“BARONG IDERBHUMI” Tradisi Dalam Masyarakat Osing

Oleh: Bambang AW

Rasanya cukup pantas kita ”menitik” Kabupaten Banyuwangi , Jawa Timur, sebagai salah satu Kabupaten yang subur dan makmur, serta menyimpan potensi wisata alam yang kaya akan seni budaya yang khas. Dalam kepemimpinan Bapak Bupati Azwar Anas,  citra kabupaten Banyuwangi berhasil memposisikan kotanya sebagai kota wisata berbasis pada alam dan seni budaya “Osing”. Salah satu andalan yang cukup menarik adalah adanya masyarakat asli Banyuwangi yang disebut suku Osing atau suku Osing. Saat ini Kabupaten Banyuwangi memiliki agenda Pariwisata yang sudah tersusun rapi dan terlaksana sukses dari tahun ke tahun.

Masyarakat Osing atau Osing menempati desa Wisata Budaya Kemiren, kecamatan Glagah, kabupaten Banyuwangi. Desa Osing berjarak 6 km ke arah Utara dari pusat kota Banyuwangi. Desa kecil yang cukup padat penduduknya ini terletak di kaki bukit pegunungan Ijen dengan ketinggian 144 DpL; dan memiliki udara cukup sejuk (22-26 Derajat Celcius). Kesejukan ini tercipta karena masih banyaknya pepohonan dan persawahan yang tumbuh subur di sana. Saat memasuki desa ini, wisatawan akan disambut sebuah gerbang desa yang melintang di atas jalanan mulus yang bertulis “Kawasan Desa Wisata Adat Osing Kemiren”. Desa Kemiren ini konon mulai ada pada tahun 1830-an. Awalnya desa ini berupa hamparan sawah milik penduduk Osing yang bermukim di desa Cungking (5 km arah Timur desa Kemiren). Kemudian karena beberapa alasan, maka sebagian penduduk desa Cungking akhirnya pindah ke desa Kemiren hingga sekarang.

Beberapa ratus meter memasuki desa Kemiren, kita mulai disuguhi pemandangan berupa deretan rumah-rumah bercorak rumah adat Osing yang sebagian berdinding kayu. Disela-sela rumah kadang terlihat “Kiling” (kitiran angin dari bambu dengan ekor panjang) yang menjuntai tinggi dan berputaran memunculkan bunyi sebagai hiburan masyarakat. Kalau mengamati lebih detil, kita akan melihat bahwa setiap rumah hampir dipastikan memiliki sebuah lesung penumbuk padi dan gubuk tempat mereka menyimpan hasil panen mereka. Suasana desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani ini memang menawarkan nuasana desa yang guyub dengan sentuhan alamnya yang utuh.

Di kiri kanan desa ini terdapat 2 buah sungai bernama sungai Sobo dan sungai Gulung yang mengalir dari Barat ke Timur. Kedua sungai yang berair jernih ini mengaliri persawahan luas milik penduduk desa yang sebagian besar hidup sebagai petani.  Di desa Kemiren ini pula telinga kita segera akan dapat menikmati percakapan masyarakatnya yang berbicara dengan logat dan bahasa mereka sendiri, yakni “bahasa Osing. Menurut pak Sutrisno, salah satu tokoh desa Kemiren, “Penduduk disini hampir 100% masih keturunan suku Osing/Osing dan kami masih memegang teguh adat istiadat yang ada. Satu sifat masyarakat disini adalah terbuka atau egaliter, hal ini tercermin dalam bahasa yang kami pakai yakni tanpa ada tingkatan bahasa (misal Kromo Inggil dan Ngoko dalam bahasa Jawa). Kami memperlakukan semua masyarakat setara, namun tetap memakai etika sopan santun. Orang Osing cukup ramah dalam menyambut setiap tamu yang berkunjung ke desa kami.

Menurut Profesor Leckerkerker seorang peneliti Belanda (1923:1031), Suku Osing yang berdiam di desa Kemiren ini merupakan masyarakat (laskar ?) Majapahit yang “menyingkir” tatkala mendapati kerajaannya mulai Runtuh (tahun 1478 M). Dengan kekalahan itu, maka masyarakat dan lascar Majapahit melakukan exsodus ke berbagai arah, akibat tekanan kerajaan Demak. Mereka yang melakukan exsodus sebagian menetap di Gunung Bromo (sebagai suku Tengger), menetap di Pulau Bali (sebagai suku Bali) dan sebagian lagi menetap di Blambangan (sebagai suku Osing/Osing) yang menetap di beberapa desa: desa Kemiren, Olehsari, Mangir dll. Dalam literatur Belada Pegeaud (scholte,1972) mengatakan bahwa suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi, sisa laskar kerajaan Blambangan yang menyingkir akibat perang Puputan Bayu (1771-1772) melawan kolonial Belanda dibawah pimpinan Raden Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati.   

Sebagai penduduk asli Banyuwangi, suku Osing di Kemiren memiliki banyak budaya dan upacara. Ritual yang sering dilakukan masyarakatnya hingga hari ini antara lain: Upacara Sedekah Bumi, Upacara Sedekah Penampan, Upacara Kupatan, Upacara Barong Ider Bumi, Upacara Tumpeng Sewu, Upacara Rebo Wekasan (Selamatan untuk air), Upacara Adeg-adeg Tandur, Upacara Mecuti Pari (Mencambuk saat padi mulai berisi), Selamatan Pari (saat padi mulai dipanen), Selamatan Sapi (dilakukan usai waktu membajak), Selamatan Kebonan, Selamatan Jenang Sumsum, Selamatan Syuraaan, Selamatan, Nduduk Lemah, Selamatan Suwunan, selamatan Ngebangi Umah dan masih banyak lagi.

Bila ditilik dari seni budaya yang ada maka bisa disebutkan Tari Gandrung, Tari Kuntulan, Tari Barong, Gedhogan, Mocoan Lontar Yusuf, Burdah, Jaran Kencak, Kiling, Angklung Pajak, Angklung Caruk, Angklung Tetek, Kenthulitan, Seni Ukir, seni arsitekturan (rumah adat Osing), batik Gajah Uling dll.

Kali ini penulis coba menyajikan salah satu seni budaya  dan upacara suku Osing di Kemiren yakni upacara adat “Barong Ider Bumi”. Ritual unik “Barong Ider Bumi”  ini terasa magis dalam pelasanaannya. Acara ini selalu dilaksanakan pada hari kedua Idul Fitri dan kali ini tepat pada tanggal 2 syawal 1437 H atau tanggal 7 Juli 2016. Tradisi ini dalam masyarakat suku Jawa dimaknai kurang lebih sebagai upacara “Bersih Desa”, yang juga dilaksanakan setiap tahun menurut hari jadi desanya masing-masing. Upacara Barong Ider Bumi dan Upacara Bersih Desa sama-sama dimaknai sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang berlimpah serta keselamatan masyarakat desa selama tahun yang silam. Selain itu juga memohon berkah keselamatan untuk tahun mendatang.

Barong Kemiren ini tampil spesifik, Barong ini diwarnai merah, hijau, kuning, putih dan hitam yang menyimpan arti simbolisasi khusus. Barong Kemiren memiliki wujud unik. Barong ini memiliki sayap berjumlah empat dengan mahkota dan jamang di bagian kepalanya. Kesan sepintas yang muncul adanya pengaruh budaya islam (“Buroq” ) kuda berkepala manusia dan bersayap, menjadi tunggangan kanjeng Nabi ketika naik ke Surga. Jamang bundar besar warna merah mengesankan gada “Besi kuning” pusaka Minak Jingga, raja Blambangan dalam kisah pertunjukkan Ketoprak, Prabuloro dan janger Blambangan (Banyuwangi). Tafsir ini muncul setelah setelah penulis melihat dan mempelajari  sifat atau karakter masyarakat suku Osing dengan “Ciri budaya Osing yang Sinkretis, yakni dapat menerima dan menyerap budaya masyarakat lain untuk diproduksi kembali menjadi budaya Osing (Heru S.P. Saputra, “Memuja Mantra”, LKIS, Yogyakarta, 2007: 12).

Sesuai aturan bakunya, acara ritual “Barong Ider Bumi” ini harus tepat dimulai pada pukul 14.00 WIB. Pemilihan waktu ini (jam 2 siang) memiliki arti filosofis yang diyakini suku Osing secara turun-temurun. Menurut mereka, angka 2 adalah angka yang disuka oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Angka 2 menyiratkan berbagai hal dan anasir kehidupan. Sebagai contoh, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan, menciptakan siang dan malam, menciptakan benar dan salah, menciptakan suka dan duka dan banyak lagi yang sifatnya berpasang-pasangan. Bagi “lare (orang) Osing”, mereka dilarang memulai acara diluar jam 14.00 WIB tersebut, karena apabila pantangan itu dilanggar, akibatnya akan mendatangkan petaka bagi  masyarakat dan desanya.

Ritual “Barong Ider Bumi” kali ini tepat dilaksanakan pukul 14.00. acara dibuka dengan tarian Gandrung anak-anak kemudian dilanjutkan dengan tari “Jaranan Bhuto” (Tari “Kuda Kepang”) yang khas Blambangan. Jaranan Bhuto ini ditampilkan berdelapan orang.  Dengan dandanan serupa raksasa, wajah bertaring nampak garang namun tetap artistik. Rambut menjuntai panjang sebahu ditutup mahkota warna emas. Kostum yang dikenakan lebih didominasi warna hitam, merah dan kuning berumbai-rumbai. Sementara ditangan mereka tergenggam sebuah “Jaranan”, media yang terbuat dari kulit kerbau, yang berwujud kuda dengan kepala Raksasa warna merah menyala. Dengan dandanan semacam ini mereka menari melakukan gerakan-gerakan besar layaknya raksasa. Sesekali mereka juga menunjukkan kedigdayaannya dengan menahan sakit kala dipecut pada bagian tubuhnya. Usai acara jaranan Buto inilah grup “Barong” mulai di ider-kan (di arak) ke sepanjang jalanan desa  (3 km), dengan diiringi musik yang meriah, berirama rancak. Arak-arakan Barong ini dilantuni bacaan mocopatan dan bakaran dupa oleh para sesepuh dan diikuti masyarakat umum dengan suka cita.

Berjalan paling depan dalam Ritual Barong Ider Bumi ini adalah para sesepuh desa yang bertugas “Sembur Othik-othik” (melempar sesaji berupa beras kuning dicampur bunga dan uang koin recehan) sejumlah 99.900. Alasan memilih bilangan tersebut karena Allah ditafsirkan suka pada angka ganjil, dan angka 99 merujuk pada Asmaul Husna Allah yang maha suci. Upacara “Sembur Othik-othik” ini ditujukan kepada masyarakat penonton yang berada di sepanjang kiri kanan jalan. Ritual yang disebut “Lukiran” oleh masyarakat Osing ini dimaksudkan sebagai “Sembur rejeki” dan berkah keselamatan bagi masyarakat.

Dibelakang para sesepuh ini terlihat 7 orang nenek yang mengenakan selendang putih bergaris hitam yang disebut “Selendang Solok”. Sepanjang pawai ini para nenek melakukan aktivitas menginang, yakni mengunyah tembakau dicampur sedikit kapur dan sirih. Tentu aktivitas ini mengingatkan kita pada budaya menginang di Nusantara. Bukankah budaya masyarakat diberbagai daerah untuk menjamu para tamu sebagai tanda keramah tamahan tuan rumah dan rasa hormat mereka.

Arah menyamping terlihat sepasang  penunggang kuda yang telah dihias secara meriah (Jaran Kencak). Dibelakangnya lagi Nampak sepasang penari berkostum ayam jago (burung garuda?), juga 2 penari Gandrung laki-laki berusia lanjut yang mengiring berjalannya Barong Kemiren.

Upacara ritual “ Barong Ider Bumi” ini berjalan meriah dengan iringan musik yang khas terdiri dari kendang, kecrek, gong dan ketuk. Sementara disisi jalanan, pada sebuah bale-bale bambu beratap jerami yang dipasang di ketinggian (+/-) 3 m, terlihat beberapa orang tua tengah menabuh musik angklung bambu dengan melantunkan lagu-lagu Bayuwangen asli.

Seusai acara “Barong Ider Bumi” dinyatakan selesai, maka sampailah pada puncak acara yakni “Selamatan bersama masyarakat sepanjang jalan desa dengan sajian “Tumpeng Pecel  Pitik”, yaitu nasi putih yang gurih dengan urap ayam bakar bumbu kelapa. Usai dibacakan doa bersama, Tumpeng selamatan yang enak ini dibagikan ke seluruh pengunjung sebagai berkat dan rasa syukur kepada sang Khalik yang telah memberikan berkah rejeki dan keselamatan pada kita semua.

Menurut Pak Sutrisno, salah satu tokoh di desa Kemiren, “acara Barong Ider Bumi” ini selalu diadakan setiap tahun pada hari kedua Idul Fitri. Tradisi ini wajib dilaksanakan sebagai rasa syukur atas hasil panen dan keselamatan selama setahun yang lewat. Selain itu juga dimohonkan menjaga keselamatan kami  semua di tahun berikutnya. Tradisi ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat kami dan sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak ratusan tahun lalu.” Acara yang sakral ini berakhir dengan sukses dan meriah sebelum tabuh Magrib.

Tinjauan secara mitologi, “Barong Ider Bumi” ini konon di awali sejak ratusan tahun lalu. Keberadaan Barong Kemiren ini tak bisa dilepaskan dengan keberadaan “Buyut Cili”. Dahnyang desa yang menjadi punden desa Kemiren dan Olehsari. Masyarakat Osing percaya bahwa Buyut Cili adalah orang sakti Majapahit yang beragama Hindu. Dalam mitosnya, Beliau sesungguhnya adalah seorang pelarian dari kerajaan Macan Putih (sambungan kerajaan Blambangan dan Majapahit). Hal ini sesuai dengan namanya “Cili” yang dalam bahasa Osing berarti “pelarian”. Ichwal kisah, Buyut Cili adalah seorang pendeta Hindu-Budha. Beliau bersama sang istri terpaksa melarikan diri dari kerajaan Macan Putih, sebab sang Raja yang bengis itu juga seorang kanibalis. Sang raja hendak merebut sang istri untuk dimakan. Karena Buyut Cili tidak bermaksud bertentangan, maka beliau memilih menyingkirkan diri sampai akhirnya tiba di desa Kemiren. Namun versi lain mengisahkan bahwa ki Buyut Cili menyingkir ke desa Kemiren ini akibat tekanan kerajaan Demak. 

Babak selanjutnya, dikisahkan pada suatu hari desa Kemiren ini terserang wabah penyakit yang mengerikan. Banyak orang sakit di pagi hari ketika sore harinya orang tersebut sudah meninggal dunia. Selain itu juga datangnya musim “pagebluk” yang berkepanjangan menyebabkan ratusan hektar sawah diserang hama penyakit yang berakibat gagal panen. “Melihat hal demikian, sesepuh adat kami yang bernama mbah Buyut Cili  segera berupaya dengan memohon petunjuk kepada Sang Maha Agung. Dalam petunjukNya, masyarakat desa Kemiren diminta untuk segera menggelar ritual selamatan desa bersama-sama dengan menu Tumpeng Pecel Ayam Bakar bumbu kelapa. Selain itu diingatkan pula sebelum melakukan selamatan, hendaknya terlebih dahulu menggelar arak-arakan Barong untuk menolak bencana (Tolak Bala). Konon Barong yang dipercaya sebagai binatang mistis itu menjadi peliharaan Buyut Cili,” demikian tutur pak Tris lebih detil, “ Tak jauh dari desa ini, terdapat petilasan Buyut Cili pada real kebun. Jara petilasan tersebut sekitar 400m dari jalan utama desa. Sampai sekarang petilasn Buyut Cili masih dikeramatkan dan didatangi pengunjung, terutama pada malam Jum’at dan Minggu sore sambil mengadakan selamatan Tumpeng Pecel Ayam Urap Kelapa .” pungkas lelaki berkumis tipis dengan logat Osingnya. 

Catatan: Di Banyuwangi, terdapat beberapa beberapa grup kesenian barong yaitu Barong dari Kemiren, Barong dari Dusun Banjar, Barong dari Gumuk Batur, Barong dari Dusun Kampung anyar, Barong dari Dusun Mandaluko, Barong dari dusun Jambesari, Barong dari Dusun Kluncing Pakel, Barong dari Sumber Watu Tamansari, Barong dari Dusun Mangli Jambesari dan Barong dari Dusun Beran, Pakis (Majalah Seblang, edisi III. 2006).

Penulis adalah Seniman yang berkecimpung dalam seni lukis, fotografi, dan kemudian sastra.

Sumber Foto: Dokumen Pribadi

redaksipetjut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top