan kebencian yang hanya membiarkan iblis bertahta di hati kami dan membiarkan iblis memerintah tubuh kami’ (Wahai Sang Maha Cinta)
“Lafaz Cinta. Aku bahagia mengeja setiap hurufmu. Wahai Benci. Pergilah engkau! Enyahlah kau!” (Lafaz Cinta)
Penulis adalah seorang Sastrawan, Alumni Sastra Rusia Universitas Indonesia, Direktur Pusat Studi Pesantren.
Sumber Foto: https://jaringansantri.com/aksara-pegon-harta-karun-identitas-dan-perlawanankultural/